Info Terbaru :
Terbaru

Kementerian Pertanian Ingin Merubah 500.000 Hektar Pekarangan Menjadi Areal Lahan Tanaman Pangan

Pemerintah menyiapkan langkah memanfaatkan 500.000 hektar lahan pekarangan masyarakat guna memperkuat ketahanan pangan nasional dan mempercepat diversifikasi pangan. Pemanfaatan pekarangan itu juga dapat mendorong terciptanya ekonomi produktif dan menekan belanja pangan masyarakat.

Menteri Pertanian Suswono menyampaikan itu, Sabtu (9/4), seusai mengunjungi kawasan percontohan pemanfaatan lahan pekarangan di Dusun Jelok, Desa Kayen, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Model pemanfaatan lahan pekarangan di Dusun Jelok melibatkan 65 rumah tangga. Namanya kawasan rumah pangan lestari. Kawasan ini juga merupakan arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membangun benteng terakhir ketahanan pangan.

Berbagai macam jenis sayuran, tanaman obat, dan ternak, dibudidayakan di lahan pekarangan. Di antaranya terong, tomat, cabai, kangkung, ayam, dan ikan. Ada pula jahe, serai, kencur, dan berbagai jenis tanaman obat lain.

Suswono mengatakan, selama ini Kemtan mempunyai program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan di bawah koordinasi Badan Ketahanan Pangan. Program ini bertujuan mengatasi masalah kerawanan pangan daerah dengan mengembangkan ekonomi produktif.

Selain itu ada program Gerakan Percepatan Optimalisasi Pekarangan. Gerakan ini merupakan program Direktorat Jenderal Hortikultura Kemtan yang pada awalnya merupakan gerakan penanaman cabai, sebagai respons krisis cabai beberapa waktu lalu.

”Kedua program ini akan kita padukan, supaya lebih fokus dan langsung terasa manfaatnya,” ujar Suswono.

Kawasan Rumah Pangan Lestari diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan masyarakat pada tingkat rumah tangga. Selain itu mempercepat diversifikasi pangan dari semula bertumpu pada beras ke sumber pangan lain berbasis lokal, seperti sayuran, buah, dan pangan asal hewan.

Peneliti senior terkait iklim dan lingkungan Badan Ketahanan Pangan, Irsal Las, mengatakan, luas lahan pekarangan secara nasional mencapai 5,5 juta hektar.

Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Mulyono Machmur mengatakan, tahun 2010 badannya memulai program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan untuk 2.000 kelompok
{[['']]}

TNI Ternyata Ikut Peduli Soal Ketahanan Pangan Nasional

Apa hubungan militer dengan ketahanan pangan? Secara langsung memang tidak ada. Namun, seseorang bisa membela negerinya jika perutnya terisi. Karena itu, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat merasa perlu untuk terlibat dalam urusan ketahanan pangan itu.

Dan, TNI AD menggandeng Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) untuk mendorong swasembada pangan sebagai bagian dari strategi membangun ketahanan nasional. Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI George Toisutta di Jakarta hari Jumat (8/4) menjelaskan, TNI AD bersinergi dengan HKTI untuk mendampingi petani serta memanfaatkan lahan milik TNI AD yang belum dimanfaatkan.

”Ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional dan menjalankan fungsi pembinaan teritorial. Prajurit akan diberi pelatihan pertanian dan peternakan oleh HKTI. Pada gilirannya, mereka akan membantu masyarakat,” ujar Toisutta.

Dia mengatakan, Indonesia kaya potensi pertanian dan kelautan, tetapi tidak dikelola dengan baik. Bahkan, bidang pertanian tidak dianggap sebagai pekerjaan bergengsi. Jumlah personel TNI AD yang lebih dari 300.000 orang dapat menjadi potensi strategis membangun ketahanan pangan.

Ketua Umum HKTI Oesman Sapta Odang menjelaskan, Indonesia masih mengimpor bahan pangan pertanian, hasil laut, dan produk olahan sebesar Rp 110 triliun per tahun. ”Bahan pangan seperti kedelai, susu, dan buah masih diimpor dalam jumlah besar. Kalau sepertiga dana impor itu digunakan untuk membangun pertanian, perkebunan, dan perikanan, kita dapat menciptakan kemandirian pangan dalam waktu lima tahun,” ujar Oesman Sapta.

Oesman Sapta menerangkan, kerja sama HKTI dan TNI AD sudah dijalankan di sejumlah wilayah. Membangun swasembada pangan adalah tugas penting di masa damai bagi HKTI dan TNI. Apalagi, 70 persen masyarakat Indonesia masih hidup di sektor pertanian. Toisutta pun mendukungnya.

Sumber: Kompas
Oesman Sapta menerangkan, kerja sama HKTI dan TNI AD sudah dijalankan di sejumlah wilayah. Membangun swasembada pangan adalah tugas penting di masa damai bagi HKTI dan TNI. Apalagi, 70 persen masyarakat Indonesia masih hidup di sektor pertanian. Toisutta pun mendukungnya.
{[['']]}

Sulawesi Tenggara Menambah Pasokan 12.700 Ton Beras

Akibat menipisnya stok, Bulog Sulawesi Tenggara harus mendatangkan pasokan beras sebanyak 12.700 ton dari sejumlah daerah pada bulan ini. Stok itu diperlukan untuk memenuhi program beras buat rakyat miskin atau raskin, serta kebutuhan cadangan daerah.

”Saat ini stok beras di Bulog mencapai 4.150 ton. Padahal, kebutuhan untuk distribusi raskin saja 3.900 ton per bulan. Karena itu, kami harus mendatangkan beras tambahan,” kata Kepala Divisi Regional Perum Bulog Sulawesi Tenggara (Sultra) Bambang Napitupulu, Jumat (8/4).

Ia mengatakan, beras harus didatangkan dari daerah lain di Indonesia, terutama Makassar, dikarenakan kebanyakan petani Sultra saat ini masih dalam proses tanam. Panen raya di Sultra diperkirakan Mei dan Juni.

Diharapkan, tambahan 12.700 ton beras akan mencukupi kebutuhan hingga lima bulan ke depan, khusunya untuk program raskin dan cadangan beras daerah.

Kepala Dinas Pertanian Sultra Mansur mengatakan, tahun ini pihaknya menargetkan produksi gabah kering giling (GKG) 580.000 ton, atau meningkat dari hasil produksi tahun 2010 yang mencapai 455.000 ton GKG.

Di Kabupaten Madiun, Jawa Timur (Jatim) dan sekitarnya, serangan sundep dan keong mas semakin meningkat akibat perubahan cuaca ekstrem yang tidak menentu. Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Madiun, Suharno, mengatakan, kedua jenis hama ini menyerang tanaman padi yang berumur kurang dari satu bulan. Tanaman rusak bahkan mati.
{[['']]}

Harga Kopi Lampung Merosot

Produktivitas tanaman kopi di Lampung Barat menjelang musim panen raya pada Mei mendatang merosot hingga 40 persen. Kelembaban tinggi yang dipicu tingginya curah hujan mengakibatkan tanaman sulit berbuah, dan munculnya penyakit tanaman.

Teguh Setioso, Wakil Manajer Pusat Penyuluhan dan Pengembangan Kopi Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Lampung Barat (Lambar), Sabtu (9/4), mengatakan, turunnya produktivitas kopi saat ini tidak terlepas dari buruknya cuaca sepanjang akhir tahun lalu.

”Di saat tanaman kopi mulai berbunga, hujan terus-menerus datang sehingga bunga-bunga rontok, gagal berbuah. Akibatnya, saat ini rata-rata sedikit buah yang yang muncul di tanaman kopi. Produktivitas turun bisa mencapai 30-40 persen,” tuturnya.

Ia menggambarkan, tiap hektar tanaman kopi dengan pola intensif kini rata-rata ditaksir hanya menghasilkan 1,2 ton biji kopi. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, hasilnya bisa mencapai 2 ton. Kopi adalah tanaman musiman setahun sekali. Di Lambar, musim panen kopi biasanya terjadi pada kurun Mei – Juli.

Selain rendahnya produktivitas kopi, Teguh juga menyayangkan banyaknya petani di Lambar yang masih belum memahami cara memproduksi yang baik. ”Beberapa petani masih ada yang asal menjemurnya di tanah dan di pinggir jalan. Akibatnya, kualitasnya kurang,” tutur dia.

Akibatnya, dalam setahun terakhir volume dan nilai ekspor kopi Lampung turun drastis. Nilai ekspor kopi per Januari 2011 di Lampung berdasar data AEKI, turun 32 persen dibanding bulan sebelumnya. Volume ekspor kopi di Januari 2011 adalah 17.957 ton, sementara di Desember 2010 sebanyak 26.385 ton.

Bahkan, sepanjang 2010, volume kopi asal Lampung yang diekspor hanya 261.969 ton. Sementara, total volume ekspor 2009 mencapai 342.313 ton. Lambar adalah salah satu sentra penghasil kopi di Lampung. Kopi asal Lampung telah diekspor ke sejumlah negara, antara lain Jerman, Italia, Inggris, Mesir, Denmark, dan Jepang.

Curah hujan

Tingginya curah hujan, seperti dikeluhkan sejumlah petani kopi, juga memunculkan penyakit pada tanaman kopi.

Menurut Nazori (30), petani kopi di Pekon Kembahang, Kecamatan Batubrak, Lambar, jamur mengakibatkan buah kopi hampa dan mudah membusuk, sehingga produktivitas kopi yang ditanamnya anjlok 25 persen beberapa bulan terakhir ini.

Untuk mencegah kerugian lebih besar, buah-buah kopi selang (di luar panen raya) di daerahnya dijual ke produsen kopi luwak. Kopi macam ini dihargai dua kali lipat dari harga biasa, yaitu Rp 15.000 per kg.

Sumber: Kompas
{[['']]}

Nasib Para Petani Kubis di Kota Batu Malang Jawa Timur

Malapetala kini menimpa para petani kubis yang ada di Kota Batu, Jawa Timur. Hampir semua petani mengeluhkan harga kubis anjlok. Tragisnya lagi, anjloknya harga tepat terjadi saat masa panen raya.

Tekanan jiwa akibat masalah itu salah satunya diungkapkan Supeno (45), seorang petani kubis asal Desa Sumberbrantas, Kota Batu. Ia memilih untuk "membunuh" tanaman yang telah dirawatnya sekian lama. "Kami tak bisa berbuat apa-apa melihat harga kubis yang anjlok. Semua panen kubis milik saya, saya beri obat herbisida (zat pembunuh tanaman)," kata Supeno, Minggu (10/4/2011), saat ditemui di lahannya.

Supeno nekat memberi obat herbisida karena kesal, usaha yang sudah dilakukannya dengan merawat dan memberi obat agar kubis tumbuh subur terasa sia-sia. "Tak lama lagi setelah diberi obat herbisida, kubis itu akan kuning dan langsung mati. Satu hektar saya beri obat semua," kata petani yang memiliki lahan kubis seluas 1 hektar ini.

"Hal ini bukan hanya dialami saya, tetapi semua petani kubis juga melakukan yang sama. Stres semua petani di sini," keluhnya.

Kalau dalam kondisi normal, harga kubis Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram. Namun, saat ini harga kubis terjun bebas, menjadi Rp 200 hingga Rp 300 per kilogram. "Kalau harganya demikian, bagaimana kami bisa mengeruk keuntungan," katanya.

Jika harga masih Rp 1.500 hingga Rp 2.000 per kilogram, kata Supeno, petani masih bisa mendapatkan penghasilan, senilai Rp 50 juta hingga Rp 60 juta per hektar. "Kalau harga kubis menjadi Rp 300 per kilogram, dalam 1 hektar lahan kubis hanya mampu mendapatkan Rp 2 juta. Bahkan, ada yang malah rugi," ujarnya.

Dalam 1 hektar lahan, biaya yang harus dikeluarkan oleh petani kubis Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Biaya tersebut dikeluarkan untuk membeli bibit kubis. Selain itu, juga ada biaya perawatan dan upah para buruh tani.

Ditanya apa yang menyebabkan harga kubis di kota wisata itu anjlok? Supeno menduga karena panen raya yang serentak terjadi se-Indonesia. Hasilnya, suplai berlebih untuk komoditas tersebut. "Kubis di sini dibuang seperti sampah. Tak ada artinya," cetus Supeno berdana kesal.

Keluhan yang sama juga dialami Abdullah, petani Kubis asal Wajak, Kabupaten Malang. "Semua petani kubis sekarang stres akibat harga kubis anjlok. Harganya sangat tidak menguntungkan petani. Modalnya puluhan juga, setelah panen harganya turun drastis. Katanya akibat panen raya se-Indonesia," katanya.

Sementara itu, menurut pengakuan Sukarman (46), salah satu pedagang Kubis asal Kota Batu, harga sayur kubis memang masih rendah, terutama sayur yang berasal dari Kota Batu. "Bukan hanya petani yang dirugikan dan mengalami stres. Pedagang juga stres dan harus gigit jari. Bukan hasil yang di dapat, tetapi rugi yang menimpa," katanya saat dihubungi via telepon, sore ini.

Sukarman mengaku hanya bisa meratapi nasibnya. "Terpaksa harus sabar menerima nasib ini. Tak ada jalan lain. Saya puluhan juta modal yang tak jelas akan kembali apa tidak," akunya.

Di tempat berbeda, Kepala Dinas Pertanian Kota Batu Himpun mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Karena kondisi tersebut merupakan bagian dari mekanisme pasar. "Kami tak bisa intervensi harga pasar. Begitulah harga pasar. Kadang untung kadang juga harus rugi," jawabnya singkat.
{[['']]}

Hama Ulat Bulu Akan Sampai ke Malang Dalam Waktu Dekat

Walaupun Kabupaten Malang, Jawa Timur, belum terserang ulat bulu seperti yang terjadi di Kabupaten Probolinggo dan daerah lainnya di Jawa Timur, pihak Dinas Pertanian Kabupaten Malang sejak dini sudah melakukan antisipasi agar jika ada serangan ulat bulu, bisa langsung teratasi.

Bentuk antisipasi yang dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). "Apa yang kami lakukan itu atas instruski Gubernur Jawa Timur Soekarwo," kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Malang Purwanto, dihubungi melalui telepon, Minggu (10/4/2011).

Menurut Purwanto, penerapan sistem PHT akan lebih aman dibandingkan dengan penggunaan insektisida. Kalau menggunakan insektisida, dikhawatirkan berdampak buruk bagi lingkungan yang ada. "Secara tertulis kami memang belum menerima surat edaran dari Gubernur Jawa Timur. Namun, kami sudah mendapat informasi dari Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur via telepon agar menerapkan sistem PHT itu," katanya.

PHT dilaksanakan dengan menggunakan predator alami untuk ulat bulu. "Sampai sekarang, pihak Dinas Pertanian Kabupaten Malang masih terus melakukan penelitian. Sebab, informasi yang diterima pihak kami, ulat bulu yang menyerang Kabupaten Probolinggo itu adalah spesies baru," katanya.

Penelitian dilakukan dengan mengambil ulat bulu yang terserang penyakit. Sampel itu dibawa ke laboratorium hama untuk dikembangkan virusnya. Dalam melakukan pemantauan, Dinas Pertanian Kabupaten Malang mengerahkan 33 petugas yang disebar di setiap kecamatan di Kabupetan Malang.

Mereka bertugas mengamati jangkauan penyebaran serangan ulat bulu. "Sejak hari ini, 33 petugas itu sudah menyebar di lapangan. Namun, sampai detik ini belum juga ada laporan kalau di kabupaten ada ulat bulu seperti di Probolinggo itu," tuturnya.

Sementara itu, Sirojudin (43), seorang petani di Dusun Tulusayu, Desa Tulusbesar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, mengaku sudah khawatir terhadap ancaman serangan ulat bulu itu. "Saya sudah khawatir serangan ulat bulu itu akan merusak lahan pertanian kami. Kabarnya, ulat bulu itu juga menyerang lahan pertanian," ujarnya.
{[['']]}

Untuk Menanggulangi Hama Ulat Bulu, Sampel Ulat Dikirim ke LIPI Untuk Diteliti

Sejumlah akademisi Jurusan Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jember (Unej) mengirim sampel ulat bulu ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta.

Dosen Fakultas Pertanian Unej, Hari Purnomo, Minggu (10/4/2011), mengatakan, tim ahli dari Faperta Unej menemukan dua spesies ulat bulu di sejumlah kebun mangga di Probolinggo.

"Dugaan kami bahwa ulat bulu di Probolinggo berasal dari genus Arctonis sp (ngengat bersayap dengan warna pucat) dan Lymantria sp (ngengat bersayap dengan warna coklat bergaris)," tutur ahli serangga di bidang pertanian itu.

Sebanyak lima dosen Jurusan Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Unej, yakni Hari Purnomo, Nanang Tri Hariadi, Saifudin Hasyim, Wagino MP, dan Suharto, melakukan observasi terhadap wabah ulat bulu di Probolinggo, Kamis.

"Kami membawa sejumlah sampel kepompong ulat bulu yang terparasit, ngengat dewasa, dan sejumlah predator yang memakan ulat bulu. Selanjutnya sebagian sampel akan dikirim ke LIPI," ujarnya.

Pengajar Entomologi Pengendalian Hayati Fakultas Pertanian Unej itu mengatakan, ulat bulu yang menyerang sejumlah kecamatan di Probolinggo adalah keluarga dari ngengat (Lymantriidae), sejenis kupu-kupu yang umumnya aktif dan bertelur pada malam hari.

"Sampel ngengat dewasa (imago) dikirim ke Dr Hari Sutrisno, ahli ngengat dari LIPI, untuk memastikan spesies ulat bulu yang menyerang Probolinggo," katanya.

Sementara itu, untuk mengidentifikasi parasit yang menyerang kepompong ulat bulu, kata dia, sampel kepompong/pupa terparasit juga dikirim ke peneliti LIPI ahli biologi, Rosichon Ubaidillah. "Saya hanya menduga parasit yang menyerang kepompong ulat bulu adalah parasitoid atau sejenis tabuhan kecil ordo Hymnoptera Brachymeria karena kepompong ulat bulu menjadi berwarna agak hitam," ucapnya.

Hari menegaskan, sebanyak lebi dari 50 persen kepompong ulat bulu yang berada di Probolinggo sudah mati karena diserang musuh alami berupa parasit, patogen, dan sejumlah predator. "Musuh alami, seperti predator, parasit, dan patogen, sudah bekerja secara alami. Ulat bulu yang terserang virus NPV terlihat mati menggantung di daun, sedangkan ulat bulu yang terserang jamur berwarna putih," ujarnya.

Sumber: Kompas
{[['']]}

Penyebab Populasi Hama Ulat Bulu Terus Meningkat , Serta Cara Penanggulangannya

Perubahan iklim terutama temperatur lingkungan ikut mempengaruhi populasi ulat bulu, karena temperatur yang meningkat dapat mempercepat siklus hidup ulat itu, kata pakar hama dan penyakit tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Suputa. "Meningkatnya populasi ulat bulu juga disebabkan semakin berkurangnya musuh alami, seperti burung, parasitoid, dan predator lain," katanya dalam diskusi Fenomena Wabah Hama Ulat Bulu di Jawa Timur, di Yogyakarta, Kamis.

Menurut dia, akibat tingginya populasi, serangan ulat bulu di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, semakin memprihatinkan. Ulat bulu tidak hanya menyerang daun mangga di Kecamatan Bantaran, Leces, Sumberasih, dan Tegalsiwalan, tetapi juga memasuki rumah penduduk. "Daun mangga varietas Manalagi di daerah itu habis dimakan ulat bulu. Pohon mangga tinggal ranting dan batangnya," katanya.

Ia mengatakan, ulat bulu tersebut lebih memilih menyerang daun mangga Manalagi dibanding varietas pohon mangga lain. Pemilihan inang itu dilakukan ulat bulu dewasa saat meletakkan telur. "Ulat bulu bukan termasuk kupu-kupu, tetapi sebangsa ngengat. Diduga ngengat ulat bulu itu yang meletakkan telur pada celah kulit pohon mangga atau di bawah daun," katanya.

Menurut dia, serangan ulat bulu tersebut bukan fenomena baru, karena sebelumnya pernah terjadi serangan serupa. Bahkan, pernah terjadi tanaman lombok se-Jawa yang layu menguning akibat serangan hama tanaman. "Terdapat dua spesies ulat bulu yang menyerang daun mangga di Probolinggo, yakni arctornis sp dan Lymantria atemeles Collenette. Ulat bulu itu bersifat nokturnal, yakni ulat yang aktif pada malam," katanya.

Ia mengatakan tidak mengherankan jika pada malam sering terdengar seperti suara hujan, padahal saat itu sesungguhnya ulat bulu sedang memakan daun-daun mangga. "Jika serangan ulat ini dibiarkan, maka akan banyak pihak mengalami kerugian. Selain ketakutan juga kerugian secara ekonomi," katanya.

Oleh karena itu, pengendalian terhadap populasi ulat menjadi langkah yang harus segera dilakukan. Terlebih kemampuan produksi telur ulat betina mencapai 70-300 butir per ulat. "Pengendalian hama terpadu dengan pendayagunaan musuh alami, burung, parasitoid, perangkap lampu UV, dan penggunaan perangkap feromon seks perlu dilakukan," katanya.

Sumber: Republika


{[['']]}

Cara Baru Membudidayakan Jamur dengan Media Kapas




Empat pekerja sibuk membolak-balik limbah kapas di lahan kosong di samping kantor Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Senin (28/3). Lahan itu berada di Desa Bulakamba, Kecamatan Bulakamba. Satu di antara mereka menaburkan bekatul, di atas tumpukan limbah kapas.
{[['']]}

Hama Ulat Bulu Meluas, Bagaimana Cara Mengatasinya?

PROBOLINGGO – Pertumbuhan ulat bulu yang sangat cepat diperkirakan bakal menjalar ke sejumlah daerah lain di sekitar Kabupaten Probolinggo. Ini disebabkan fase perubahan cuaca yang masih akan berlangsung dalam satu atau dua bulan mendatang. Saat ini,

Dinas Pertanian Probolinggo mencatat ulat bulu telah menyebar di 60 desa pada delapan kecamatan.Kedelapan kecamatan itu Leces, Tegalsiwalan, Bantaran, Sumberasih, Wonomerto, Dringu, Banyuanyar,dan Tongas.

Menurut Arif Kurniadi,Kasi Penanggulangan Hama Disperta Kabupaten Probolinggo, untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran ulat bulu, Disperta terus menggiatkan penyemprotan disinfektan ke daerah-daerah yang terserang ulat bulu.”Hari ini petugas menyemprotkan disinfektan ke 14 titik.

Cuaca yang cerah sangat membantu mengatasi perkembangan ulat bulu,” tandas Arif Kurniadi. Tak hanya mengganggu aktivitas warga, ulat bulu juga menyebabkan produksi pertanian terancam menurun.Mangga, produk unggulan Probolinggo yang saat ini sedang berbunga, diperkirakan tidak akan berbuah lantaran menjadi kering.

Berdasar catatan Dinas Pertanian, sebanyak 8.877 pohon mangga milik warga dan yang tersebar dibeberapa perkebunan terserang ulat bulu dan terancam gagal panen. Setiap panenan satu pohon mangga setara dengan Rp500.000. Dengan demikian, potensi kerugian dari ancaman gagal panen tersebut mencapai lebih dari Rp4,4 miliar.

Didukung Cuaca

Kepala Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Dr Ir Totok Himawan menjelaskan, fenomena ”serangan” ulat bulu ini tak lepas dari pengaruh cuaca.Tingginya curah hujan di penghujung musim menyebabkan predator ulat bernama Braconid dan ‘Apateles’ tak mampu bertahan hidup.

Akibatnya, ulat bulu berkembang sangat cepat. Selain pengaruh cuaca, ulat bulu berkembang karena residu pestisida yang membunuh predatornya. ”Dugaan kita petani di Kabupaten Probolinggo terlalu banyak menyemprotkan pestisida.Nahresidunya itubisa menghambat pertumbuhan dan membunuh predator alami ulat. Lantas predator alami itu tidak bisa mengontrol perkembangbiakan ulat,”jelas Totok.

Meski begitu, dia menjelaskan warga tak perlu panik. Sebab jenis ulat bulu di Probolinggo itu tidak membahayakan. ”Ulat bulu yang ada di Kabupaten Probolinggi itu dari spesies Dasychira Inclusa atau sejenis ulat bulu yang tidak gatal dan tidak menimbulkan iritasi pada kulit,”ujar Totok. Sobari, dosen di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menerangkan, ada tiga cara membasmi ulat bulu,yaitu cara fisik, kimia dan biologi.

”Cara fisik dengan cara memukuli seluruh ulat sampai mati atau bisa juga dengan menggunakan api untuk membakar ulatnya. Kalau cara kimia dengan menyemprotkan insektisida tertentu. Kemudian cara biologi,berarti harus memasukkan salah satu hewan yang bertugas memangsa seluruh ulat itu,”terang dia.

Sumber: Koran Sindo
{[['']]}

Desakan Menolak "Golden Rice"

Kontroversi soal produk pertanian transgenik terus berlanjut, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menolak rencana pemerintah memasukkan produk tanaman pangan transgenik karena dapat mengesampingkan biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Termasuk di antaranya jenis padi golden rice dengan kandungan selain karbohidrat, juga beta karoten, yang mengesampingkan penyediaan beta karoten dari tanaman sayur dan buah-buahan.

”Padi transgenik golden rice itu problem orang yang mencari pasar,” kata Direktur Eksekutif Institute of Global Justice Indah Suksmaningsih di Jakarta, Jumat (1/4). Jenis padi golden rice masih dalam pengembangan International Rice Research Institute (IRRI), belum diluncurkan.

Indah bersama Koordinator Aliansi Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, dalam konferensi pers menyampaikan tema ”Pangan Transgenik Bukan Solusi Pangan Indonesia: Kasus Golden Rice”.

Dukung petani

Menurut Indah, rencana pemerintah memasukkan produk tanaman pangan transgenik sekaligus menunjukkan lemahnya perhatian di bidang penelitian. Para petani bahkan diarahkan bergantung pada perusahaan produsen benih.

”Pemerintah sebaiknya mendukung para petani pemulia yang selama ini menyilangkan tanaman pangan sendiri untuk mendapatkan kesesuaian varietas yang diinginkan,” kata Indah.

Tejo menambahkan, kasus golden rice adalah persoalan perusahaan asing yang mencari pasar di negara berkembang dengan makanan pokok beras. Pemerintah tidak perlu terpengaruh.

”Saat ini konsumsi beras Indonesia terbesar di dunia, mencapai 139 kilogram per kapita per tahun,” kata Tejo.

Menurut dia, tak ada sedikit pun upaya pemerintah menekan jumlah konsumsi beras tersebut, meski saat ini masih memiliki 77 jenis komoditas yang bisa menjadi pengganti beras.

”Masih punya sukun atau umbi-umbian. Namun, ini tak pernah diperhatikan untuk substitusi beras atau mengurangi jumlah konsumsi beras,” kata Tejo.

Menurut Indah, pemerintah tidak mampu melihat persoalan yang sesungguhnya dihadapi petani. Ancaman kekurangan pangan selalu dikaitkan dampak perubahan iklim.

Padahal, ada beberapa tanggung jawab yang tidak dikerjakan pemerintah. ”Pemerintah selama ini mengabaikan perbaikan sistem irigasi, tetapi justru menanggapi gangguan-gangguan global terhadap mekanisme pertanian Indonesia,” kata Indah.

Sumber: Kompas
{[['']]}

Mekanisasi Pertanian Saat Ini Masih Terganjal Masalah Sosial

Mekanisasi pertanian mulai dari pengolahan lahan, penanaman, pemanenan, hingga pengolahan hasil pertanian belum bisa dijalankan secara optimal karena ada hambatan sosial. Padahal, mekanisasi dapat menekan biaya produksi petani hingga 25 persen.

Menurut Kepala Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Astu Unadi, Jumat (1/4) di Jakarta, hingga saat ini mekanisasi pertanian baru bisa berjalan setengahnya, terutama mekanisasi dalam hal pengolahan lahan dan pengolahan hasil pertanian.

Pemrosesan padi dari gabah menjadi beras juga sudah menggunakan mesin, tidak lagi ditumbuk karena bila ditumbuk tingkat kehilangan hasilnya tinggi, kualitas beras jelek, dan biaya tenaga kerja besar serta lamban.

”Meskipun butuh puluhan tahun untuk mengubah budaya, traktor dan mesin penggilingan padi akhirnya diterima petani dan masyarakat,” katanya. Petani sekarang tidak mau lagi mencangkul karena itu pekerjaan berat, begitu pula dengan menumbuk gabah.

Pada tingkatan lain, mekanisasi pertanian sulit berkembang, terutama pada tahap penanaman dan panen.

”Kalau mekanisasi sudah masuk, biaya produksi bisa ditekan lebih rendah sampai 12,5 persen lagi,” katanya.

Sulitnya mekanisasi masuk karena terbentur masalah sosial. Astu mencontohkan, bila menggunakan tenaga manusia untuk penanaman dan panen butuh tenaga kerja 30 orang per hektar per hari dengan upah Rp 40.000 per hari.

Bila menggunakan mesin, selain lebih cepat biaya tanam dan panen bisa ditekan lebih dari separuhnya. Akan tetapi, tenaga kerja akan berkurang banyak.

Investasi mesin pertanian juga sekarang tidak begitu mahal karena sebagian besar sudah diproduksi di dalam negeri.

Mekanisasi penanaman dan pemanenan sulit diterapkan. Bahkan, di beberapa lokasi seperti di wilayah pantai utara Jawa, pernah ada kasus mesin pemanen padi dibakar massa.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir menegaskan, mekanisasi pertanian bisa dijalankan di luar Pulau Jawa karena di sana kekurangan tenaga kerja

Sumber: Kompas
{[['']]}

Kementerian Pertanian Akan Optimalkan 2 Juta Hektar Lahan Pertanian

Menteri Pertanian Suswono menyatakan, untuk memperkuat ketahanan pangan pihaknya akan mengoptimalkan pemanfaatan lahan 2 juta hektar di daerah tertinggal. Komoditas yang bisa dikembangkan tidak hanya beras, jagung dan kedelai, tetapi juga pangan lokal.

”Tahun ini diharapkan sudah ada program dari Kementerian Pertanian untuk daerah tertinggal. Memang sebelumnya sudah ada usul dari kepala dinas pertanian di daerah-daerah tertinggal sehingga kami tinggal menyinkronkan saja dengan kebijakan yang ada. Anggaran bisa masuk dalam APBN-Perubahan 2011,” katanya, Kamis (31/3).

Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Ahmad Helmy Faishal Zaini mengatakan, di 183 daerah tertinggal terdapat rata-rata 15.000 hektar sampai 20.000 hektar lahan yang belum dimanfaatkan. Dari lahan sebanyak itu, sekitar 70 persen sesuai untuk pengembangan pertanian.

Lahan tersebut statusnya di luar 7,3 juta hektar lahan telantar yang diputuskan untuk diambil alih pemerintah. Dengan memanfaatkan lahan tersebut, akan mendorong pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru di sana dan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat daerah tertinggal.

Dalam merealisasikan pembangunan pertanian untuk percepatan pembangunan daerah tertinggal, Kementerian Pertanian dan Kementerian Negara Pembangunan Daerah tertinggal menandatangani nota kesepahaman, yakni kerja sama terkait peningkatan kapasitas sumber daya manusia pertanian melalui pendampingan di bidang penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan.

Pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna, pengembangan dan penguatan kelembagaan, serta pengembangan agribisnis dan agroindustri pedesaan dalam mendukung pengembangan ekonomi daerah tertinggal melalui kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian.

Adapun antisipasi krisis pangan yang mengancam Indonesia tak hanya peningkatan produksi. Persoalan distribusi dan pengelolaan pascapanen juga memegang peranan penting agar tidak terjadi disparitas harga yang terlalu mencolok.

Hal tersebut disampaikan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di Jakarta. ”Distribusi pangan saat ini masih banyak terkendala infrastruktur, misalnya saja distribusi pangan ke luar Jawa. Akibatnya, harga pangan di luar Jawa masih tinggi,” katanya.

Dia mengatakan, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur jalan supaya distribusi lebih lancar. Tak hanya itu, pelabuhan dan bandara juga perlu dibenahi termasuk moda transportasinya. Jika distribusi lancar, disparitas harga seharusnya tidak terlalu tinggi.

Menurut Mari, selain distribusi faktor penting lainnya adalah pengelolaan pascapanen. Pengelolaan dilakukan dengan memaksimalkan gudang penyimpanan. Gudang berfungsi untuk perencanaan stok sehingga pasokan stabil.

{[['']]}

1.500 Hektar Lahan Tergenang

Dua pintu dari 11 pintu bendung pembagi banjir Wilalung, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, rusak. Kerusakan itu menyebabkan 1.500 hektar lahan pertanian di Kecamatan Undaan dan Jekulo tergenang.

Pengelola Bendung Wilalung Balai Sumber Daya Air Jawa Tengah, Noor Kholish, Kamis (31/3), di Kudus, mengatakan, kerusakan terjadi pada pintu delapan dan sembilan. Pintu delapan kondisi miring di bagian bawah, sehingga air bendung berkapasitas 50 liter per detik keluar dari celah kemiringan pintu.

Sawah jadi kebanjiran, sehingga pengelola bendung dan kelompok petani pemakai air menyumbat celah itu dengan batang pohon kelapa. ”Kami khawatir kalau volume bendung naik, sumbatan darurat jebol. Padahal Desember 2010 pintu delapan baru saja diperbaiki,” kata Noor.

Adapun pintu sembilan terjadi kebocoran pada sejumlah titik di bagian bendung pelapis pintu. Kumpulan air bocor itu merembes melalui bagian bawah pintu utama yang sudah berlubang.

”Kami telah meminta kontraktor untuk membenahi kemiringan. Untuk pintu sembilan baru diusulkan perbaikannya,” kata Noor.

Percepat tanam

Sementara itu, petani di Sulawesi Selatan diimbau mempercepat penanaman padi pada lahan sawah tadah hujan dan irigasi nonteknis. Langkah itu untuk menghindari risiko kekeringan pada beberapa bulan lagi.

Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sulsel, Lutfi Halide, mengatakan, berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kemarau panjang akan melanda sejumlah kabupaten di Sulsel pada Juli 2011, antara lain Gowa, Takalar, Maros, dan Jeneponto. Di daerah ini terdapat sekitar 20.000 hektar lahan tadah hujan dan irigasi nonteknis.

Menurut Lutfi, sekitar 30 persen dari 53.643 hektar areal tanaman padi musim rendeng telah memasuki masa panen. Petani diharapkan langsung mengolah lahan, menebar benih, dan menanami padi untuk mengejar ketersediaan air.

”Saya berharap pada awal April petani mulai tanam agar dua bulan nanti sudah masuk pematangan,” ungkap Lutfi. Langkah ini dianggap efektif menghindari kemungkinan gagal panen akibat kemarau berkepanjangan.

Bahkan, di wilayah Tegal, Jawa Tengah, petani mulai menanam palawija dan tanaman sayur, seperti caisim dan bayam, yang tak banyak membutuhkan air. Hal itu untuk mengantisipasi kondisi cuaca yang tidak menentu.

M Rali (45), petani di Desa Kepandean, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, mengatakan, memilih menanam caisim, karena tanaman tersebut tidak banyak membutuhkan air. Jangka waktu tanam hingga panen hanya sekitar 20 hingga 25 hari. ”Penyiraman air yang rutin hanya sekitar seminggu pertama. Setelah itu, tanaman cukup disiram tiga atau empat hari sekali,” katanya.

Di Banyuwangi, Jawa Timur, selama tiga bulan terakhir bertambah lahan penanaman cabai sekitar 20 persen. Para petani itu mengharapkan keuntungan dari tingginya harga palawija pada awal 2011.

Sumber: Kompas
{[['']]}

Tanaman Tebu Cocok Ditanam di Papua

Di tengah berbagai pilihan komoditas untuk ditanam di Kabupaten Merauke, Papua, dalam program Merauke Integrated Food and Energy Estate, tanaman tebu diperkirakan cocok untuk dibudidayakan di tempat itu.

Pembibitan yang telah dilakukan sejak tahun lalu hingga saat ini relatif tanpa gangguan yang berarti. Apabila tidak ada masalah, pada 2013 sudah ada pabrik gula yang terintegrasi di tempat itu.

Direktur PT Cendrawasih Jaya Mandiri FS Heru Priyono di Merauke, Rabu (30/3), mengatakan, sejak pertama kali dilakukan pembibitan di tempat itu pada November lalu, telah ada 40 hektar bibit. Dalam waktu dekat akan dikembangkan lagi menjadi 200 hektar hingga menjadi 1.000 hektar kebun bibit. Perusahaan yang termasuk dalam Grup Rajawali adalah salah satu dari perusahaan yang menjadi pionir penanaman tebu di Merauke.

”Kami optimistis apabila tidak ada halangan, dari kebun bibit nantinya kami akan memiliki kebun tebu giling 8.456 hektar. Tebu hasil kebun ini digunakan untuk bahan baku giling perdana pada 2013,” kata Heru, saat melihat kebun bibit tebu di Kampung Kurik V, Distrik Malind.

Ia menambahkan, saat ini pihaknya tengah menunggu izin prinsip pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Izin ini diperlukan agar perusahaan itu bisa menggunakan lahan untuk bibit dan pembuatan kebun tebu giling di lahan sendiri. Untuk pembibitan, saat ini mereka menyewa lahan dari penduduk.

”Lahan di sini tergolong bagus. Hanya dengan sedikit perlakuan kita bisa meningkatkan kualitas tanah sehingga cocok untuk tanaman tebu. Untuk meningkatkan kualitas tanah, kami menambah dolomite (sejenis mineral),” kata Heru. Ia menambahkan lahan di Merauke juga menguntungkan karena relatif datar sehingga tidak mempersulit pembukaan lahan. Di samping itu, berdasarkan literatur, tanaman tebu merupakan tanaman endemik di Merauke sehingga secara agroklimat tanaman tebu yang bibitnya didatangkan dari luar tidak mengalami banyak kesulitan dalam penyesuaian iklim.

Ketika Kompas melihat kebun bibit di Kampung Kurik V terlihat masalah yang dialami dalam penanaman tebu adalah pasokan air yang melimpah. Hal ini sangat mengganggu pertanaman karena pada periode tertentu tanaman tebu tidak membutuhkan pasokan air.

Manajer Pengolahan Tanah PT Cendrawasih Jaya Mandiri Abdul Wahab Aji mengatakan, untuk menanggulangi masalah ini, pada masa tertentu air di kebun harus dipompa dan dikeluarkan dari kebun

Sumber: Kompas
{[['']]}

Seedless Cherimoya, the Next Banana?

Mark Twain called it "the most delicious fruit known to man." But the cherimoya, or custard apple, and its close relations the sugar apple and soursop, also have lots of big, awkward seeds. Now new research by plant scientists in the United States and Spain could show how to make this and other fruits seedless.

Going seedless could be a big step for the fruit, said Charles Gasser, professor of plant biology at UC Davis.

"This could be the next banana -- it would make it a lot more popular," Gasser said. Bananas in their natural state have up to a hundred seeds; all commercial varieties, of course, are seedless. A paper describing the work is published March 14 in the journal Proceedings of the National Academy of Sciences.

Researchers José Hormaza, Maria Herrero and graduate student Jorge Lora at the Consejo Superior de Investigaciones Cientificas in Malaga and Zaragoza, Spain, studied the seedless variety of sugar apple. When they looked closely at the fruit, they noticed that the ovules, which would normally form seeds, lacked an outer coat.

They looked similar to the ovules of a mutant of the lab plant Arabidopsis discovered by Gasser's lab at UC Davis in the late 1990s. In Arabidopsis, the defective plants do not make seeds or fruit. But the mutant sugar apple produces full-sized fruit with white, soft flesh without the large, hard seeds.

The Spanish team contacted Gasser, and Lora came from Malaga to work on the project in Gasser's lab. He discovered that the same gene was responsible for uncoated ovules in both the Arabidopsis and sugar apple mutants.

"This is the first characterization of a gene for seedlessness in any crop plant," Gasser said.

Seedless varieties of commercial fruit crops are usually achieved by selective breeding and then propagated vegetatively, for example through cuttings.

Discovery of this new gene could open the way to produce seedless varieties in sugar apple, cherimoya and perhaps other fruit crops.

The discovery also sheds light on the evolution of flowering plants, Gasser said. Cherimoya and sugar apple belong to the magnolid family of plants, which branched off from the other flowering plants quite early in their evolution.

"It's a link all the way back to the beginning of the angiosperms," Gasser said.

The work was funded by grants from the Spanish government, the European Union and the U.S. National Science Foundation
{[['']]}

Dairy Farmer Finds Unusual Forage Grass

A U.S. Department of Agriculture (USDA) grass breeder has rediscovered a forage grass that seems just right for today's intensive rotational grazing.

A farmer's report of an unusual forage grass led Michael Casler, an Agricultural Research Service (ARS) geneticist at the agency's U.S. Dairy Forage Research Center in Madison, Wis., to identify the grass as meadow fescue. Meadow fescue has been long forgotten, although it was popular after being introduced about 50 to 60 years before tall fescue.

ARS is USDA's principal intramural scientific research agency.

Casler has developed a new variety of meadow fescue called Hidden Valley, and its seed is being grown for future release.

Non-toxic fungi called endophytes live inside meadow fescue, helping it survive heat, drought and pests. Unlike the toxic endophytes that inhabit many commercial varieties of tall fescue and ryegrass, meadow fescue does not poison livestock.

Charles Opitz found the grass growing in the deep shade of a remnant oak savannah on his dairy farm near Mineral Point, Wis. He reported that the cows love it and produce more milk when they eat it. Casler used DNA markers to identify Opitz's find.

Meadow fescue is very winter-hardy and persistent, having survived decades of farming. It emerged from oak savannah refuges to dominate many pastures in the Midwest's driftless region, named for its lack of glacial drift, the material left behind by retreating continental glaciers.

Casler and his colleagues have since found the plant on more than 300 farms in the driftless region of Wisconsin, Iowa and Minnesota. Geoffrey Brink, an ARS agronomist working with Casler, discovered that meadow fescue is 4 to 7 percent more digestible than other cool-season grasses dominant in the United States.

In another study, meadow fescue had a nutritional forage quality advantage over tall fescue and orchardgrass that may compensate for its slightly lower annual yield further north, as reported in the Agronomy Journal. Also, the yield gap begins to close with the frequent harvesting involved in intensive grazing.


{[['']]}

Large Regional Changes in Farmland Area Predicted


The effects of climate change and population growth on agricultural land area vary from region to region, according to a new study by University of Illinois researchers

Regions with relative high latitudes -- China, Russia and the U.S. -- could see a significant increase in arable land in coming years, but Africa, Europe and India and South America could lose land area.

Civil and environmental engineering professor Ximing Cai and graduate student Xiao Zhang published their findings in the journal Environmental Research Letters.

While most other studies of climate change and agriculture have focused on projected crop yields, the Illinois researchers assessed global and regional land availability. Using international land and climate datasets and remote-sensing land-use maps, they systematically studied worldwide changes in soil temperature and humidity with a resolution of one square kilometer.

"This study presents the main patterns and trends of the distribution of potential arable land and the possible impacts of climate change from a biophysical perspective," Cai said. "The possible gains and losses of arable land in various regions worldwide may generate tremendous impacts in the upcoming decades upon regional and global agricultural commodity production, demand and trade, as well as on the planning and development of agricultural and engineering infrastructures."

Cai and Zhang's model allowed them to address the many sources of uncertainty in trying to predict climate change, such as levels of greenhouse gas emissions, climate model uncertainty and ambiguity in land-use classification. They applied the model to several projected scenarios to uncover both regional and global trends in land availability.

When considering effects of climate change, residential sprawl as population grows and natural conservation, the global total of potential arable land in all scenarios decreased by the end of the 21st century, by a margin of 0.8 to 4.4 percent. However, much larger changes were predicted regionally. For example, arable land area could increase by 37 to 67 percent in Russia, while Africa could lose up to 18 percent of its farmland.

"Although the magnitudes of the projected changes vary by scenario, the increasing or decreasing trends in arable land area are regionally consistent," Cai said.

Next, the researchers will conduct more detailed regional studies to confirm their global findings. They hope to use their projections to evaluate world food production, demand and trade, and the corresponding implications for policies and investments.

The Energy Bioscience Institute at the U. of I. and the U.S. Department of Agriculture supported this work.


{[['']]}

Anaerobic Digestion on Farms Could Turn Agriculture Green

Research carried out by the Rural Economy and Land Use Programme has shown that small scale digesters on farms could be profitable for farmers, good for the environment and help the UK meet targets on green energy and greenhouse gas emissions.

A typical dairy farm could supply most of the electricity it needs to milk the cows, by converting their manure into energy. And it would help the Government to hit green energy targets and cut greenhouse gas emissions, according to researchers from the UK research councils' Rural Economy and Land Use Programme.

The interdisciplinary project, based at the universities of Southampton and Reading, has researched the potential for small-scale farm-based anaerobic digestion plants. It found that relatively small digesters could be economically viable when fed with mixtures of animal slurries and imported wastes or energy crops, and had the potential to boost the profits of both arable and dairy farms.

Wider adoption of the technology would also help farming to become greener. Digesting the slurry produced by one dairy cow has the potential to reduce methane emissions by 25 kg, and generate 1000 kWh of electricity per year -- equivalent to three months' electricity consumption for an average household,

The digestate left at the end of the process is a valuable fertiliser if spread on the land, reducing the amount of money farmers spend on artificial fertilisers -- and also saving the CO2 emissions involved in their production.

Anaerobic digestion is a very flexible technology, which may be used to process a wide range of agricultural crops, crop residues, animal wastes and imported food wastes, into usable energy.

The team also researched public attitudes to the building of anaerobic digestion plants in rural areas. Consumers tended to support the idea, particularly if cattle and pig manures were used to feed the digester, but most were also happy for food crops to be used. They thought that the most important benefit was that the digesters provide an alternative to landfill for organic waste, including waste food.

Professor Charles Banks from the University of Southampton who led the research said: "Other European countries have forged ahead with this technology. But although the UK Government has expressed its support, this has still not led to widespread adoption of the technology on farms.

"This research has shown that there is an economic incentive for farmers, but further encouragement may be necessary, and perhaps some financial support for demonstration projects. Widespread adoption could provide multiple benefits, not just for the farmer but also for the environment."


{[['']]}

Plasticity of Plants Helps Them Adapt to Climate Change

An international study, with Spanish participation, has shown that the phenotypic plasticity of plants, which enables them to change their structure and function, helps them to adapt to environmental change. This research will make it easier to anticipate plants' response to current climate change.

The study, which has been published in Trends in Plant Science, provides an overview of plants' molecular and genetic mechanisms, which is important for ecologists, physiologists and molecular biologists, since it covers the prime requirements for anticipating plants' response to global change.

The results show that plants in natural and agricultural systems have "the capacity to adapt to a changing environment without requiring any evolutionary changes, which always happens over several generations," Fernando Valladares, one of the authors of the paper and a researcher at the National Museum of Natural Sciences (CSIC), said.

All plant species exhibit a greater or lesser degree of plasticity. "Various studies suggest that species from more heterogeneous and changing environments have greater degrees of plasticity. For example, plants from these environments have great root plasticity in order to be able to take better advantage of fertile and damp areas and to avoid sterile, dry ones," Valladares explains.

Plants' pigmentation, root length, leaf mass and efficiency of water use are some of the leading indicators used to study the phenotypic plasticity of plant organisms.

"The differences in plasticity and its mechanisms allow us to better understand why various plant species grow where they do. This will enable us to project their most likely ranges in climate change scenarios," the researcher says.

Less productivity, greater survival

The advantages of plants changing their structure and function in the face of environmental change "could lead to the selection -- in the case of crops -- of more plastic varieties, which may not necessarily be the most productive, nor have the most easily-predictable productivity," the scientist stresses.

According to Valladares, the next step is "to understand the mechanisms that underlie plasticity, such as epigenetics -- non-genetic factors that determine an organism's development -- and how this impacts on the biological efficacy of wild species or on the long-term yield of agricultural species."


{[['']]}

Pestisida Alami Minim, Hama Kebal Obat


Ketersediaan biopestisida atau pestisida alami masih minim sehingga petani mengandalkan pestisida kimia buatan. Selain mencemari lingkungan dan membunuh musuh alami hama, pestisida kimia buatan membuat hama kebal berbagai upaya pembasmian.

”Banyak studi menunjukkan, penggunaan pestisida menimbulkan banyak kerugian jangka panjang,” kata dosen dan peneliti pada Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Suryo Wiyono, di Bogor, Jawa Barat, Rabu (2/3).

Menurut Suryo, pestisida kimia mengandung satu senyawa murni polutan di alam. Sifat polutan jelas merusak. Akhir-akhir ini, ketertarikan industri memproduksi biopestisida mulai tumbuh. Namun, produktivitas biopestisida minim sehingga sulit diakses petani.

Peneliti pada Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), Happy Widiastuti, mengatakan, unit kerjanya sudah memproduksi berbagai biopestisida. Namun, sejauh ini industri besar belum tertarik memproduksinya secara massal.

Padahal, dampaknya positif. ”Biopestisida bisa mengurangi dampak pemanasan global,” kata Happy.

Biopestisida produk BPBPI antara lain greemi-g, untuk mengendalikan penyakit tular tanah seperti Ganoderma sp yang banyak menyerang sawit, jamur akar putih pada karet, dan Phytophtora pada kakao. Produk biometeor pengendali hama dalam tanah, seperti penggerek pangkal batang tebu, juga menjadi pengendali hama Oryctes rhinoceros pada sawit dan kelapa.

Menurut Suryo, biopestisida dapat diproduksi dengan bahan baku tanaman dan mikroba. Mikroba berpotensi dikembangkan untuk massalisasi biopestisida.

Berbagai unsur tanaman dapat untuk biopestisida, antara lain mimba, tembakau, tuba atau jenu, temu-temuan atau rimpang kunyit dan kencur. (NAW)

Sumber: Kompas
{[['']]}

Terserang Hama, Kebun Teh Sulit Berproduksi


Puluhan hektar perkebunan teh rakyat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, terancam tidak bisa berproduksi untuk tiga tahun ke depan. Alasannya, tanaman teh terserang jamur putih yang hingga kini belum ditemukan cara pencegahannya.

”Untuk memutus siklus jamur, cara paling mudah adalah mencabut tanaman teh. Namun, keputusan itu mengandung konsekuensi di tempat yang sama tidak boleh ditanam teh untuk tiga tahun ke depan. Tujuannya, menghilangkan keberadaan jamur putih di tanah,” kata penyuluh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya Sirodj di Tasikmalaya, Selasa (1/3).

Jamur putih adalah penyakit ganas menular yang menyerang tanaman teh di perkebunan teh rakyat di Kabupaten Tasikmalaya.

Awalnya, jamur ini menyerang mulai dari pucuk daun, batang, hingga akar. Daun terserang akan menghitam dan berbintil. Batang dan akar seperti diselimuti serbuk putih. Jika jamur sudah menyerang akar, tanaman teh itu tidak lama lagi akan mati.

Pemilik kebun teh yang tanamannya terserang jamur putih, Cucu Rasma, mengatakan, ”Saat ini petani teh sudah mulai mengganti aktivitasnya sebagai petani cabai. Banyak lahan bekas tanaman teh ditanami cabai karena dianggap lebih menguntungkan.” Dua hektar lahan milik Cucu terserang jamur putih.

Selain di Tasikmalaya, salah seorang mandor hama penyakit tanaman perkebunan teh PT Sarana Mandiri Mukti di Kecamatan Kabawetan, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, Sriyono (51), mengatakan, beberapa hama penyakit yang muncul, di antaranya kepik pengisap daun dan ulat penggulung daun.

”Setelah kena serangan ulat, daun menggulung dan tulang daun merah-merah. Lama-lama daun bisa kering dan tidak bisa dipanen,” kata Sriyono.

Serangan hama tersebut menyebabkan daun teh yang bisa dipanen berkurang. Seorang petugas penimbang pucuk daun teh, Nanang, menyampaikan, produksi harian pucuk daun teh saat kemarau hanya 11-12 ton. Padahal, pada hari normal produksi pucuk daun teh basah setidaknya 20 ton sehari.

Lesunya usaha teh rakyat turut menjepit kehidupan buruh petik dan semprot.

Enan Sunarya (56), pemilik kebun teh di Desa Linggasari, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, mengatakan, akibat penghasilan tak memadai, kini sulit mencari buruh petik. Dengan upah petik Rp 400 per kilogram, pendapatan buruh pemetik Rp 15.000 per hari atau bahkan kurang.

Lima pemetik di Desa Pasirangin, Kecamatan Darangdan, misalnya, hanya dapat memetik 72 kilogram pucuk daun teh dari kebun seluas dua patok (800 meter persegi) sejak pukul 07.00 hingga 12.00. Dengan upah Rp 400 per kilogram, setiap pemetik hanya kebagian Rp 5.760.

”Hasilnya tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Wajar jika kini kian sulit mencari pemetik teh,” kata Imron (31), pengurus Kelompok Teh Rakyat Purwakarta, yang tinggal di Pasirangin. (CHE/MKN/ADH)

sumber: Kompas

{[['']]}

Ekspor Sayur ke Singapura Digenjot


Peluang ekspor sayur dan buah Indonesia ke Singapura terbuka lebar. Pemerintah Indonesia dan Singapura sepakat, pada 2014 ada peningkatan pangsa pasar ekspor buah dan sayur Indonesia ke Singapura sebesar 30 persen. Pangsa pasar saat ini yang kurang dari 10 persen.

Untuk memenuhi target peningkatan itu diperlukan produksi yang berkesinambungan dalam kualitas, kuantitas teratur, penerapan praktik pertanian yang baik, keamanan pangan, dan rantai pasok yang memadai.

Menteri Pertanian Suswono menyampaikan itu di sela peluncuran ekspor buah dan sayur ke Singapura oleh PT Hortijaya Lestari dan PT Alamanda Sejati Utama, Rabu (2/3) di Karo, Sumatera Utara. Kedua eksportir itu bermitra dengan petani sayur dan buah di Sumatera Utara.

Selain itu, juga dilakukan penandatanganan kontrak dagang pemasaran sayuran untuk ekspor ke Singapura antara Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Mitra Tani Lestari di Kabupaten Karo dan PT Hortijaya Lestari.

Juga Gapoktan Dolok Meriah di Kabupaten Simalungun dan Gapoktan Maju Bersama dengan PT Alamanda Sejati Utama. Total lahan kerja sama 20 hektar.

Suswono menyatakan, peningkatan ekspor melalui kerja sama pemasaran antara petani dan eksportir merupakan bentuk terobosan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan petani. Hal itu juga merupakan upaya menjaga harga di tingkat petani agar tidak terlalu fluktuatif.

Suswono berharap kepada petani dan pengusaha untuk menjaga kerja sama yang telah dirintis. Pedagang juga diminta menjaga harga produk pertanian agar tidak jatuh. Selain itu, petani juga jangan tergoda harga di luar kontrak yang lebih tinggi.

Kendala infrastruktur

Masalah infrastruktur jalan dan pelabuhan masih menjadi kendala. ”Di on farm, saya akan selesaikan masalah untuk dukung dan membimbing petani meningkatkan kualitas produk,” katanya. Apalagi, Singapura sangat menjaga kualitas.

”Saya minta eksportir juga mengayomi petani. Berbagi informasi dan keuntungan secara berkeadilan. Kalau harga di pasar ekspor bagus, harga petani juga ditingkatkan agar bisa makmur bersama,” katanya.

Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Zaenal Bachruddin menyatakan, kebutuhan sayur dan buah pasar Singapura tahun 2008 sebanyak 400.000 ton. Ekspor Indonesia tahun 2009 sekitar 32.000 ton atau sekitar 6,5 persen. Target pangsa pasar ekspor tahun 2014 adalah 30 persen, setara dengan 130.000-135.000 ton.

Pelaksana Harian Bupati Karo Makmur Ginting menyatakan, sayuran yang berpotensi diekspor, seperti kol, kubis, kubis putih (pecai), kentang, bayam, buncis, tomat, terong ungu panjang, ubi jalar, jahe gajah, lobak. Adapun jenis buahnya, antara lain jeruk, markisa, terong belanda, pisang, jambu batu putih, dan cabai.

Pemerintah daerah Karo menyayangkan penurunan pangsa pasar ekspor sayur dan buah ke Singapura. Hal ini akibat kalah bersaing dengan sayur dan buah dari China, Malaysia, dan Vietnam.

Zaenal menyatakan, faktor internalnya, antara lain, adalah penurunan kualitas sehingga tidak memenuhi standar, terutama terkait kesegaran dan keamanan pangan.

Belum lagi kurangnya dukungan infrastruktur jalan dan pelabuhan. ”Akibatnya, produk sayur dan buah tidak efisien, meski potensi sumber daya alam melimpah,” katanya. (mas/mhf)

sumber: Kompas
{[['']]}

Does Corn have an expiry date?

Many of us would not drink milk past the expiry date, maybe on a dare but even then many of you are probably a little uneasy with just the thought of this. As corn harvest is slowed down due to weather or full elevators I get that same uneasy feeling I get thinking of drinking spoiled milk. In 2010 we planted our corn early and had great heat and rains throughout the summer in much of the corn producing areas of Ontario and Quebec and yet we are somewhat surprised that the standability is starting to weaken. Could it be that we have went past the expiry date on corn stalks and roots?

I would say yes. Current moisture levels are below 20% and the corn was fully mature (black layer) over a month ago, so the plant has been dead for a while. Dead plant material rots. If you add moisture (heavy dews, frequent rains even frost) it rots faster, plain and simple. Add high winds and rotting stalks break. One of the main differences I see in traveling from a Western corn area (mid west US) to an Eastern corn area is the higher level of moisture and therefore rot organisms that the corn plant must survive. In the East our expiry date is less than the West. Also, how the plants partitions its energy resources (sugars) – yield or plant health affects the expiry date of corn. If every plant only has one 2 gallon pail of energy to use where is it going to use it (ex. 1/2 gallon for stalks, 1/2 gallon for roots and 1 gallon for grain) each hybrid is different on how it partitions its 2 gallon bucket. Generally, the very high yielding genetics put more of its bucket into grain and the stalks and roots may run out as we go later into the season (shorter expiry date). Average yield with consistent standability may use more of its 2 gallon bucket for stalks and roots and therefore stand longer but yield less (long expiry date).

So what do I do as a grower? Harvest your short expiry date hybrids early to maximize the yield of those hybrids. This fall select a portfolio corn genetics that have long and short expiry dates.

Have a safe harvest.

Source: http://nkcropbarometer.wordpress.com/

{[['']]}

Harvest Tips for Mouldy Corn

Some area’s in Ontario are seeing a higher levels of ear mould this year. I have included the harvest tips used in previous years.
First using the inserted picture determine if you are at risk. A quick method of determining if you are at risk includes scouting 100 plants from the field (5 areas of 20 ears each). Fields with 25 % of the ears having mould growth should be harvested sooner rather
than later.

A) Prioritize your corn harvest and storage. If producers have 2009 crop corn still left on the farm it is important to not mix it with potentially mouldy corn from this harvest. Livestock producers, especially hog, will want to scout fields, sample and test for mycotoxins in order to store their cleanest corn for feeding purposes. Cash croppers are advised that the same process of keeping clean corn segregated from mouldy corn may result in some increased marketing opportunities over the upcoming months.
B) As a general rule, harvest infected fields early. Mycotoxin levels have the potential to build the longer you leave the corn in the field. Once corn moisture is below 18%, mould fungi become dormant and cease to produce mycotoxins.
C) High temperature drying stops mould growth and mycotoxin production but does not reduce mycotoxins already present. Optimum temperature for mould growth is 28oC; mould stops growing at >30 degrees C. Quick drying is preferred over low heat drying. Be wary of low temperature in bin dryers for mouldy corn and be sure proper ventilation requirements are met for storing dry corn.
D) Leave tip kernels attached to the cob if possible by running the combine at full capacity with concave settings open and cylinder speed set low. Screens on the bottom of the grain elevator, the bottom of the return elevator and on the unload auger will also help screen out the fines.
E) Set the combine to provide high levels of wind to blow out the lighter infected kernels. Gibberella ear rot infection results in kernel damage. As noted above, cob pieces and the fines (kernel tips and red dog) contain higher concentrations. Be careful combine
adjustments do not result in kernel damage. The sample could be downgraded and increase potential storage problems.
F) Additional post-combine grain cleaning with rotary screen type cleaners has been shown to be effective in reducing mycotoxin levels in the remaining grain. This
method has the most significant impact on grain samples with low to moderate mycotoxin levels.

Check your fields before you harvest and develop a plan if you do see ear mould infection. Have a safe harvest.

Source: http://nkcropbarometer.wordpress.com/


{[['']]}

Budidaya Tanaman Tomat/ Tomatoes (Solanum lycopersicum)

The tomato is a savory, typically red, edible fruit, as well as the plant (Solanum lycopersicum) which bears it. Originating in South America, the tomato was spread around the world following the Spanish colonization of the Americas, and its many varieties are now widely grown, often in greenhouses in cooler climates.

The tomato fruit is consumed in diverse ways, including raw, as an ingredient in many dishes and sauces, and in drinks. While it is botanically a fruit, it is considered a vegetable for culinary purposes (as well as by the United States Supreme Court, see Nix v. Hedden), which has caused some confusion. The fruit is rich in lycopene, which may have beneficial health effects.

The tomato belongs to the nightshade family. The plants typically grow to 1–3 metres (3–10 ft) in height and have a weak stem that often sprawls over the ground and vines over other plants. It is a perennial in its native habitat, although often grown outdoors in temperate climates as an annual.


Budidaya Tanaman Tomat


{[['']]}

Budidaya Tanaman Jahe/ Ginger Plant (Zingiber officinale)

Ginger is the rhizome of the plant Zingiber officinale, consumed whole as a delicacy, medicine, or spice. It lends its name to its genus and family (Zingiberaceae). Other notable members of this plant family are turmeric, cardamom, and galangal.

Ginger cultivation began in South Asia and has since spread to East Africa and the Caribbean. It is sometimes called root ginger to distinguish it from other things that share the name ginger.

The characteristic odor and flavor of ginger is caused by a mixture of zingerone, shogaols and gingerols, volatile oils that compose one to three percent of the weight of fresh ginger. In laboratory animals, the gingerrols increase the motility of the gastrointestinal tract and have analgesic, sedative, antipyretic and antibacterial properties.[4] Ginger oil has been shown to prevent skin cancer in miceand a study at the University of Michigan demonstrated that gingerols can kill ovarian cancer cells. 6]gingerol (1-[4'-hydroxy-3'-methoxyphenyl]-5-hydroxy-3-decanone) is the major pungent principle of ginger, the chemopreventive potentials of -gingerol present a promising future alternative to expensive and toxic therapeutic agents

Ginger contains up to three percent of a fragrant essential oil whose main constituents are sesquiterpenoids, with (-)-zingiberene as the main component. Smaller amounts of other sesquiterpenoids (β-sesquiphellandrene, bisabolene and farnesene) and a small monoterpenoid fraction (β-phelladrene, cineol, and citral) have also been identified.

The pungent taste of ginger is due to nonvolatile phenylpropanoid-derived compounds, particularly gingerols and shogaols, which form from gingerols when ginger is dried or cooked. Zingerone is also produced from gingerols during this process; this compound is less pungent and has a spicy-sweet aroma. Ginger is also a minor chemical irritant, and because of this was used as a horse suppository by pre-World War I mounted regiments for feaguing.

Ginger has a sialagogue action, stimulating the production of saliva, which makes swallowing easier.
Source



Budidaya Jahe Merah_ Jahe Gadjah_ dan Jahe Emprit


{[['']]}

First Documented Case Of Pest Resistance To Biotech Cotton


A pest insect known as bollworm is the first to evolve resistance in the field to plants modified to produce an insecticide called Bt, according to a new research report.

Bt-resistant populations of bollworm, Helicoverpa zea, were found in more than a dozen crop fields in Mississippi and Arkansas between 2003 and 2006.

"What we're seeing is evolution in action," said lead researcher Bruce Tabashnik. "This is the first documented case of field-evolved resistance to a Bt crop."

Bt crops are so named because they have been genetically altered to produce Bt toxins, which kill some insects. The toxins are produced in nature by the widespread bacterium Bacillus thuringiensis, hence the abbreviation Bt.

The bollworm resistance to Bt cotton was discovered when a team of University of Arizona entomologists analyzed published data from monitoring studies of six major caterpillar pests of Bt crops in Australia, China, Spain and the U.S. The data documenting bollworm resistance were first collected seven years after Bt cotton was introduced in 1996.

"Resistance is a decrease in pest susceptibility that can be measured over human experience," said Tabashnik, professor and head of UA's entomology department and an expert in insect resistance to insecticides. "When you use an insecticide to control a pest, some populations eventually evolves resistance."

The researchers write in their report that Bt cotton and Bt corn have been grown on more than 162 million hectares (400 million acres) worldwide since 1996, "generating one of the largest selections for insect resistance ever known."

Even so, the researchers found that most caterpillar pests of cotton and corn remained susceptible to Bt crops.

"The resistance occurred in one particular pest in one part of the U.S.," Tabashnik said. "The other major pests attacking Bt crops have not evolved resistance. And even most bollworm populations have not evolved resistance."

The field outcomes refute some experts' worst-case scenarios that predicted pests would become resistant to Bt crops in as few as three years, he said.

"The only other case of field-evolved resistance to Bt toxins involves resistance to Bt sprays," Tabashnik said. He added that such sprays have been used for decades, but now represent a small proportion of the Bt used against crop pests.

The bollworm is a major cotton pest in the southeastern U.S. and Texas, but not in Arizona. The major caterpillar pest of cotton in Arizona is a different species known as pink bollworm, Pectinophora gossypiella, which has remained susceptible to the Bt toxin in biotech cotton.

Tabashnik and his colleagues' article, "Insect resistance to Bt crops: evidence versus theory," will be published in the February issue of Nature Biotechnology. His co-authors are Aaron J. Gassmann, a former UA postdoctoral fellow now an assistant professor at Iowa State University; David W. Crowder, a UA doctoral student; and Yves Carrière, a UA professor of entomology. Tabashnik and Carrière are members of UA's BIO5 Institute.

"Our research shows that in Arizona, Bt cotton reduces use of broad-spectrum insecticides and increases yield," said Carrière. Such insecticides kill both pest insects and beneficial insects.

To delay resistance, non-Bt crops are planted near Bt crops to provide "refuges" for susceptible pests. Because resistant insects are rare, the only mates they are likely to encounter would be susceptible insects from the refuges. The hybrid offspring of such a mating generally would be susceptible to the toxin. In most pests, offspring are resistant to Bt toxins only if both parents are resistant.

In bollworm, however, hybrid offspring produced by matings between susceptible and resistant moths are resistant. Such a dominant inheritance of resistance was predicted to make resistance evolve faster.

The UA researchers found that bollworm resistance evolved fastest in the states with the lowest abundance of refuges.

The field outcomes documented by the global monitoring data fit the predictions of the theory underlying the refuge strategy, Tabashnik said.

Although first-generation biotech cotton contained only one Bt toxin called Cry1Ac, a new variety contains both Cry1Ac and a second Bt toxin, Cry2Ab. The combination overcomes pests that are resistant to just one toxin.

The next steps, Tabashnik said, include conducting research to understand inheritance of resistance to Cry2Ab and developing designer toxins to kill pests resistant to Cry1Ac.

Although preparation of this article was not supported by organizations that may gain or lose financially through its publication, the authors have received support for other research from Monsanto Company and Cotton, Inc. One of the authors (B. T.) is a co-author of a patent application filed with the World Intellectual Property Organization on engineering modified Bt toxins to counter pest resistance, which is related to research published in 2007 (Science 318: 1640-1642. 2007).

Source


{[['']]}
 
Support : Produksi Pertanian | Produksi Pertanian | Produksi Pertanian
Copyright © 2011. Produksi Pertanian - All Rights Reserved
Template Created by Produksi Pertanian Published by Produksi Pertanian
Proudly powered by Produksi Pertanian