Menurut Kepala Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Astu Unadi, Jumat (1/4) di Jakarta, hingga saat ini mekanisasi pertanian baru bisa berjalan setengahnya, terutama mekanisasi dalam hal pengolahan lahan dan pengolahan hasil pertanian.
Pemrosesan padi dari gabah menjadi beras juga sudah menggunakan mesin, tidak lagi ditumbuk karena bila ditumbuk tingkat kehilangan hasilnya tinggi, kualitas beras jelek, dan biaya tenaga kerja besar serta lamban.
”Meskipun butuh puluhan tahun untuk mengubah budaya, traktor dan mesin penggilingan padi akhirnya diterima petani dan masyarakat,” katanya. Petani sekarang tidak mau lagi mencangkul karena itu pekerjaan berat, begitu pula dengan menumbuk gabah.
Pada tingkatan lain, mekanisasi pertanian sulit berkembang, terutama pada tahap penanaman dan panen.
”Kalau mekanisasi sudah masuk, biaya produksi bisa ditekan lebih rendah sampai 12,5 persen lagi,” katanya.
Sulitnya mekanisasi masuk karena terbentur masalah sosial. Astu mencontohkan, bila menggunakan tenaga manusia untuk penanaman dan panen butuh tenaga kerja 30 orang per hektar per hari dengan upah Rp 40.000 per hari.
Bila menggunakan mesin, selain lebih cepat biaya tanam dan panen bisa ditekan lebih dari separuhnya. Akan tetapi, tenaga kerja akan berkurang banyak.
Investasi mesin pertanian juga sekarang tidak begitu mahal karena sebagian besar sudah diproduksi di dalam negeri.
Mekanisasi penanaman dan pemanenan sulit diterapkan. Bahkan, di beberapa lokasi seperti di wilayah pantai utara Jawa, pernah ada kasus mesin pemanen padi dibakar massa.
Sumber: Kompas
Posting Komentar