”Untuk memutus siklus jamur, cara paling mudah adalah mencabut tanaman teh. Namun, keputusan itu mengandung konsekuensi di tempat yang sama tidak boleh ditanam teh untuk tiga tahun ke depan. Tujuannya, menghilangkan keberadaan jamur putih di tanah,” kata penyuluh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya Sirodj di Tasikmalaya, Selasa (1/3).
Jamur putih adalah penyakit ganas menular yang menyerang tanaman teh di perkebunan teh rakyat di Kabupaten Tasikmalaya.
Awalnya, jamur ini menyerang mulai dari pucuk daun, batang, hingga akar. Daun terserang akan menghitam dan berbintil. Batang dan akar seperti diselimuti serbuk putih. Jika jamur sudah menyerang akar, tanaman teh itu tidak lama lagi akan mati.
Pemilik kebun teh yang tanamannya terserang jamur putih, Cucu Rasma, mengatakan, ”Saat ini petani teh sudah mulai mengganti aktivitasnya sebagai petani cabai. Banyak lahan bekas tanaman teh ditanami cabai karena dianggap lebih menguntungkan.” Dua hektar lahan milik Cucu terserang jamur putih.
Selain di Tasikmalaya, salah seorang mandor hama penyakit tanaman perkebunan teh PT Sarana Mandiri Mukti di Kecamatan Kabawetan, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, Sriyono (51), mengatakan, beberapa hama penyakit yang muncul, di antaranya kepik pengisap daun dan ulat penggulung daun.
”Setelah kena serangan ulat, daun menggulung dan tulang daun merah-merah. Lama-lama daun bisa kering dan tidak bisa dipanen,” kata Sriyono.
Serangan hama tersebut menyebabkan daun teh yang bisa dipanen berkurang. Seorang petugas penimbang pucuk daun teh, Nanang, menyampaikan, produksi harian pucuk daun teh saat kemarau hanya 11-12 ton. Padahal, pada hari normal produksi pucuk daun teh basah setidaknya 20 ton sehari.
Lesunya usaha teh rakyat turut menjepit kehidupan buruh petik dan semprot.
Enan Sunarya (56), pemilik kebun teh di Desa Linggasari, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, mengatakan, akibat penghasilan tak memadai, kini sulit mencari buruh petik. Dengan upah petik Rp 400 per kilogram, pendapatan buruh pemetik Rp 15.000 per hari atau bahkan kurang.
Lima pemetik di Desa Pasirangin, Kecamatan Darangdan, misalnya, hanya dapat memetik 72 kilogram pucuk daun teh dari kebun seluas dua patok (800 meter persegi) sejak pukul 07.00 hingga 12.00. Dengan upah Rp 400 per kilogram, setiap pemetik hanya kebagian Rp 5.760.
”Hasilnya tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Wajar jika kini kian sulit mencari pemetik teh,” kata Imron (31), pengurus Kelompok Teh Rakyat Purwakarta, yang tinggal di Pasirangin. (CHE/MKN/ADH)
sumber: Kompas
Posting Komentar