Info Terbaru :
Terbaru

Kementerian Pertanian Akan Optimalkan 2 Juta Hektar Lahan Pertanian

Menteri Pertanian Suswono menyatakan, untuk memperkuat ketahanan pangan pihaknya akan mengoptimalkan pemanfaatan lahan 2 juta hektar di daerah tertinggal. Komoditas yang bisa dikembangkan tidak hanya beras, jagung dan kedelai, tetapi juga pangan lokal.

”Tahun ini diharapkan sudah ada program dari Kementerian Pertanian untuk daerah tertinggal. Memang sebelumnya sudah ada usul dari kepala dinas pertanian di daerah-daerah tertinggal sehingga kami tinggal menyinkronkan saja dengan kebijakan yang ada. Anggaran bisa masuk dalam APBN-Perubahan 2011,” katanya, Kamis (31/3).

Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Ahmad Helmy Faishal Zaini mengatakan, di 183 daerah tertinggal terdapat rata-rata 15.000 hektar sampai 20.000 hektar lahan yang belum dimanfaatkan. Dari lahan sebanyak itu, sekitar 70 persen sesuai untuk pengembangan pertanian.

Lahan tersebut statusnya di luar 7,3 juta hektar lahan telantar yang diputuskan untuk diambil alih pemerintah. Dengan memanfaatkan lahan tersebut, akan mendorong pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru di sana dan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat daerah tertinggal.

Dalam merealisasikan pembangunan pertanian untuk percepatan pembangunan daerah tertinggal, Kementerian Pertanian dan Kementerian Negara Pembangunan Daerah tertinggal menandatangani nota kesepahaman, yakni kerja sama terkait peningkatan kapasitas sumber daya manusia pertanian melalui pendampingan di bidang penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan.

Pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna, pengembangan dan penguatan kelembagaan, serta pengembangan agribisnis dan agroindustri pedesaan dalam mendukung pengembangan ekonomi daerah tertinggal melalui kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian.

Adapun antisipasi krisis pangan yang mengancam Indonesia tak hanya peningkatan produksi. Persoalan distribusi dan pengelolaan pascapanen juga memegang peranan penting agar tidak terjadi disparitas harga yang terlalu mencolok.

Hal tersebut disampaikan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di Jakarta. ”Distribusi pangan saat ini masih banyak terkendala infrastruktur, misalnya saja distribusi pangan ke luar Jawa. Akibatnya, harga pangan di luar Jawa masih tinggi,” katanya.

Dia mengatakan, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur jalan supaya distribusi lebih lancar. Tak hanya itu, pelabuhan dan bandara juga perlu dibenahi termasuk moda transportasinya. Jika distribusi lancar, disparitas harga seharusnya tidak terlalu tinggi.

Menurut Mari, selain distribusi faktor penting lainnya adalah pengelolaan pascapanen. Pengelolaan dilakukan dengan memaksimalkan gudang penyimpanan. Gudang berfungsi untuk perencanaan stok sehingga pasokan stabil.

{[['']]}

1.500 Hektar Lahan Tergenang

Dua pintu dari 11 pintu bendung pembagi banjir Wilalung, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, rusak. Kerusakan itu menyebabkan 1.500 hektar lahan pertanian di Kecamatan Undaan dan Jekulo tergenang.

Pengelola Bendung Wilalung Balai Sumber Daya Air Jawa Tengah, Noor Kholish, Kamis (31/3), di Kudus, mengatakan, kerusakan terjadi pada pintu delapan dan sembilan. Pintu delapan kondisi miring di bagian bawah, sehingga air bendung berkapasitas 50 liter per detik keluar dari celah kemiringan pintu.

Sawah jadi kebanjiran, sehingga pengelola bendung dan kelompok petani pemakai air menyumbat celah itu dengan batang pohon kelapa. ”Kami khawatir kalau volume bendung naik, sumbatan darurat jebol. Padahal Desember 2010 pintu delapan baru saja diperbaiki,” kata Noor.

Adapun pintu sembilan terjadi kebocoran pada sejumlah titik di bagian bendung pelapis pintu. Kumpulan air bocor itu merembes melalui bagian bawah pintu utama yang sudah berlubang.

”Kami telah meminta kontraktor untuk membenahi kemiringan. Untuk pintu sembilan baru diusulkan perbaikannya,” kata Noor.

Percepat tanam

Sementara itu, petani di Sulawesi Selatan diimbau mempercepat penanaman padi pada lahan sawah tadah hujan dan irigasi nonteknis. Langkah itu untuk menghindari risiko kekeringan pada beberapa bulan lagi.

Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sulsel, Lutfi Halide, mengatakan, berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kemarau panjang akan melanda sejumlah kabupaten di Sulsel pada Juli 2011, antara lain Gowa, Takalar, Maros, dan Jeneponto. Di daerah ini terdapat sekitar 20.000 hektar lahan tadah hujan dan irigasi nonteknis.

Menurut Lutfi, sekitar 30 persen dari 53.643 hektar areal tanaman padi musim rendeng telah memasuki masa panen. Petani diharapkan langsung mengolah lahan, menebar benih, dan menanami padi untuk mengejar ketersediaan air.

”Saya berharap pada awal April petani mulai tanam agar dua bulan nanti sudah masuk pematangan,” ungkap Lutfi. Langkah ini dianggap efektif menghindari kemungkinan gagal panen akibat kemarau berkepanjangan.

Bahkan, di wilayah Tegal, Jawa Tengah, petani mulai menanam palawija dan tanaman sayur, seperti caisim dan bayam, yang tak banyak membutuhkan air. Hal itu untuk mengantisipasi kondisi cuaca yang tidak menentu.

M Rali (45), petani di Desa Kepandean, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, mengatakan, memilih menanam caisim, karena tanaman tersebut tidak banyak membutuhkan air. Jangka waktu tanam hingga panen hanya sekitar 20 hingga 25 hari. ”Penyiraman air yang rutin hanya sekitar seminggu pertama. Setelah itu, tanaman cukup disiram tiga atau empat hari sekali,” katanya.

Di Banyuwangi, Jawa Timur, selama tiga bulan terakhir bertambah lahan penanaman cabai sekitar 20 persen. Para petani itu mengharapkan keuntungan dari tingginya harga palawija pada awal 2011.

Sumber: Kompas
{[['']]}

Tanaman Tebu Cocok Ditanam di Papua

Di tengah berbagai pilihan komoditas untuk ditanam di Kabupaten Merauke, Papua, dalam program Merauke Integrated Food and Energy Estate, tanaman tebu diperkirakan cocok untuk dibudidayakan di tempat itu.

Pembibitan yang telah dilakukan sejak tahun lalu hingga saat ini relatif tanpa gangguan yang berarti. Apabila tidak ada masalah, pada 2013 sudah ada pabrik gula yang terintegrasi di tempat itu.

Direktur PT Cendrawasih Jaya Mandiri FS Heru Priyono di Merauke, Rabu (30/3), mengatakan, sejak pertama kali dilakukan pembibitan di tempat itu pada November lalu, telah ada 40 hektar bibit. Dalam waktu dekat akan dikembangkan lagi menjadi 200 hektar hingga menjadi 1.000 hektar kebun bibit. Perusahaan yang termasuk dalam Grup Rajawali adalah salah satu dari perusahaan yang menjadi pionir penanaman tebu di Merauke.

”Kami optimistis apabila tidak ada halangan, dari kebun bibit nantinya kami akan memiliki kebun tebu giling 8.456 hektar. Tebu hasil kebun ini digunakan untuk bahan baku giling perdana pada 2013,” kata Heru, saat melihat kebun bibit tebu di Kampung Kurik V, Distrik Malind.

Ia menambahkan, saat ini pihaknya tengah menunggu izin prinsip pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Izin ini diperlukan agar perusahaan itu bisa menggunakan lahan untuk bibit dan pembuatan kebun tebu giling di lahan sendiri. Untuk pembibitan, saat ini mereka menyewa lahan dari penduduk.

”Lahan di sini tergolong bagus. Hanya dengan sedikit perlakuan kita bisa meningkatkan kualitas tanah sehingga cocok untuk tanaman tebu. Untuk meningkatkan kualitas tanah, kami menambah dolomite (sejenis mineral),” kata Heru. Ia menambahkan lahan di Merauke juga menguntungkan karena relatif datar sehingga tidak mempersulit pembukaan lahan. Di samping itu, berdasarkan literatur, tanaman tebu merupakan tanaman endemik di Merauke sehingga secara agroklimat tanaman tebu yang bibitnya didatangkan dari luar tidak mengalami banyak kesulitan dalam penyesuaian iklim.

Ketika Kompas melihat kebun bibit di Kampung Kurik V terlihat masalah yang dialami dalam penanaman tebu adalah pasokan air yang melimpah. Hal ini sangat mengganggu pertanaman karena pada periode tertentu tanaman tebu tidak membutuhkan pasokan air.

Manajer Pengolahan Tanah PT Cendrawasih Jaya Mandiri Abdul Wahab Aji mengatakan, untuk menanggulangi masalah ini, pada masa tertentu air di kebun harus dipompa dan dikeluarkan dari kebun

Sumber: Kompas
{[['']]}

Seedless Cherimoya, the Next Banana?

Mark Twain called it "the most delicious fruit known to man." But the cherimoya, or custard apple, and its close relations the sugar apple and soursop, also have lots of big, awkward seeds. Now new research by plant scientists in the United States and Spain could show how to make this and other fruits seedless.

Going seedless could be a big step for the fruit, said Charles Gasser, professor of plant biology at UC Davis.

"This could be the next banana -- it would make it a lot more popular," Gasser said. Bananas in their natural state have up to a hundred seeds; all commercial varieties, of course, are seedless. A paper describing the work is published March 14 in the journal Proceedings of the National Academy of Sciences.

Researchers José Hormaza, Maria Herrero and graduate student Jorge Lora at the Consejo Superior de Investigaciones Cientificas in Malaga and Zaragoza, Spain, studied the seedless variety of sugar apple. When they looked closely at the fruit, they noticed that the ovules, which would normally form seeds, lacked an outer coat.

They looked similar to the ovules of a mutant of the lab plant Arabidopsis discovered by Gasser's lab at UC Davis in the late 1990s. In Arabidopsis, the defective plants do not make seeds or fruit. But the mutant sugar apple produces full-sized fruit with white, soft flesh without the large, hard seeds.

The Spanish team contacted Gasser, and Lora came from Malaga to work on the project in Gasser's lab. He discovered that the same gene was responsible for uncoated ovules in both the Arabidopsis and sugar apple mutants.

"This is the first characterization of a gene for seedlessness in any crop plant," Gasser said.

Seedless varieties of commercial fruit crops are usually achieved by selective breeding and then propagated vegetatively, for example through cuttings.

Discovery of this new gene could open the way to produce seedless varieties in sugar apple, cherimoya and perhaps other fruit crops.

The discovery also sheds light on the evolution of flowering plants, Gasser said. Cherimoya and sugar apple belong to the magnolid family of plants, which branched off from the other flowering plants quite early in their evolution.

"It's a link all the way back to the beginning of the angiosperms," Gasser said.

The work was funded by grants from the Spanish government, the European Union and the U.S. National Science Foundation
{[['']]}

Dairy Farmer Finds Unusual Forage Grass

A U.S. Department of Agriculture (USDA) grass breeder has rediscovered a forage grass that seems just right for today's intensive rotational grazing.

A farmer's report of an unusual forage grass led Michael Casler, an Agricultural Research Service (ARS) geneticist at the agency's U.S. Dairy Forage Research Center in Madison, Wis., to identify the grass as meadow fescue. Meadow fescue has been long forgotten, although it was popular after being introduced about 50 to 60 years before tall fescue.

ARS is USDA's principal intramural scientific research agency.

Casler has developed a new variety of meadow fescue called Hidden Valley, and its seed is being grown for future release.

Non-toxic fungi called endophytes live inside meadow fescue, helping it survive heat, drought and pests. Unlike the toxic endophytes that inhabit many commercial varieties of tall fescue and ryegrass, meadow fescue does not poison livestock.

Charles Opitz found the grass growing in the deep shade of a remnant oak savannah on his dairy farm near Mineral Point, Wis. He reported that the cows love it and produce more milk when they eat it. Casler used DNA markers to identify Opitz's find.

Meadow fescue is very winter-hardy and persistent, having survived decades of farming. It emerged from oak savannah refuges to dominate many pastures in the Midwest's driftless region, named for its lack of glacial drift, the material left behind by retreating continental glaciers.

Casler and his colleagues have since found the plant on more than 300 farms in the driftless region of Wisconsin, Iowa and Minnesota. Geoffrey Brink, an ARS agronomist working with Casler, discovered that meadow fescue is 4 to 7 percent more digestible than other cool-season grasses dominant in the United States.

In another study, meadow fescue had a nutritional forage quality advantage over tall fescue and orchardgrass that may compensate for its slightly lower annual yield further north, as reported in the Agronomy Journal. Also, the yield gap begins to close with the frequent harvesting involved in intensive grazing.


{[['']]}

Large Regional Changes in Farmland Area Predicted


The effects of climate change and population growth on agricultural land area vary from region to region, according to a new study by University of Illinois researchers

Regions with relative high latitudes -- China, Russia and the U.S. -- could see a significant increase in arable land in coming years, but Africa, Europe and India and South America could lose land area.

Civil and environmental engineering professor Ximing Cai and graduate student Xiao Zhang published their findings in the journal Environmental Research Letters.

While most other studies of climate change and agriculture have focused on projected crop yields, the Illinois researchers assessed global and regional land availability. Using international land and climate datasets and remote-sensing land-use maps, they systematically studied worldwide changes in soil temperature and humidity with a resolution of one square kilometer.

"This study presents the main patterns and trends of the distribution of potential arable land and the possible impacts of climate change from a biophysical perspective," Cai said. "The possible gains and losses of arable land in various regions worldwide may generate tremendous impacts in the upcoming decades upon regional and global agricultural commodity production, demand and trade, as well as on the planning and development of agricultural and engineering infrastructures."

Cai and Zhang's model allowed them to address the many sources of uncertainty in trying to predict climate change, such as levels of greenhouse gas emissions, climate model uncertainty and ambiguity in land-use classification. They applied the model to several projected scenarios to uncover both regional and global trends in land availability.

When considering effects of climate change, residential sprawl as population grows and natural conservation, the global total of potential arable land in all scenarios decreased by the end of the 21st century, by a margin of 0.8 to 4.4 percent. However, much larger changes were predicted regionally. For example, arable land area could increase by 37 to 67 percent in Russia, while Africa could lose up to 18 percent of its farmland.

"Although the magnitudes of the projected changes vary by scenario, the increasing or decreasing trends in arable land area are regionally consistent," Cai said.

Next, the researchers will conduct more detailed regional studies to confirm their global findings. They hope to use their projections to evaluate world food production, demand and trade, and the corresponding implications for policies and investments.

The Energy Bioscience Institute at the U. of I. and the U.S. Department of Agriculture supported this work.


{[['']]}

Anaerobic Digestion on Farms Could Turn Agriculture Green

Research carried out by the Rural Economy and Land Use Programme has shown that small scale digesters on farms could be profitable for farmers, good for the environment and help the UK meet targets on green energy and greenhouse gas emissions.

A typical dairy farm could supply most of the electricity it needs to milk the cows, by converting their manure into energy. And it would help the Government to hit green energy targets and cut greenhouse gas emissions, according to researchers from the UK research councils' Rural Economy and Land Use Programme.

The interdisciplinary project, based at the universities of Southampton and Reading, has researched the potential for small-scale farm-based anaerobic digestion plants. It found that relatively small digesters could be economically viable when fed with mixtures of animal slurries and imported wastes or energy crops, and had the potential to boost the profits of both arable and dairy farms.

Wider adoption of the technology would also help farming to become greener. Digesting the slurry produced by one dairy cow has the potential to reduce methane emissions by 25 kg, and generate 1000 kWh of electricity per year -- equivalent to three months' electricity consumption for an average household,

The digestate left at the end of the process is a valuable fertiliser if spread on the land, reducing the amount of money farmers spend on artificial fertilisers -- and also saving the CO2 emissions involved in their production.

Anaerobic digestion is a very flexible technology, which may be used to process a wide range of agricultural crops, crop residues, animal wastes and imported food wastes, into usable energy.

The team also researched public attitudes to the building of anaerobic digestion plants in rural areas. Consumers tended to support the idea, particularly if cattle and pig manures were used to feed the digester, but most were also happy for food crops to be used. They thought that the most important benefit was that the digesters provide an alternative to landfill for organic waste, including waste food.

Professor Charles Banks from the University of Southampton who led the research said: "Other European countries have forged ahead with this technology. But although the UK Government has expressed its support, this has still not led to widespread adoption of the technology on farms.

"This research has shown that there is an economic incentive for farmers, but further encouragement may be necessary, and perhaps some financial support for demonstration projects. Widespread adoption could provide multiple benefits, not just for the farmer but also for the environment."


{[['']]}

Plasticity of Plants Helps Them Adapt to Climate Change

An international study, with Spanish participation, has shown that the phenotypic plasticity of plants, which enables them to change their structure and function, helps them to adapt to environmental change. This research will make it easier to anticipate plants' response to current climate change.

The study, which has been published in Trends in Plant Science, provides an overview of plants' molecular and genetic mechanisms, which is important for ecologists, physiologists and molecular biologists, since it covers the prime requirements for anticipating plants' response to global change.

The results show that plants in natural and agricultural systems have "the capacity to adapt to a changing environment without requiring any evolutionary changes, which always happens over several generations," Fernando Valladares, one of the authors of the paper and a researcher at the National Museum of Natural Sciences (CSIC), said.

All plant species exhibit a greater or lesser degree of plasticity. "Various studies suggest that species from more heterogeneous and changing environments have greater degrees of plasticity. For example, plants from these environments have great root plasticity in order to be able to take better advantage of fertile and damp areas and to avoid sterile, dry ones," Valladares explains.

Plants' pigmentation, root length, leaf mass and efficiency of water use are some of the leading indicators used to study the phenotypic plasticity of plant organisms.

"The differences in plasticity and its mechanisms allow us to better understand why various plant species grow where they do. This will enable us to project their most likely ranges in climate change scenarios," the researcher says.

Less productivity, greater survival

The advantages of plants changing their structure and function in the face of environmental change "could lead to the selection -- in the case of crops -- of more plastic varieties, which may not necessarily be the most productive, nor have the most easily-predictable productivity," the scientist stresses.

According to Valladares, the next step is "to understand the mechanisms that underlie plasticity, such as epigenetics -- non-genetic factors that determine an organism's development -- and how this impacts on the biological efficacy of wild species or on the long-term yield of agricultural species."


{[['']]}

Pestisida Alami Minim, Hama Kebal Obat


Ketersediaan biopestisida atau pestisida alami masih minim sehingga petani mengandalkan pestisida kimia buatan. Selain mencemari lingkungan dan membunuh musuh alami hama, pestisida kimia buatan membuat hama kebal berbagai upaya pembasmian.

”Banyak studi menunjukkan, penggunaan pestisida menimbulkan banyak kerugian jangka panjang,” kata dosen dan peneliti pada Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Suryo Wiyono, di Bogor, Jawa Barat, Rabu (2/3).

Menurut Suryo, pestisida kimia mengandung satu senyawa murni polutan di alam. Sifat polutan jelas merusak. Akhir-akhir ini, ketertarikan industri memproduksi biopestisida mulai tumbuh. Namun, produktivitas biopestisida minim sehingga sulit diakses petani.

Peneliti pada Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), Happy Widiastuti, mengatakan, unit kerjanya sudah memproduksi berbagai biopestisida. Namun, sejauh ini industri besar belum tertarik memproduksinya secara massal.

Padahal, dampaknya positif. ”Biopestisida bisa mengurangi dampak pemanasan global,” kata Happy.

Biopestisida produk BPBPI antara lain greemi-g, untuk mengendalikan penyakit tular tanah seperti Ganoderma sp yang banyak menyerang sawit, jamur akar putih pada karet, dan Phytophtora pada kakao. Produk biometeor pengendali hama dalam tanah, seperti penggerek pangkal batang tebu, juga menjadi pengendali hama Oryctes rhinoceros pada sawit dan kelapa.

Menurut Suryo, biopestisida dapat diproduksi dengan bahan baku tanaman dan mikroba. Mikroba berpotensi dikembangkan untuk massalisasi biopestisida.

Berbagai unsur tanaman dapat untuk biopestisida, antara lain mimba, tembakau, tuba atau jenu, temu-temuan atau rimpang kunyit dan kencur. (NAW)

Sumber: Kompas
{[['']]}

Terserang Hama, Kebun Teh Sulit Berproduksi


Puluhan hektar perkebunan teh rakyat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, terancam tidak bisa berproduksi untuk tiga tahun ke depan. Alasannya, tanaman teh terserang jamur putih yang hingga kini belum ditemukan cara pencegahannya.

”Untuk memutus siklus jamur, cara paling mudah adalah mencabut tanaman teh. Namun, keputusan itu mengandung konsekuensi di tempat yang sama tidak boleh ditanam teh untuk tiga tahun ke depan. Tujuannya, menghilangkan keberadaan jamur putih di tanah,” kata penyuluh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya Sirodj di Tasikmalaya, Selasa (1/3).

Jamur putih adalah penyakit ganas menular yang menyerang tanaman teh di perkebunan teh rakyat di Kabupaten Tasikmalaya.

Awalnya, jamur ini menyerang mulai dari pucuk daun, batang, hingga akar. Daun terserang akan menghitam dan berbintil. Batang dan akar seperti diselimuti serbuk putih. Jika jamur sudah menyerang akar, tanaman teh itu tidak lama lagi akan mati.

Pemilik kebun teh yang tanamannya terserang jamur putih, Cucu Rasma, mengatakan, ”Saat ini petani teh sudah mulai mengganti aktivitasnya sebagai petani cabai. Banyak lahan bekas tanaman teh ditanami cabai karena dianggap lebih menguntungkan.” Dua hektar lahan milik Cucu terserang jamur putih.

Selain di Tasikmalaya, salah seorang mandor hama penyakit tanaman perkebunan teh PT Sarana Mandiri Mukti di Kecamatan Kabawetan, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, Sriyono (51), mengatakan, beberapa hama penyakit yang muncul, di antaranya kepik pengisap daun dan ulat penggulung daun.

”Setelah kena serangan ulat, daun menggulung dan tulang daun merah-merah. Lama-lama daun bisa kering dan tidak bisa dipanen,” kata Sriyono.

Serangan hama tersebut menyebabkan daun teh yang bisa dipanen berkurang. Seorang petugas penimbang pucuk daun teh, Nanang, menyampaikan, produksi harian pucuk daun teh saat kemarau hanya 11-12 ton. Padahal, pada hari normal produksi pucuk daun teh basah setidaknya 20 ton sehari.

Lesunya usaha teh rakyat turut menjepit kehidupan buruh petik dan semprot.

Enan Sunarya (56), pemilik kebun teh di Desa Linggasari, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, mengatakan, akibat penghasilan tak memadai, kini sulit mencari buruh petik. Dengan upah petik Rp 400 per kilogram, pendapatan buruh pemetik Rp 15.000 per hari atau bahkan kurang.

Lima pemetik di Desa Pasirangin, Kecamatan Darangdan, misalnya, hanya dapat memetik 72 kilogram pucuk daun teh dari kebun seluas dua patok (800 meter persegi) sejak pukul 07.00 hingga 12.00. Dengan upah Rp 400 per kilogram, setiap pemetik hanya kebagian Rp 5.760.

”Hasilnya tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Wajar jika kini kian sulit mencari pemetik teh,” kata Imron (31), pengurus Kelompok Teh Rakyat Purwakarta, yang tinggal di Pasirangin. (CHE/MKN/ADH)

sumber: Kompas

{[['']]}

Ekspor Sayur ke Singapura Digenjot


Peluang ekspor sayur dan buah Indonesia ke Singapura terbuka lebar. Pemerintah Indonesia dan Singapura sepakat, pada 2014 ada peningkatan pangsa pasar ekspor buah dan sayur Indonesia ke Singapura sebesar 30 persen. Pangsa pasar saat ini yang kurang dari 10 persen.

Untuk memenuhi target peningkatan itu diperlukan produksi yang berkesinambungan dalam kualitas, kuantitas teratur, penerapan praktik pertanian yang baik, keamanan pangan, dan rantai pasok yang memadai.

Menteri Pertanian Suswono menyampaikan itu di sela peluncuran ekspor buah dan sayur ke Singapura oleh PT Hortijaya Lestari dan PT Alamanda Sejati Utama, Rabu (2/3) di Karo, Sumatera Utara. Kedua eksportir itu bermitra dengan petani sayur dan buah di Sumatera Utara.

Selain itu, juga dilakukan penandatanganan kontrak dagang pemasaran sayuran untuk ekspor ke Singapura antara Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Mitra Tani Lestari di Kabupaten Karo dan PT Hortijaya Lestari.

Juga Gapoktan Dolok Meriah di Kabupaten Simalungun dan Gapoktan Maju Bersama dengan PT Alamanda Sejati Utama. Total lahan kerja sama 20 hektar.

Suswono menyatakan, peningkatan ekspor melalui kerja sama pemasaran antara petani dan eksportir merupakan bentuk terobosan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan petani. Hal itu juga merupakan upaya menjaga harga di tingkat petani agar tidak terlalu fluktuatif.

Suswono berharap kepada petani dan pengusaha untuk menjaga kerja sama yang telah dirintis. Pedagang juga diminta menjaga harga produk pertanian agar tidak jatuh. Selain itu, petani juga jangan tergoda harga di luar kontrak yang lebih tinggi.

Kendala infrastruktur

Masalah infrastruktur jalan dan pelabuhan masih menjadi kendala. ”Di on farm, saya akan selesaikan masalah untuk dukung dan membimbing petani meningkatkan kualitas produk,” katanya. Apalagi, Singapura sangat menjaga kualitas.

”Saya minta eksportir juga mengayomi petani. Berbagi informasi dan keuntungan secara berkeadilan. Kalau harga di pasar ekspor bagus, harga petani juga ditingkatkan agar bisa makmur bersama,” katanya.

Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Zaenal Bachruddin menyatakan, kebutuhan sayur dan buah pasar Singapura tahun 2008 sebanyak 400.000 ton. Ekspor Indonesia tahun 2009 sekitar 32.000 ton atau sekitar 6,5 persen. Target pangsa pasar ekspor tahun 2014 adalah 30 persen, setara dengan 130.000-135.000 ton.

Pelaksana Harian Bupati Karo Makmur Ginting menyatakan, sayuran yang berpotensi diekspor, seperti kol, kubis, kubis putih (pecai), kentang, bayam, buncis, tomat, terong ungu panjang, ubi jalar, jahe gajah, lobak. Adapun jenis buahnya, antara lain jeruk, markisa, terong belanda, pisang, jambu batu putih, dan cabai.

Pemerintah daerah Karo menyayangkan penurunan pangsa pasar ekspor sayur dan buah ke Singapura. Hal ini akibat kalah bersaing dengan sayur dan buah dari China, Malaysia, dan Vietnam.

Zaenal menyatakan, faktor internalnya, antara lain, adalah penurunan kualitas sehingga tidak memenuhi standar, terutama terkait kesegaran dan keamanan pangan.

Belum lagi kurangnya dukungan infrastruktur jalan dan pelabuhan. ”Akibatnya, produk sayur dan buah tidak efisien, meski potensi sumber daya alam melimpah,” katanya. (mas/mhf)

sumber: Kompas
{[['']]}
 
Support : Produksi Pertanian | Produksi Pertanian | Produksi Pertanian
Copyright © 2011. Produksi Pertanian - All Rights Reserved
Template Created by Produksi Pertanian Published by Produksi Pertanian
Proudly powered by Produksi Pertanian