Info Terbaru :
Terbaru

5.000 Hektar Lebih Lahan Padi Puso


Banyumas, Kompas - Petani lahan padi tadah hujan di tujuh kecamatan di wilayah Kabupaten Cilacap bagian barat terpaksa harus tanam ulang karena kekurangan air. Diperkirakan ada lebih dari 5.000 hektar lahan yang harus tanam ulang. Di Cilacap timur, ratusan hektar lahan padi beririgasi teknis juga harus tanam ulang akibat terendam banjir.

Koordinator Serikat Tani Merdeka Cilacap, Petrus Sugeng, Senin (28/12), mengungkapkan, tujuh kecamatan di Cilacap bagian barat tersebut adalah Kecamatan Cimanggu, Cipari, Wanareja, Dayeuhluhur, Gandrungmangu, Karangpucung, dan Majenang. "Luas lahan tadah hujan yang kekeringan dan harus tanam ulang ada 5.000 hektar lebih," ujar Sugeng.

Akhir November, petani sawah tadah hujan di tujuh kecamatan itu mulai menanam. Saat itu curah hujan tinggi, namun itu hanya terjadi sampai awal Desember. Setelah itu, hujan jarang turun sehingga padi yang dibenihkan layu dan tak dapat lagi ditanam.

Sama dengan di Cilacap bagian barat, di Cilacap timur, petani padi harus menanam ulang. Namun, penanaman ulang bukan karena kekeringan melainkan akibat genangan banjir dan serangan hama keong emas. "Kalau sudah terendam, padi pasti mati. Mau tak mau harus tanam ulang. Tapi, celakanya setelah banjir banyak hama keong emas," ujar Johari (40), petani di Desa Pasuruhan, Binangun.

Di Magelang, alokasi tiga jenis pupuk bersubsidi tahun 2010 melebihi permintaan yang diusulkan. Menurut Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Magelang Priyantoro, Senin (28/12), jika tidak ada permainan di tingkat distributor atau pengecer, dipastikan jatah pupuk tahun 2010 akan melebihi kebutuhan petani.

Ketiga jenis pupuk bersubsidi tersebut adalah urea, ZA, dan SP-18. Sebaliknya, terdapat dua pupuk bersubsidi lainnya yang mendapatkan alokasi kurang dari permintaan, yaitu pupuk organik dan phonska. (han/egi)

{[['']]}

Harga Gula Pasir Rp 12.000


Selasa, 29 Desember 2009 | 02:39 WIB

PALEMBANG, KOMPAS - Harga sejumlah bahan kebutuhan pokok di Palembang naik menjelang Tahun Baru 2010, khususnya harga gula pasir lokal dan beras yang terus meningkat sejak dua pekan lalu. Sementara harga minyak goreng curah naik hingga Rp 500 per kilogram sejak tiga hari terakhir.

Harga gula pasir lokal yang sepekan lalu masih Rp 10.000 hingga Rp 10.500 per kilogram (kg) sekarang sudah mencapai Rp 11.500 hingga Rp 12.000 per kg di Pasar Kilometer 5, Jalan Jenderal Sudirman, Palembang, Senin (28/12). Kenaikan ini melampaui harga jual gula kemasan, seperti Gulaku, yang dijual seharga Rp 11.000 per kg.

Menurut M Deny, pedagang di Pasar Kilometer 5, harga gula kemasan relatif stabil sejak bulan lalu. Namun, pedagang sulit memenuhi lonjakan permintaan karena persediaannya dibatasi hanya satu dos per pedagang per minggu. Satu dos yang berisi 24 bungkus gula kemasan bisa habis dalam waktu tiga hari. Kebijakan ini juga patut diwaspadai karena biasanya pembatasan stok merupakan tanda-tanda harga akan naik dalam waktu dekat.

Sebaliknya, permintaan terhadap gula pasir lokal menurun seiring kenaikan harga. Lily, salah seorang warga, mengaku terpukul dengan kenaikan harga gula pasir lokal. ”Saya tidak bisa beralih ke gula kemasan karena berpengaruh terhadap rasa minuman yang saya jual,” tutur perempuan yang memiliki usaha warung kopi di daerah Simpang Polda, Palembang.

Dia pun menyiasati kenaikan harga yang cukup drastis ini dengan mengurangi banyaknya gula pada minuman konsumen. ”Kalau biasanya saya kasih dua sendok kini saya kurangi menjadi satu sendok gula pada setiap kopi atau teh. Jika pelanggan merasa kurang, baru ditambah. (RIZ)
{[['']]}

Pendapatan Per Kapita Petani China Naik


Selasa, 29 Desember 2009 | 03:10 WIB

Beijing, Senin - Rata-rata pendapatan tahunan dari petani di China mencapai rekor tertinggi menjadi 5.000 yuan atau sekitar Rp 6,9 juta per tahun. Kenaikan itu terjadi karena lebih banyak lagi pekerja migran yang mengirimkan uang ke desa tempat tinggal mereka.

Demikian laporan dari media-media lokal, Senin (28/12).

Pendapatan per kapita keluarga petani di China naik lebih dari 6 persen dibandingkan tahun lalu, demikian menurut Xinhua, mengutip pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam konferensi tahunan mengenai kebijakan di pedesaan.

Kenaikan itu sebagian besar didukung oleh pemulihan perekonomian. Para pekerja migran sudah kembali bekerja. Perusahaan-perusahaan konstruksi mulai mempekerjakan lagi para buruh karena perekonomian mulai membaik dan permintaan akan barang juga mulai berdatangan.

Awal tahun ini, hampir 20 juta pekerja migran kehilangan pekerjaan. Banyak pabrik ditutup, mengurangi pekerjanya, atau memendekkan jam kerja. Produksi juga dipangkas karena permintaan menurun. China mengekspor banyak barang ke Amerika Serikat dan Eropa. Sementara karena krisis global, permintaan dari AS dan Eropa menurun seiring dengan penurunan daya beli masyarakat di kedua pasar utama China itu.

Akan tetapi, pemerintah menyatakan bahwa 96 persen dari orang-orang yang kehilangan pekerjaannya awal tahun ini telah mendapatkan pekerjaan baru di kota-kota besar, September lalu. Catatan resmi pemerintah menyatakan, China memiliki sekitar 225 juta pekerja migran.

Konsumsi

Semakin tingginya pendapatan di daerah pedesaan juga menciptakan ”kondisi penting” menurut pemerintah. Kenaikan pendapatan itu juga menaikkan konsumsi domestik.

Peningkatan permintaan domestik ini sangat penting bagi Beijing karena mereka hendak mengurangi ketergantungan pasar ekspornya untuk menggerakkan perekonomian. Tidak seperti AS yang sangat menggantungkan pertumbuhan dari permintaan domestik, pertumbuhan China sebagai eksportir sangat bergantung pada permintaan di luar negeri. Wacana agar China semakin banyak membelanjakan uangnya untuk konsumsi dan AS semakin sedikit mengonsumsi dan lebih rajin menabung disebut-sebut sebagai salah satu persyaratan terjadinya keseimbangan global.

Pertanda semakin pentingnya konsumsi di pedesaan terhadap pertumbuhan ekonomi China tecermin dari pernyataan pemerintah, awal bulan ini, yang akan terus memberikan subsidi bagi para petani yang akan membeli barang-barang peralatan rumah tangga. (AFP/joe)
{[['']]}

Sawah di Tengah Rumah


Oleh Moh Jauhar Al-Hakimi

Secara fisiografis, Kota Yogyakarta dikelilingi wilayah yang tidak menguntungkan. Sejumlah 18,44 persen luas wilayah daerah resapan air dan hutan lindung yang terletak di lereng dan kaki Gunung Merapi, 6,82 persen luas wilayah pertanian yang subur di Kabupaten Bantul belum memenuhi 30 persen minimal wilayah resapan air dalam satu daerah aliran sungai.

Selebihnya, 52,40 persen, merupakan wilayah perbukitan batu gamping (limestone) yang kritis, tandus, dan selalu kekurangan air, dan 22,34 persen lahan struktural dengan topografi berbukit yang mempunyai kendala lereng curam dan potensi air tanahnya kecil. Inilah masalah serius yang harus dihadapi Yogyakarta: masalah lingkungan sosial dan lingkungan fisik.

Hingga 1998, rata-rata penyusutan areal persawahan di Yogyakarta bagian utara terutama sekitar lereng Merapi sebesar 126 hektar per tahun. Angka ini meningkat dalam tiga tahun terakhir menjadi 185 hektar per tahun. Konversi lahan dari areal persawahan lebih banyak bagi peruntukan permukiman dan tempat usaha. Secara kasatmata, adanya konversi lahan itu akan berdampak pada menurunnya produksi beras mengingat selama ini areal yang ada lebih banyak berupa persawahan produktif untuk penanaman padi. Memang tidak terhindarkan, bertambahnya jumlah penduduk memerlukan ruang setidaknya untuk tempat tinggal maupun berusaha. Namun, hal yang mengkhawatirkan dari konversi lahan tersebut justru dampaknya terhadap daerah resapan air bagi Yogyakarta serta perubahan iklim mikro-makro kawasan.

Tingginya nilai jual tanah terutama di kota dan bagian utara Yogyakarta menjadi salah satu faktor yang mempercepat beralih fungsinya lahan di Yogyakarta. Meskipun pemangku kebijakan telah menerapkan tata ruang wilayah yang melindungi areal persawahan sebagai salah satu daerah resapan air diikuti dengan kebijakan penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi, namun ketika harus berhadapan dengan hukum ekonomi pasar dalam realitasnya kebijakan yang ada sering seolah tunduk pada mekanisme pasar yang ada. Ini bisa dilihat dari betapa berjenjangnya proses perizinan pengeringan lahan persawahan untuk penggunaan lainnya, namun dari hari ke hari bisa kita jumpai di berbagai tempat di Yogyakarta terjadi pengeringan areal persawahan yang akan dikonversi bagi peruntukan lainnya.

Kenaikan harga tanah di pinggir jalan di Yogyakarta mencapai di atas 30 persen per tahun. Kondisi ini ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi merupakan sumber pendapatan dari pajak bumi bagi pemerintah setempat, namun di sisi lain peningkatan pajak tersebut akan memberatkan petani untuk terus mengolah maupun mempertahankan keberadaan areal sawah tersebut yang itu artinya juga menjadi ancaman keberadaan salah satu daerah resapan yang ada. Tingginya harga tanah serta terus meningkatnya pajak bumi sebagai akibat dari naiknya NJOP menjadi salah satu alasan petani pemilik persawahan terutama di pinggir jalan untuk menjual persawahannya. Dalam waktu yang bersamaan, daya tarik yang dimiliki Yogyakarta sebagai salah satu daerah yang aman-nyaman, potensi pertumbuhan ekonomi, serta kecenderungan naiknya harga tanah di masa datang turut mendorong orang-orang luar Yogyakarta berlomba menanam investasi dalam bentuk tanah di Yogyakarta.

Masalah sosial-lingkungan

Pertambahan penduduk membawa konsekuensi dalam penyediaan ruang tinggal. Dengan luasan wilayah yang tetap dan terbatas, pola yang terjadi adalah adanya migrasi masyarakat ke arah luar kota yang itu artinya memerlukan ruang serta terjadinya konversi peruntukan areal persawahan. Di Yogyakarta dalam tahun-tahun terakhir marak dibangun permukiman serta perumahan dalam jumlah kecil di atas areal persawahan produktif. Di masa-masa awal, ini merupakan pemandangan yang indah di mana sebuah permukiman berada di tengah-tengah areal persawahan.

Dalam perspektif hubungan masyarakat agraris, petani tidak bisa terlepas dari sawahnya. Areal persawahan adalah rumah kedua setelah pekarangan di mana petani berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Ada keterikatan secara sosiologis-psikologis antara petani dan areal persawahannya di mana ada denyut yang terus berdetak sebagai sebuah mata pencaharian dan saling menghidupi. Di sawah, petani menghabiskan waktunya hampir sepanjang hari sehingga interaksi sosial yang terjadi antarpetani di areal persawahan cukup intens berikut konfliks yang ada sebagai bentuk dinamika masyarakat yang justru menghidupkan. Bahwa kemudian tumbuhnya permukiman di atas areal persawahan di Yogyakarta bak jamur di musim hujan, secara pasti, peralihan fungsi sawah menjadi permukiman perlahan mengepung areal persawahan dari berbagai arah. Peralihan fungsi lahan itu turut mendorong petani tercerabut dari akar dunia pertanian dan lingkungan sosialnya.

Dari sisi ekologis, tumbuhnya permukiman di atas areal persawahan secara langsung menjadi sekat baru sebuah ekosistem berdampak pada siklus yang terjadi pada areal persawahan tersebut sebagai sebuah ekosistem yang utuh. Gangguan yang terjadi akan berdampak lanjutan pada siklus yang lebih luas semisal tata air, siklus hara, resapan air, maupun penyediaan udara yang bersih. Permasalahan lingkungan yang muncul akan bertambah ketika pertumbuhan permukiman di atas areal persawahan terus meningkat tanpa adanya pengaturan dan pengendalian dengan adanya pencemaran air, tanah, udara, maupun dalam penyediaan air bersih bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta. Fenomena sawah di tengah rumah sebagai sebuah akibat selain tidak indah dipandang juga tidak sehat dalam secara sosial lingkungan.

Permasalahan lingkungan sosial-fisik yang tak tertangani secara menyeluruh akan mendorong Yogyakarta menjadi kota yang anonim dan terkepung masalah sosial-lingkungan di masa datang tanpa ruang untuk membebaskan diri. Semakin menurunnya daya dukung lingkungan bagi penghuninya, semakin terbatas pula ruang untuk berkegiatan dalam interaksi sosial.

Moh Jauhar Al-Hakimi Peneliti pada Humanisma Yogyakarta
{[['']]}

Petani Diimbau Menjaga Kualitas Karet


Palembang, Kompas - Pengelola pabrik karet di Kota Palembang mengimbau para petani untuk menghilangkan kebiasaan membiarkan produk karetnya bercampur dengan kotoran sebab dapat menurunkan kepercayaan pembeli di luar negeri dan harga menjadi rendah karena kualitasnya buruk.

Menurut Alex Kurniawan Eddy, Direktur Pabrik Karet PT Muara Kelingi, Senin (21/12), di Palembang, sejak dulu sampai sekarang mayoritas petani karet di Sumatera Selatan terbiasa merendam getah karet dengan air dan material lainnya. Dia menduga hal ini dilakukan agar volume getah menjadi semakin berat.

Mereka berpikir harga jual ke pabrik menjadi semakin tinggi. Akan tetapi, harganya sebenarnya akan turun dan, bahkan, dapat kehilangan pasar.

Kondisi ini, lanjut Alex, sebenarnya sudah dikeluhkan sejumlah importir, salah satunya dari Jepang. Mereka mengeluh karena kebersihan produk karet olahan dari Sumsel kurang baik.

Menurut Alex, hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan petani karet di Sumsel soal teknik pengolahan karet yang sesuai standar. Faktanya, petani sampai sekarang masih menerapkan praktik itu sehingga membuat sebagian karet mentah bercampur dengan pasir, air, dan kayu.

Langkah antisipasi

Melihat kondisi ini, pemerintah dan pengusaha sebenarnya telah mencanangkan program Gerakan Karet Bersih sejak 2008. Program bersama ini dilakukan untuk mengantisipasi tindakan pengotoran getah karet. Alasannya, pengotoran getah karet menimbulkan bau.

Untuk menghilangkan bau getah karet tersebut dibutuhkan proses panjang dan biaya yang tidak murah.

”Intinya, kontrol kualitas dan mutu karet ke pasar dunia perlu diperketat. Apalagi di saat seperti ini, mayoritas pelaku usaha ataupun petani karet di Sumsel baru pulih dari dampak krisis global,” katanya. (ONI)
{[['']]}

Petani Terlambat Tanam Padi


Banyumas, Kompas - Hujan yang tidak juga turun dua minggu terakhir sebagai dampak Badai Laurence di sekitar Benua Australia menyebabkan petani di Banyumas, Jawa Tengah, terlambat tanam padi. Petani kesulitan memperoleh air karena pasokan air irigasi tidak memadai sehingga tidak dapat menjangkau beberapa areal sawah yang berada di hilir saluran irigasi.

Petani di Desa Sokawera, Kecamatan Patikraja, mulai menggunakan pompa untuk menyalurkan air dari sungai ke areal sawah mereka. Persemaian benih padi yang ditanam sejak awal bulan Desember pun tumbuh tidak sehat. Menurut Natsir (50), salah seorang petani, benih- benih yang tidak sehat tersebut nanti akan kurang baik untuk ditanam meskipun rata-rata sudah memasuki usia 18 sampai 20 hari.

”Karena sekarang hujan belum turun, benih itu belum kami tanam karena tak ada air,” katanya, Senin (21/12).

Seharusnya, menurut Wartam (52), petani lainnya, masa tanam sudah dilakukan sejak dua minggu lalu. Namun, karena hujan tidak juga turun, petani baru melaksanakan pengolahan tanah dan penyemaian benih.

Bahkan, sampai sepekan ke depan pun, Wartam mengaku tak memiliki keyakinan kondisi cuaca akan membaik. ”Melihat cuaca sekarang sepertinya sampai seminggu lagi masih belum ada hujan,” katanya.

Petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, juga melakukan hal yang sama. Mereka berupaya mengairi penyemaian benih dengan air dari sungai. Mereka menyedot air sungai menggunakan mesin disel. Hal ini seperti dilakukan Muntakho, petani asal Desa Tanjungsari, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, yang menyedot air dari Sungai Sileng dengan menggunakan mesin disel.

”Benih padi jenis IR 64 idealnya ditanam saat berusia 21 hari. Namun, karena tidak ada hujan, saya terpaksa menunda menanam benih yang sekarang berusia 34 hari,” katanya.

Badai Laurence

Menurut pengamat cuaca Stasiun Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Cilacap, Mas Pujiono, kondisi cuaca panas di sekitar wilayah pesisir selatan Jawa Tengah yang terjadi sejak 11 hari belakangan ini masih dipengaruhi oleh Badai Laurence yang muncul di sekitar barat daya Australia. Badai itu diperkirakan akan mereda sekitar tiga sampai lima hari mendatang.

”Badai Laurence ini menyebabkan pembentukan awan hujan tersedot ke arah pusat badai sehingga kawasan sekitar Jateng selatan tidak hujan dan cenderung panas,” katanya.

”Petani sebaiknya menahan diri dulu tidak menanam padi sampai kondisi cuaca membaik,” katanya. (MDN/EGI)
{[['']]}

Bahan Baku Pupuk Organik Jadi Rebutan


Senin, 14 Desember 2009 | 04:47 WIB

Yogyakarta, Kompas - Bahan baku pupuk organik jenis pupuk kompos semakin diperebutkan seiring kenaikan permintaan kebutuhan pupuk organik. Dalam lima tahun ke depan, pemerintah menargetkan penggunaan pupuk organik meningkat dari 2 persen menjadi 10 persen dengan total luas areal pemupukan 1,12 juta hektar.

Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Departemen Pertanian Hilman Manan, Jumat (11/12) di Yogyakarta, mengungkapkan, saat ini bahan baku pupuk organik dalam bentuk jerami dan kotoran hewan menjadi rebutan.

Pabrik pupuk organik mencari bahan baku hingga ke daerah- daerah lain. Karena itu, dia mengingatkan kepada petani agar benar-benar memanfaatkan kotoran hewan, jerami, ataupun sampah organik lain untuk menyuburkan tanah mereka sendiri. ”Pupuk kompos tidak hanya berbahan baku kotoran hewan, tetapi juga jerami dan sampah organik. Karena itu, jangan menjual jerami atau kotoran hewan, manfaatkan itu untuk keperluan sendiri,” katanya.

Kotoran hewan dimanfaatkan untuk protein sel tunggal, sedangkan jerami untuk memenuhi kebutuhan unsur K atau kalium.

Hilman menceritakan, di Kuningan, Jawa Barat, pencurian jerami bahkan sampai terjadi. Jerami yang dibiarkan teronggok di sawah bisa hilang keesokan harinya. Di satu sisi, petani mengeluhkan kurangnya bahan baku pupuk organik. Di sisi lain pabrik pupuk organik bisa terus berproduksi.

Direktur Pengelolaan Lahan pada Direktorat PLA Deptan Amier Hartono menyatakan, saat ini penggunaan pupuk organik baru sekitar 2 persen dari total lahan pertanian tanaman padi.

Pada tahun 2014, Deptan menargetkan penggunaan pupuk organik hingga 10 persen.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, luas areal panen padi tahun 2009 mencapai 12,8 juta hektar. Mengacu luas tanam padi tersebut, secara bertahap permintaan pupuk organik hingga 2014 akan meningkat dari 1,7 juta ton menjadi 9,05 juta ton.

Setiap hektar lahan memerlukan pupuk organik hingga 7 ton, tetapi ada yang lebih rendah, bahkan hanya 2 ton. (MAS)
{[['']]}

RI Kembali Impor Gula

Senin, 7 Desember 2009 | 04:09 WIB

Jakarta, Kompas - Hanya setahun menikmati swasembada, Indonesia harus kembali mengimpor gula untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Produksi gula putih tahun 2009 turun 70.000 ton dibanding 2008, yaitu dari 2,74 juta ton menjadi 2,67 juta ton.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Arum Sabil, Minggu (6/12) di Surabaya, turunnya produksi gula merupakan dampak dari harga gula tahun 2008 yang tidak menguntungkan petani tebu, yaitu Rp 4.800-Rp 4.900 per kilogram, padahal harga gula talangan yang ditetapkan pemerintah Rp 5.000 per kg. Petani jadi tidak bersemangat menanam tebu.

Apabila pemerintah saat itu mau menetapkan dana talangan gula petani Rp 5.500 per kg, seperti perhitungan Tim Independen Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, dan Institut Pertanian Bogor, penurunan produksi gula tahun ini kecil kemungkinan terjadi.

Pendapat senada disampaikan Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Ahmad Mangga Barani. Rendahnya pendapatan petani tebu tahun 2008, kata dia, selain karena harga gula rendah, kadar rendemen gula dalam tebu juga rendah karena revitalisasi pabrik gula 2008 tidak berjalan.

Rendahnya harga jual gula putih, kata Magga Barani, menyebabkan luas areal panen tebu menyusut 20.000 hektar, yakni 440.000 hektar pada tahun 2008.

Menurut Deputi Direktur Agro PT Rajawali Nusantara Indonesia Agung P Murdanoto, dalam pertemuan di Kadin Indonesia, petani tebu perlu mendapat jaminan. Ini untuk menjaga produksi gula nasional.

Tahun 2009, misalnya, kata Agung, harga gula menembus Rp 9.000 per kg, tetapi dana talangan gula hanya Rp 5.000 per kg. ”Lalu, apa yang mau ditalangi,” ujar dia.

Tidak mudah

Rencana impor gula pada tahun 2010 sebanyak 500.000 ton dinyatakan Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar. Namun, tidak dijelaskan dari negara mana impor itu dilakukan.

Menurut Mangga Barani, saat ini tidak mudah mengimpor gula. Masing-masing negara di dunia kini membutuhkan gula. ”Impor tidak mudah dilakukan. Di pasar dunia tidak ada gula,” kata dia.

India, lanjut Mangga Barani, semula eksportir, tahun ini justru impor sekitar 6 juta ton gula.

Adapun impor dari Thailand belum ada jaminan. Thailand

baru memasuki musim giling pada Januari atau Februari 2010.

Guna menjaga stok gula nasional dalam posisi aman, kata Mangga Barani, diperlukan persediaan 800.000 ton gula. Ini untuk memenuhi kebutuhan Januari-April 2010, saat berhenti musim giling.

Di sejumlah wilayah, seperti Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, pada Januari-Februari 2010 sudah musim giling tebu. Namun, produksinya terbatas.

Kebutuhan gula konsumsi per tahun rata-rata 2,7 juta ton, atau 225.000 ton per bulan sehingga untuk memenuhi kebutuhan pada Januari-April 2010 diperlukan ketersediaan 900.000 ton gula. ”Kebutuhan bulanan bervariasi sehingga stok yang aman sekitar 800.000 ton,” kata dia. (MAS)
{[['']]}

Keuntungan Petani Berkurang


Jakarta, Kompas - Harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras sudah seharusnya dilakukan. Bila tidak, keuntungan petani padi akan berkurang karena naiknya pupuk bersubsidi yang bakal terjadi pada tahun 2010.

Demikian disampaikan Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso di Jakarta, Senin (23/11). Sutarto menjadi Dirut Perum Bulog menggantikan Mustafa Abubakar yang kini menjadi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Ditegaskan, bila harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi naik, harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras harus naik. ”Itu sudah aksiomanya. Kalau HPP tidak naik, keuntungan petani akan berkurang. Prinsip keseimbangan itu yang akan ditentukan pemerintah dan DPR,” kata Sutarto yang sampai kemarin masih menjadi Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian.

Sutarto menyarankan kenaikan HPP beras dan gabah yang akan ditetapkan pemerintah memperhitungkan harga beras di pasar dunia. ”Perlu keselarasan harga beras dalam negeri dengan beras yang diperdagangkan di pasar dunia,” ujarnya.

Hal itu, lanjut Sutarto, diperlukan bila Indonesia ingin mengekspor beras, seiring meningkatnya produksi beras di dalam negeri. ”Selisih harga beras dalam negeri dengan harga di pasar dunia harus menjadi pertimbangan. Jangan sampai harga di dalam negeri terlalu mahal,” katanya.

Selain beras

Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar menjelaskan, pemerintah mencari formula bagi Perum Bulog untuk menangani komoditas pangan pokok selain beras, yaitu gula, minyak goreng, kedelai, dan jagung.

Mustafa menyatakan, saat ia menjadi Dirut Perum Bulog, konsep bagi Bulog menangani bahan pangan pokok selain beras telah diajukan ke Kementerian Negara BUMN. ”Kita akan meminta konsep dibicarakan bersama lintas departemen,” kata Mustafa.

Dijelaskan, untuk penanganan minyak goreng, misalnya, Bulog menawarkan diri untuk menjadi distributor, seperti yang dilakukan dalam penyaluran beras untuk rakyat miskin.

”Kedua, kalau ada kemauan politik dari pemerintah, Bulog menawarkan diri membentuk stok penyangga,” tutur Mustafa.

Dengan membentuk stok penyangga, menurut Mustafa, akan memudahkan pemerintah melakukan stabilisasi harga minyak goreng.

Terkait kedelai, konsep yang diajukan oleh Bulog belum konkret. ”Peluang yang paling mungkin adalah menjalin kerja sama secara bussiness to bussiness. Adapun untuk gula, Bulog menawarkan diri untuk menjadi agen pemasaran. Terkait jagung belum ada konsep yang matang,” kata Mustafa. (MAS)
{[['']]}

Sawah Petani Tergenang


Selasa, 24 November 2009 | 10:03 WIB

Cilacap, Kompas - Setidaknya 525 hektar sawah tadah hujan di Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dilanda banjir. Akibatnya, petani belum dapat menggarap lahan. Mereka memperkirakan baru dapat menebar benih pada bulan Januari 2010.

Rohudin (34), petani di Desa Gentasari, belum dapat mengolah sawahnya seluas 1.400 meter persegi karena masih tergenang air setinggi 70 sentimeter.

Di beberapa areal sawah lain yang sudah mengering, petani mulai menebar benih. Seperti dilakukan Sudiro (50), petani di Desa Mujur, Minggu (22/11).

Namun, Sudiro tidak dapat memastikan benihnya akan membuahkan hasil karena hujan masih berlangsung. ”Kalau bisa panen lumayan. Kalau gagal ya tidak apa-apa,” katanya.

Koordinator Penyuluh Pertanian Lapangan Kroya Risun mengatakan, pihaknya telah meminta petani agar tidak menanam padi di sawah yang tergenang banjir jika hujan. Areal sawah itu dipastikan akan tergenang banjir lagi selama musim hujan belum berlalu karena berada di cekungan dan tidak memiliki saluran pembuangan.

Pemilik sawah irigasi teknis masih dapat menanam padi karena memiliki saluran irigasi yang baik dan berada cukup tinggi di atas permukaan air irigasi.

Banjir lumpur

Sementara itu, banjir lumpur masih menggenangi ruas jalan Cimanggu-Majenang di Cilacap bagian barat yang menjadi jalan utama Jawa Tengah-Jawa Barat di jalur selatan. Banjir lumpur itu datang dari bukit pembenihan Perum Perhutani.

Wakil Administratur Kesatuan Pemangku Hutan Banyumas Barat Asep Ruskandar mengatakan, pihaknya menanam hampir 1.000 pohon penguat di areal bukit pembenihan tersebut. Namun, pohon-pohon itu masih belum dapat menahan luncuran tanah yang luruh bersama air hujan di bukit karena baru ditanam.

”Areal itu masih akan ditanami pohon penguat sampai 5.000 pohon,” katanya.

Menurut Asep, banjir lumpur di bukit agak sulit ditangani karena tanah yang meluncur bersama air berasal dari bekas areal yang longsor awal tahun 2009.

Untuk menyelesaikan masalah itu, Asep mengatakan, parit di tepi jalan harus diperlebar sehingga dapat menampung luncuran banjir lumpur. Dengan demikian, ruas jalan tidak lagi digenangi banjir lumpur. ”Namun, pelebaran parit merupakan wewenang pekerjaan umum,” katanya. (MDN)
{[['']]}

Pemuda Petani Indonesia Siap Belajar di Jepang

*Oleh: Muhamad Nasrul Pradana

Pada hari Kamis (4/23), bertempat di National Olympics Memorial Youth Center (NYC), Shibuya Ward, Tokyo telah diadakan upacara penerimaan trainee yang berasal dari Indonesia, Thailand, Malaysia dan Filipina untuk mengikuti pelatihan kepemimpian di Jepang selama satu hingga tiga tahun ke depan. Program pelatihan ini terselenggara atas dukungan dari Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries (MAFF) sebagai bentuk realisasi atas bantuan dana yang diberikan Jepang untuk pembangunan sosial ekonomi di Indonesia yang berupa “Bantuan Pembangunan Pemerintah (Official Development Assistance, ODA)”. Adapun pelaksana program utama pelatihan ini adalah Japan Agricultural Exchange Council (JAEC), disamping JICA (Japan International Cooperation Agency) yang telah lama memberikan bantuan dalam proyek kerjasama teknik untuk pengembangan Sumber Daya Manusia di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia.

Para peserta trainee yang datang ke Jepang ini, sebelumnya telah mengikuti proses seleksi yang sangat ketat di negara mereka masing-masing selama kurang lebih satu tahun. Untuk trainee Indonesia dikoordinir oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Departemen Pertanian, RI. Kemudian, mereka juga telah belajar bahasa Jepang selama kurang lebih 1 (satu) sampai 2 (dua) bulan sebelum berangkat ke Jepang agar dapat berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Setelah mereka datang ke Jepang, mereka langsung diberikan pembekalan ilmu-ilmu dasar pertanian di Jepang yang sangat berguna selama kegiatan pelatihan berlangsung.

Mereka juga diikutsertakan kembali dalam pembelajaran khusus bahasa Jepang dengan para guru dan pelatih yang siap membantu mereka sebelum ditempatkan di berbagai daerah, antara lain: Prefektur Chiba, Aichi, Wakayama, Nara, Nagano, Niigata, Kumamoto, Gifu, Miyagi dan lain sebagainya . Namun karena singkatnya waktu belajar, hanya sekitar tiga minggu, mereka masih memiliki banyak kendala dalam berkomunikasi dengan orang Jepang. Disinilah, para trainee perlu berusaha keras untuk selalu belajar dan menggunakan bahasa Jepang dalam kehidupan sehari-hari sambil bekerja di lapangan nantinya, ungkap salah seorang staf JAEC, Mr. Sakamoto. Tidak ada jalan lain selain belajar keras untuk dapat menerima segala ilmu yang akan diajarkan oleh para induk semang (petani) selama di Jepang.

Peserta trainee ini sengaja dikirimkan dari Indonesia ke Jepang untuk menuntut ilmu pertanian, terutama mengenai teknik bercocok tanam, teknologi pertanian, manajemen pertanian sampai dengan pemasaran produk di sentra-sentra penjualan. Atase Pertanian, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo – Jepang, Bapak Pudjiatmoko, PhD melalui sambutan tertulis karena berhalangan hadir pada upacara pembukaan ini, menyampaikan bahwa tidak hanya ilmu bertani saja yang akan mereka pelajari, namun budaya kerja keras, disiplin dan kerjasama yang kuat perlu juga dipelajari untuk kemudian diterapkan dalam membangun pertanian negara Indonesia. Hasil pelatihan yang didapat oleh para peserta trainee diharapkan dapat berguna dalam melakukan perubahan untuk menjadi lebih baik “change for the better (kaizen)” dan membangun pertanian di daerah masing-masing setelah kembali ke Indonesia serta menjadi bekal dimasa depan untuk menjadi petani yang tangguh dan teladan.

Diharapkan melalui program pelatihan kepemimpinan petani ini, hubungan persahabatan Indonesia – Jepang dapat semakin meningkat terutama dalam hal pengembangan sumber daya manusia serta “transfer of technology” yang dimiliki oleh petani Jepang kepada para petani Indonesia.

Ketigabelas peserta trainee dari Indonesia ini akan berusaha keras dalam mempelajari teknik pertanian Jepang yang dimulai dari proses produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran. Beberapa trainee mengungkapkan permasalahan utama Pertanian Indonesia saat ini lebih terletak pada proses penentuan harga yang tidak seimbang (terkadang berat sebelah) antara para petani dan tengkulak. Selain itu, dari segi strategi pemasaran juga masih terdapat berbagai kendala bagi petani-petani kecil yang salah satunya disebabkan oleh daya beli masyarakat yang rendah sehingga para petani juga terpaksa menjual produknya dengan harga rendah agar masyarakat kecil dapat mengkonsumsi produk mereka.

Di sela-sela waktu diskusi, salah satu peserta trainee menceritakan pengalamannya dalam menjual produk beras. Para petani menginginkan harga beras tersebut dapat dijual cukup tinggi di pasaran. Namun, jika dijual dengan harga tinggi maka rata-rata karyawan pabrik tidak mampu untuk membeli karena upah yang terlalu minim, sehingga memungkinkan terjadinya masalah kelaparan di suatu daerah. Masalah lainnya, para petani harus siap bersaing dengan hasil produk pertanian murah yang diimpor dari negara-negara tetangga, seperti China dan Thailand. Akibat persaingan harga di pasar setempat, para petani harus menurunkan harga produknya untuk dapat bersaing dengan harga produk impor. Hal ini membuat para petani merasa dirugikan karena terkadang hasil penjualan produk pertanian mereka tidak mampu menutupi biaya produksinya. Permasalahan ini merupakan suatu dilema bagi para petani terutama dalam mencari jalan keluar yang terbaik.

Untuk memecahkan masalah-masalah pertanian Indonesia yang ada saat ini, para peserta trainee bertekad untuk berusaha menemukan jawabannya

Petani teladan selama mengikuti kegiatan program pelatihan ini yang akan memakan waktu sekitar 1 (satu) hingga 3 (tiga) tahun ke depan di Jepang ini. Para petani juga mengharapkan dukungan penuh dari pemerintah pusat dan daerah untuk dapat selalu mendukung usaha bisnis pertanian mereka sepulang dari Jepang nantinya. Tanpa dukungan dari pemerintah, para petani tidak dapat berbuat banyak karena terbentur dengan kebijakan perdagangan produk pertanian yang berbelit serta modal yang sangat terbatas. Ketigabelas petani juga mengajak seluruh penduduk Indonesia untuk dapat “mencintai produk dalam negeri” dan mereka akan selalu berusaha memproduksi produk pertanian yang berkulitas agar dapat bersaing dengan produk impor.

Mr. Sakamoto-san dari JAEC juga menambahkan, jika rekan-rekan ingin melakukan perubahan terhadap pertanian Indonesia, hal-hal yang harus dilakukan oleh para peserta trainee adalah selalu melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan selalu berpikir maju ke depan dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusia. Sakamoto-san juga mengharapkan kepada para trainee agar memiliki keinginan dan keyakinan yang kuat dalam mengikuti program pelatihan ini dengan baik, sehingga para induk semang (petani Jepang) merasa sangat senang dan bangga atas jerih payah yang dilakukan oleh rekan-rekan trainee sekalian selama di lapangan nantinya. Satu hal penting yang harus ditanamkan adalah jagalah nama baik bangsa negara Indonesia selama tinggal di negeri Sakura ini. Ditambahkan pula bahwa para trainee diharapkan “banyak belajar, banyak bekerja dan banyak makan” selama program pelatihan ini berlangsung.

Akhir kata, hal sekecil apapun yang kita pelajari pasti mempunyai makna dan arti, sehingga kita tetap harus terus belajar dan berkarya secara positif untuk menjadi petani kebanggaan bangsa Indonesia.

Minasan, Ganbatte kudasai!!!

*Sekretaris Umum IASA (Indonesian Agricultural Sciences Association) /
Interpreter JAEC (Japan Agricultural Exchange Council)
Tokyo University of Agriculture, Graduate School of Agriculture, Department of International Bio-Business (MSc. Candidate)
3-9-37, Sakuragaoka, Setagaya-ku, Tokyo 156-0054

Sumber: IASA, 26 April 2009 cit. atanitokyo.blogspot.com
{[['']]}

Hortikultura Diabaikan Pasar Domestik Dibanjiri Produk Impor

Sabtu, 11 April 2009 | 03:26 WIB
Jakarta, Kompas - Pemerintah dinilai tidak sungguh-sungguh mengembangkan pertanian hortikultura. Ini yang membuat banyak pengusaha besar tidak berminat di bidang hortikultura. Padahal, sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Ketua Harian Dewan Hortikultura Nasional (DHN) Benny Koesbini, Jumat (10/4) di Cianjur, Jawa Barat, menegaskan, para pengusaha besar tidak tertarik menekuni hortikultura karena masalahnya kompleks. Selain risiko yang relatif besar, sektor usaha ini juga tidak banyak menjanjikan keuntungan.

Apalagi, infrastruktur, mulai dari jalan hingga pasokan air, untuk pertanian hortikultura relatif buruk. ”Pemerintah melempar tanggung jawab dengan mengatakan, kalau swasta mau membangun infrastruktur jalan dan air, silakan. Padahal, infrastruktur dasar tanggung jawab pemerintah,” ujarnya.

Padahal, di negara lain, seperti Belanda, Jepang, Israel, dan Polandia, sektor hortikultura dikembangkan sungguh-sungguh. Infrastruktur tersedia dengan baik. ”Bahkan di China, mobil mewah pun bisa parkir di tengah kebun,” tutur Benny.

Sementara itu, di Indonesia, infrastruktur di pusat-pusat pertanian hortikultura, seperti Dieng, Pangalengan, Brastagi, dan Jambi, relatif seadanya. ”Hanya mobil jenis jeep yang bisa masuk. Kalau kemarau, airnya susah,” kata Benny.

Buruknya infrastruktur juga menjadi kendala pengembangan hortikultura di Mamasa dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Menurut Sekretaris Jenderal DHN yang juga Ketua Asosiasi Tanaman Hias Indonesia, Karen Sjarief, selain infrastruktur, pengembangan kawasan hortikultura, seperti buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias, harus diikuti dengan peningkatan kemampuan petani memproduksi hortikultura dengan kualitas bagus. ”Banyak kebijakan pemerintah kerap kandas pada tataran implementasi karena belum ada kesungguhan mengembangkan hortikultura,” katanya.

Produk impor Kebutuhan produk hortikultura masyarakat Indonesia amat besar. Di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, tiap hari dibutuhkan pasokan sayur-sayuran sekitar 2.300 ton dan buah-buahan 1.200 ton.
”Itu baru satu pasar induk, belum supermarket, hypermarket, dan pasar tradisional lain di seluruh Indonesia,” katanya.

Sektor hortikultura juga menyerap tenaga kerja relatif tinggi. Untuk memenuhi 200 ton cabai, misalnya, perlu 13 hektar lahan, dengan interval panen tiap 115 hari. Tiap hektar butuh delapan tenaga kerja. ”Bayangkan, untuk 2.300 ton sayuran diperlukan 230 truk pengangkut dengan kapasitas 10 ton. Multiplier effect-nya besar untuk memutar roda perekonomian,” kata Benny.
Namun, sayang, lanjut Benny, pasar hortikultura dalam negeri yang besar dimanfaatkan negara lain. Berbagai produk hortikultura, terutama buah-buahan, justru diimpor dari negara lain. Padahal, buah-buahan itu bisa dikembangkan di dalam negeri.

”Mengapa pemerintah membiarkan buah-buahan impor masuk, sementara rakyat Indonesia perlu pekerjaan dan penghasilan dari produk hortikultura yang dihasilkan. Ada apa dengan pemerintah?” tanya Benny. (MAS)

{[['']]}

Peluang Besar Mengisi Pasar Buah Domestik

Kamis, 9 April 2009 | 03:51 WIB
Jakarta, Kompas - Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan memberikan peluang lebih besar bagi pengusaha agrobisnis buah-buahan lokal untuk mengisi pasar buah domestik, yakni dengan melakukan verifikasi terhadap semua produk buah-buahan impor, mengacu pada tingkat perlindungan pangan yang memadai (appropriate level of protection/ALOP).

Kepala Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian Hari Priyono, Rabu (8/4) di Jakarta, mengungkapkan, dengan kebijakan itu, semua produk buah-buahan yang masuk ke Indonesia diharapkan lebih terjamin keamanannya. Ini terutama dari cemaran residu pestisida.
”Begitu buah-buahan yang masuk semakin berkualitas, maka yang dapat masuk menjadi semakin terbatas sehingga akan lebih kondusif bagi produk buah lokal,” tutur Hari.
Hari menuturkan, selama ini buah impor yang masuk ke Indonesia tidak semuanya memenuhi syarat batas cemaran residu pestisida yang bisa ditoleransi. Hal ini yang membuat buah-buah impor itu bisa dijual dengan harga relatif murah sehingga ”menggusur” buah produk lokal.
Hari mengakui, buah impor yang masuk ke Indonesia tidak diverifikasi sehingga belum tentu aman bagi kesehatan, karena bisa jadi mengandung zat biologi dan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Menurut Hari, draf Peraturan Menteri Pertanian tentang Produk Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT) akan ditandatangani bulan ini. ”Draf sedang disempurnakan, khusus yang menyangkut tata hubungan kerja dalam implementasi kebijakan tersebut,” katanya.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Dewan Hortikultura Nasional (DHN) Karen Sjarief menyatakan, hal itu akan menjadi peluang yang baik bagi pengusaha dan petani buah-buahan. ”Mereka memiliki peluang besar mengisi pasar buah domestik dengan buah lokal,” ujarnya.
Namun, Karen mengingatkan agar kebijakan itu dijalankan dengan baik dan konsisten, tidak hanya berhenti pada kebijakan. ”Tanpa ada konsistensi, akan membingungkan pengusaha dan petani yang sudah telanjur investasi,” katanya.

Dengan penduduk 230 juta jiwa, seharusnya Indonesia tidak perlu berpikir untuk mengekspor buah karena kebutuhan domestik sudah relatif besar.
”Produk buah-buahan dalam negeri seharusnya bisa diserap pasar dalam negeri,” kata Karen.

Impor meningkat

Data Departemen Pertanian menunjukkan, impor buah-buahan terus meningkat setiap tahun. Tahun 2003, total impor buah-buahan hanya 228,45 juta ton dengan nilai 194,86 juta dollar AS, tahun 2006 menjadi 427,48 juta ton senilai 337,52 juta dollar AS.
Tahun 2007, impor sudah mencapai 475,46 juta ton dengan nilai 387,95 juta dollar AS, atau meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun 2003.
Ironisnya, buah yang paling banyak diimpor bisa dikembangkan di dalam negeri, antara lain, jeruk, pisang, mangga, nenas, durian, pepaya, jambu biji, dan lainnya.
Oleh karena itu, kata Karen, kebijakan pemerintah itu sebaiknya diimbangi peningkatan kapabilitas petani dan pengusaha dalam memproduksi buah-buahan dengan kualitas bagus. (MAS)

{[['']]}

Ekspor Beras Organik Tidak Akan Mengganggu

Pemerintah berniat terus membuka keran ekspor beras, terbatas beras organik. Ekspor beras organik —selain beras premium dan aromatik sebanyak 100.000 ton—tidak akan mengganggu pasokan beras nasional.



”Yang prospektif adalah ekspor khusus beras organik yang ternyata minatnya cukup besar. Para pengusaha ingin agar ekspor beras (secara umum) dilakukan. Namun, untuk beras organik sangat sedikit jumlahnya dan sertifikasinya sangat ketat. Jadi akan kami lihat setelah Juni kemungkinan ekspornya,” ujar Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi, Senin (6/4) di Jakarta.



Menurut dia, ekspor beras organik sangat menarik karena harga jualnya sangat tinggi, yakni Rp 15.000-Rp 20.000 per kilogram di pasar internasional.

Namun, kendalanya adalah sangat sulit mendapatkan sertifikasi organiknya karena ditetapkan setiap tahun.



Ketahanan pangan



Menanggapi rencana itu, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso mengatakan, ekspor beras organik tahun 2009 bisa dilakukan sampai dengan 300.000 ton di luar rekomendasi ekspor beras premium dan aromatik 100.000 ton.

”Ekspor beras organik maksimal 300.000 ton tidak akan mengganggu ketahanan pangan nasional,” katanya.



Sutarto mengakui, sampai sekarang produksi beras organik memang belum dihitung secara cermat. Pasalnya, fokus pemerintah pada peningkatan produksi beras yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.



Menurut Sutarto, beras organik adalah beras yang dihasilkan dari sistem budidaya padi yang menggunakan pupuk organik dan pestisida nonkimia sintetis.

Bayu menambahkan, penghasil beras organik yang sudah memperoleh sertifikasi internasional adalah petani di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dan Tasikmalaya, Jawa Barat.

Tahun ini, Pemerintah Indonesia memutuskan ekspor beras premium dan aromatik sebanyak 100.000 ton. (OIN/MAS)



http://cetak.kompas.com

Selasa, 7/4/2009





{[['']]}

126 Ha Padi Diserang Penggerek Batang

Klaten (KR)
20/02/2009 08:20:08

Hama penggerek batang mengganas di sejumlah wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten. Hal ini menyebabkan kerugian besar pada petani, karena tanaman padi mereka menjadi kering dan mati. Hingga Kamis (19/2) luas serangan diperkirakan mencapai 126 hektar.

Serangan hama penggerek batang atau yang oleh petani sering disebut sebagai hama ingser/beluk, antara lain telah menyerang hamparan tanaman padi di wilayah Kaligawe Kecamatan Juriwing. Tanaman padi yang baru berumur sekitar satu minggu hingga dua minggu tampak seperti terbakar, layu dan akhirnya mati. Beberapa patok di antaranya dibiarkan, tidak dirawat lagi, karena petani sudah kesulitan untuk memberantas hama tersebut.

Beberapa petani kepada KR, Kamis (19/2) kemarin mengemukakan, mereka dipusingkan oleh hama yang menyerang batang padi tersebut. Serangan sudah terjadi dalam sepekan terakhir dan cepat menyebar ke seluruh lahan dalam blok persawahan di pinggir jalan tersebut.

Semula mereka telah berupaya untuk menyelamatkan tanamannya dengan menyemprotkan insektisida, namun hal itu tidak memberikan hasil maksimal. Serangan cukup ganas, sehingga tanaman yang masih pendek itupun menjadi layu kering dan mati. “Wah sudah tidak kurang-kurang yang mengobati, tetapi ingser memang sulit diberantas,” kata Parto, salah seorang petani setempat.

Hal senada juga dikatakan oleh Tinoyo, petani di wilayah Karangdowo. Di wilayah ini hama ingser sudah menyerang beberapa waktu lalu. Serangan justru pada tanaman yang sudah mulai berbuah, dan ini lebih sulit diberantas, dan menimbulkan potensi padi yang terserang menjadi puso. “Kan batangnya yang diserang, kalau padi sudah mulai katak, batang patah, makanan tidak bisa sampai ke pucuk, akibatnya padinya gabug (puso), petani di sini menyebut hama beluk,” kata Tinoyo.

Kasubdin Pertanaman Pangan di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Klaten Ir Wayu Prasetyo didampingi Kasi Bina Rehabilitasi Lingkungan, Joko Siswanto mengemukakan, lahan pertanian yang terserang hama penggerek batang tersebut hingga kemarin mencapai 126 hektar, tersebar di lima wilayah kecamatan.

Hama penggerek batang sebenarnya mudah dikenali. Yakni dengan banyaknya kupu-kupu putih yang beterbangan di sekitar lahan.

Apabila melihat fenomena tersebut petani diharapkan waspada. Antisipasi perlu dilakukan sejak masih dalam persemaian. Yakni benih padi di persemaian perlu disemprot dengan insektisida. Namun, apabila kupu sudah bertelur, harus disemprot dengan trichoderma, agar telur tidak menetas.

Lebih lanjut dijelaskan, kondisi musim saat ini memang sangat mendukung berkembangbiaknya hama tanaman, baik penggerek batang, wereng maupun tikus. Menurut Joko Siswanto, kalau penggerek batang menyerang tanaman pada masa vegetatif (umur 1-2 minggu) masih bisa diberantas dan kemungkinan bisa panen. Namun, apabila menyerang tanaman pada masa generatif, akan menyebabkan padi tidak berbuah. (Sit)-g


{[['']]}

Empat Kabupaten Rawan Pangan Kronis

SEMARANG, KOMPAS
Jumat, 20 Februari 2009 | 10:40 WIB

Empat kabupaten di Jawa Tengah berdasarkan penilaian Badan Ketahanan Pangan setempat tergolong daerah rawan pangan kronis. Hal ini antara lain karena tingkat kemiskinan penduduk melebihi 30 persen sehingga akses pangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sangat lemah.

"Daerah yang tergolong rawan adalah Wonosobo, Brebes, Rembang, dan Purworejo. Hal itu berdasarkan hasil penilaian meliputi 14 indikator," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Jawa Tengah Gayatri Indah Cahyani pada Pertemuan Pemantapan Ketahanan Pangan Kabupaten atau Kota Se-Jawa Tengah, di Ungaran, Kabupaten Semarang, Kamis (19/2).

Menurut dia, indikator tersebut antara lain ketersediaan pangan, akses menuju pasar, atau penyerapan pangan jenis serealia oleh masyarakat. Selain daerah kronis itu, ada pula sejumlah daerah yang rawan pangan transient, yaitu terjadi jika terkena bencana.

Gayatri mengatakan, rawan pangan kronis di empat kabupaten tersebut tidak berlangsung menyeluruh, tetapi tersebar di sejumlah desa atau kecamatan. Upaya mengentaskan dari kerawanan pangan melalui program aksi desa mandiri pangan. Diharapkan masyarakat bergerak, memanfaatkan potensi di desa guna meningkatkan pendapatan sehingga akses pangan masyarakat juga meningkat.

"Perlu memperjelas sinyalemen itu, jangan keliru. Purworejo itu ijo royo-royo, Brebes juga. Wonosobo kentangnya besar-besar. Coba renungkan data itu. Kalau benar, berarti harus bekerja lebih keras lagi," ujar Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo.

Bibit mengakui, angka kemiskinan dan tingkat pengangguran di Jateng masih tinggi. Namun, dia ragu ada warga yang sampai tidak dapat makan sama sekali di Jateng.
Bibit justru balik bertanya kepada Kepala Badan Ketahanan Pangan yang melaporkan bahwa beras, jagung, dan ubi kayu di Jateng surplus 2,3 juta ton.

"Tadi mereka melaporkan surplus pangan. Mengapa katanya ada kerawanan pangan? Sing bener sing endi (yang benar yang mana)?" tanya Bibit.
Bibit menyesalkan kondisi irigasi dan waduk di Jateng yang semakin parah, tetapi kurang mendapat perhatian dari wali kota dan bupati. Menurut dia, dari sembilan waduk utama di Jateng, hanya satu waduk yang tetap berfungsi saat musim kemarau, yaitu Waduk Kedung Ombo.

"Kalau hujan air penuh sampai meluber, tetapi kalau kemarau hanya satu yang berfungsi, yang lain senen-kemis. Saya minta perhatian dari pemerintah pusat karena dana yang dibutuhkan bukan lagi miliaran, tetapi mungkin triliunan. Jateng adalah penyangga pangan nasional," katanya. (GAL)

{[['']]}

Meratapi Nasib sebagai Petani

Oleh: Munawir Aziz


DI TENGAH deru pembangunan daerah, petani menjadi komunitas yang terabaikan serta miskin perhatian. Petani menjalani kehidupan dalam lorong waktu sempit, dengan tikaman permusuhan dari berbagai pihak. Di era reformasi ini, dengan meluapnya krisis, hidup petani menjadi terlunta. Di zaman berlari kencang ini, petani hidup terseok dan tertatih untuk meraih kesejahteraan. Itulah sebentuk kekejaman hidup yang harus ditanggung petani.

Ketika musim tanam tiba, kekeringan membentang dan memusingkan petani. Penggarap sawah dan perkebunan sulit mendapatkan pasokan air untuk menyegarkan tanaman, karena cadangan air dalam tanah semakin menipis. Merebaknya usaha kemasan air minum di berbagai daerah, menjadikan cadangan air di dalam tanah semakin berkurang. Semakin menipisnya lahan hutang lindung untuk menjaga debit air, juga menjadi bagian kegelisahan petani. Bahkan, ketika tanaman membutuhkan pasokan nutrisi, petani kesulitan mencari pupuk. Padahal, pemerintah telah memberikan subsidi dan pengawasan distribusi pupuk bagi petani. Namun, pupuk tetap saja menjadi komoditas langka.

Itulah yang menjadikan petani di berbagai daerah melakukan demonstrasi. Mahalnya harga pupuk di pasaran, menikam kesejahteran petani miskin. Bahkan, di beberapa daerah, ditemukan pupuk yang disalurkan lewat jalur partai, bertuliskan nama dan gambar caleg. Pupuk menjadi komoditas politik untuk meraih massa, namun mengorbankan kegelisahan petani.

Apa yang dilakukan oleh petani di Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, menjadi tragedi pada masa krisis pupuk ini. Puluhan petani mencegat dan menurunkan paksa pupuk yang ada di atas truk, pada Km 9,5 Pati-Kayen, akhir bulan lalu. Mereka mengaku kesulitan mencari pupuk serta telah berusaha ke berbagai daerah. Adapun lahan pertanian yang digarap, membutuhkan pupuk untuk menambah kesuburan dan mempercepat perkembangan tanaman.

Luapan Emosi

Tentu, tindakan petani Pati bukan merupakan sebentuk anarkisme membabi-buta. Mereka hanya terjepit kegelisahan dan krisis. Tindakan yang dilakukan hanya luapan emosi atas tragedi dalam ruang hidup serbakrisis ini. Perlu tindakan cepat untuk menghentikan hal serupa di daerah lain. Pemerintah seharusnya bertindak cepat dan kerja keras untuk menghentikan tragedi yang menghantam eksistensi petani. Petani terlalu lama akrab dengan tragedi.

Tragedi petani tidak hanya terbatas pada menipisnya air dan pupuk; ketika musim panen dirayakan, harga gabah dan produk pertanian lainnya turun drastis. Akibatnya, penjualan produk pertanian tak mampu menutup modal petani selama menggarap lahan. Petani menjadi komunitas termajinalkan. Pemerintah seakan hanya merasakan setengah hati, tak mendengarkan keluhan petani. Isu impor beras pun masih senantiasa berdengung, walupun bangsa ini bangga sebagai negara agraris.

Kegelisahan petani semakin memuncak; ketika lahan pertanian tergusur oleh pembangunan rumah dan industri, masa depan petani semakin suram.

Utopia

Pada titik itu, pemerintah hendaknya sigap bertindak untuk menormalkan rantai distribusi pupuk, mengintensifkan kebijakan berkait dengan air, mengelola hutan lindung, dan menormalkan harga produksi pertanian. Kegelisahan petani yang memuncak akan memungkinkan terjadinya demonstrasi dan kerusuhan massal di berbagai daerah. Itulah tragedi di sekujur ruang kehidupan petani negeri ini.

Pemerintah perlu merancang ulang kebijakan pemberdayaan petani dan warga kecil. Subsidi yang diberikan kepada petani sering meleset ke komunitas lain yang lebih sejahtera. Hak bantuan petani miskin digagalkan oleh pemegang otoritas distribusi di berbagai strata. Bantuan pemerintah berupa uang dan barang, hanya akan menyisakan derita dan kericuhan bagi petani dan kaum marginal di ranah grassroot.

Berulang kali, pinjaman lunak diberikan untuk membantu petani dan warga miskin. Akan tetapi, yang menjaring untung hanyalah pejabat dan pengusaha kaya. Sebaliknya, petani dan rakyat miskin dengan usaha kecil tak tersentuh.
Hal itu relevan dengan yang diungkapkan William Easterly (2005); upaya mengakhiri kemiskinan lewat pemberian pinjaman adalah utopia. Masalah yang terjadi di negara-negara miskin acap kali berakar pada institusi di negara mereka sendiri, tempat pasar tidak bekerja, dan politikus maupun pelayan publik (governance) tidak bertanggung jawab.

Keberhasilan pengentasan kemiskinan bagi petani dan kaum marginal negeri ini bergantung kepada political will pemerintah sendiri. Apakah pemerintah mau bersikap jujur, berani, bersungguh-sungguh, dan disiplin?

Sikap aktif-progresif dalam membantu petani dan kaum marginal, harus menjadi kerangka kebijakan dan gerakan pemerintah. Sikap itulah, yang disebut Koentjaraningrat (1974) sebagai “mentalitas pembangunan”. Yakni, pola pemerintahan yang memungkinkan adanya hasrat orientasi masa depan, spirit mengeksplorasi dan inovasi, serta kesadaran penghargaan terhadap karya.

Menurut Kentjaraningrat, mentalitas pembangunan yang menjadi pola dasar politik pemerintahan akan menyingkirkan îmentalitas menerabasî, yang merupakan ciri khas pemerintah korup.

Kerja Keras

Pada titik itu, semua pihak hendaknya bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan semua elemen bangsa secara merata. Pembangunan berbasis pertanian seharusnya tak hanya menjadi cahaya di langit impian. Pemerintah dapat menciptakan sistem dan kebijakan, agar sektor agraris dapat berdampingan dengan industri serta sektor usaha lain.

Pembangunan berbasis usaha terpadu, akan menjadikan visi masa depan negeri ini lebih konkret. Petani hendaknya menjadi basis penting dalam merancang Indonesia masa depan. Kerja keras petani dan kaum marginal, seharusnya ditopang dengan kebijakan fungsional.

Di Jawa Tengah, visi “Bali Desa Mbangun Desa” yang dilontarkan Gubernur Bibit Waluyo seharusnya menjadikan petani sebagai bagian penting. Program yang diimplementasikan seharusnya mendukung peningkatan kesejahteraan petani. Krisis pupuk, menipisnya hutan lindung, sempitnya lahan pertanian, dan beberapa tragedi lain, menjadi ujian visi gubernur untuk membantu kaum marginal. Jangan sampai semakin banyak warga negeri ini yang meratapi diri menjadi petani.(68)

– Munawir Aziz, bergiat di Divisi Riset Sampak ’’Gus Uran’’, dan Wakil Direktur Lembaga Kajian al-Hikmah Pati.

SM. 29/01/09
http://c-tinemu.blogspot.com/


{[['']]}

Paradigma Baru Regulasi Pangan

Oleh: Hafidh Asrom

Fungsi pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah komoditas yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan merupakan pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Begitu juga, pangan dan lingkungan adalah kebutuhan penting sehingga membangun serta memperbaiki regulasi pangan sangatlah penting. Karena membangun sumber daya yang unggul akan menyentuh banyak dimensi dan banyak yang diperlukan termasuk lingkungan di dalamnya.

Namun demikian, fokus utama yang mutlak diletakkan adalah pada upaya meningkatkan kualitas dasar penduduk, baik dalam hal fisik mau pun intelgensia. Karena kualitas sumber daya manusia akan ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsi. Karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang hakiki sehingga harus tersedia. Selain itu, pangan dalam perspektif politik bisa berfungsi sebagai penjaga stabilitas keamanan. Melihat latar belakang dan fungsi pangan begitu penting, maka jika dicermati semangat regulasi yang berupa Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, — setidaknya yang sudah tersirat — dalam aspek pertimbangan tentang kelahiran Undang-Undang Pangan ini.

Ada tiga aspek penting yang menjadi pertimbangan undang-undang ini lahir, pertama, pengakuan terhadap pangan sebagai kebutuhan dasar manusia dan pemenuhannya menjadi hak asasi. Kedua, prasarat utama dalam sistem pangan adalah tersedianya bahan pangan yang aman, bermutu, beragam dan tersedia secara cukup, serta; Ketiga, perlunya sistem perdagangan yang baik dan bertanggung jawab. Karena dasar pertimbangan berupa Undang-Undang Pangan yang sudah ada, merupakan representasi semangat, maka di dalam Undang-Undang tersebut tidak satu pun adanya dasar dan pertimbangan yang menunjukkan “kesadaran” mengenai “kewajiban” negara dari implikasi “hak asasi” atas pangan tersebut. Instrumen Krisis Semangat kesadaran negara sebagai institusi untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan, merupakan bentuk dari sikap hukum pemerintah terhadap hak asasi masyarakat.

Dengan demikian ke depan tidak hanya bentuk-bentuk pelanggaran pidana dan sejenisnya saja yang bisa diajukan masyarakat ke pengadilan (hukum), melainkan juga sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang melalaikan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan tersebut. Lepasnya semangat inilah yang menyebabkan tidak adanya pasal yang mengatur tentang ketentuan masyarakat dalam melakukan model class action jika terjadi kejadian yang mempresentasikan kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya.

Ketentuan-ketentuan pidana hanya diterapkan bagi warga negara baik secara individu maupun kelembagaan atau organisasi pelaksana usaha pangan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan teknis pangan. Padahal, kecenderungan krisis pangan global akan dan selalu mendorong setiap negara untuk menyiapkan berbagai instrumen penanganan krisis pangan sebagai bentuk penjaminan pemenuhan hak atas pangan. Di Indonesia potensi ancaman kelaparan dan kekurangan gizi pada bayi dan balita telah menjadi persoalan yang sampai hari ini belum bisa diselesaikan oleh negara.

Meskipun ancaman kelaparan global belum begitu meluas, akan tetapi untuk kasus Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil, karena pada saat ini pun Indonesia merupakan salah satu negara yang ketergantungan pangannya sangat besar dari luar negeri. Pada saat ini Indonesia berada pada status rawan pangan, ini berarti bukan karena tidak adanya pangan akan tetapi lebih disebabkan pemenuhan akan kebutuhan pangannya tergantung pada pihak lain. Setidaknya ini dibuktikan dengan tiga indikator, pertama, angka dan nilai impor bahan pangan dan produk hasil pertanian dari tahun ke tahun selalu meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk. Kedua, semakin menurunnya produktivitas terhadap lahan pertanian juga menjadi persoalan. Sebagai ilustrasi tentang semakin menyempitnya tersebut, Propinsi DIY misalnya, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian terutama untuk perumahan dan perdagangan (niaga) relatif besar hingga mencapai 100 hektar lebih setiap tahunnya. Kondisi demikian ditambah lagi penurunan produksi pangan akibat bencana alam, serangan hama atau organisme pengganggu tanaman, dan lain-lain. Ketiga, menurunnya minat petani atau minat menjadi petani untuk berproduksi sebagai akibat tidak adanya kebijakan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani penghasil pangan.

Sekarang ini di kawasan/daerah penghasil produk pertanian pertanian khususnya petani padi, jarang dijumpai anak-anak muda yang menjadi petani, mereka lebih suka merantau sebagai tenaga kerja di luar negeri, atau menjadi kaum urban di kota-kota besar. Namun demikian, pertimbangan lain yang luput untuk “dibumikan” dalam permasalahan regulasi pangan khususnya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah “kedaulatan pangan” karena dalam jangka panjang semangat kedaulatan atas pangan ini sangatlah penting dalam rangka menghindarkan masyarakat kita dari jebakan pangan (food trap). Sayangya dalam Undang-Undang Pangan yang terus menerus disinggung adalah “aspek pemenuhan” dan “kecukupan bahan pangan” bagi masyarakat.

Selain itu undang-undang pangan lebih banyak menyinggung masalah “keamanan dan ketahanan pangan (food security)” yang lebih cenderung kepada aspek “pemenuhan” saja. Tetapi Undang-Undang Pangan tidak mempersoalkan tentang bagaimana proses bahan pangan itu tersedia, termasuk impor besar-besaran sekalipun. Perlu Paradigma Baru Sebagai sebuah produk undang-undang yang sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa dengan berbagai problematika pangan yang semakin kompleks saat ini, maka diperlukan paradigma yang baru dalam Undang-Undang Pangan.

Salah satu paradigma tersebut adalah kedaulatan terhadap pangan, yaitu sebuah konsepsi yang menjamin, memenuhi dan melindungi hak setiap warga negara untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri. Jika ini bisa dilakukan, setidaknya sudah didukung kekuatan sumber daya lokal yang memiliki potensi untuk menopang kemandirian Indonesia dalam sektor pangan. Dengan harapan undang-undang baru tersebut nantinya mampu menjawab permasalahan krisis dan kerawanan pangan serta sebagai langkah antisipasi terhadap krisis pangan global. Karena menurut penulis, penyusunan rancangan undang-undang baru tentang pangan ini merupakan sebuah proses untuk melahirkan peraturan yang lebih komprehensif dalam menangani masalah krisis dan rawan pangan serta ketahanan pangan di Indonesia.

Namun demikian, hal penting yang tetap menjadi perhatian penting adalah bagaimana strategi pengembangan pangan melalui pembangunan pertanian, sehingga menjadi wahana penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. Juga harus selaras dengan sumbu perputaran ekonomi di Indonesia di pasar domestik. Sementara bagi aparatur negara yang menangani masalah pangan memiliki sandaran hukum yang kuat sehingga dalam menangani berbagai kasus yang berkaitan dengan pangan, tidak mengalami kegamangan dan keraguan dalam mengambil tindakan hukum. Dengan adanya paradigma yang baru tentang regulasi pangan diharapkan mampu memberikan kontribusi akan tersedianya pangan secara berkesinambungan bagi rakyat . q - g. (226-2009).

KR.05/02/2009 08:08:46
*) Drs HA Hafidh Asrom MM, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dari Propinsi DIY.

http://c-tinemu.blogspot.com/

{[['']]}

Berburu Durian ke Argopuro

Sabtu, 31 Januari 2009 | 10:31 WIB

Puncak Argopuro merupakan salah satu puncak Pegunungan Lasem, Kabupaten Rembang. Kawasan karst yang berada di perbatasan Kecamatan Lasem dan Pancur tersebut menyembunyikan pemandangan alam yang memesona sekaligus santapan yang memanjakan lidah.

Kawasan tersebut berada di ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut, sekitar 20 kilometer dari Jalan Raya Pantura Lasem. Meski harus melewati jalan yang menanjak untuk ke sana, peminat wisata petualangan tidak akan kecewa. Dari lokasi tersebut, kita dapat memandang kota Rembang dan Laut Jawa. Panorama lain yang memanjakan mata adalah gundukan bukit-bukit yang memadu menjadi Pegunungan Lasem.

Bagi penggemar durian, kawasan tersebut merupakan tempat perburuan durian. Kawasan tersebut terkenal sebagai penghasil durian criwik. Disebut durian criwik lantaran ratusan pohon durian tersebar di lahan-lahan penduduk Desa Criwik, Kecamatan Pancur. Jenis durian ada tiga macam, yaitu durian wakul, buto, dan montong.

"Durian wakul dan buto merupakan durian asli Criwik," kata Mbah Wadini (71) di Rembang, Sabtu (17/1).

Perempuan yang mempunyai lahan seluas 2 hektar ini hanya memiliki delapan pohon durian. Namun, dari delapan pohon tersebut dia bisa memperoleh Rp 10 juta-Rp 15 juta setiap musim durian pada Januari-April.

Menurut Irwanto (28), anak Mbah Wadini, harga durian di tingkat penebas atau pembeli borongan Rp 10.000-Rp 15.000 per buah. Harga eceran Rp 20.000-Rp 50.000 per buah, tergantung besar-kecil durian.

"Kami hanya menjual durian-durian yang jatuh dari pohon. Durian itu dijamin sudah matang dan tidak karbitan," kata dia.
Biasanya, pemilik durian menawari pembeli perorangan, mau durian di kebun atau yang sudah tersedia di gubuk. Jika pembeli menghendaki durian kebun, pemilik akan mengajaknya berburu durian jatuh.

Setelah menemukan, durian itu dibuka dan dinikmati di bawah pohon durian. Rasa durian yang manis kadang bercampur sepat dan pedas itu menjadi obat lelah setelah melewati jalan yang menanjak dan kebun yang luas.

Selain menikmati durian, kita juga dapat memotret kegiatan para pedagang durian. Para penebas dan penjual durian mengangkut durian- durian dengan rombong yang diletakkan di bagian belakang sepeda motor. Tak jarang mereka yang punya modal besar mengangkut durian menggunakan mobil bak terbuka.

Pedagang durian criwik, Samiyono (32), mengatakan menjual durian criwik ke Blora, Grobogan, Pati, serta Tuban dan Bojonegoro di Jawa Timur. (HENDRIYO WIDI)

http://cetak/kompas.com

{[['']]}

LIPI Siap Luncurkan Padi Transgenik

Sabtu, 31 Januari 2009 | 04:20 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia siap meluncurkan padi transgenik tahan hama mulai tahun depan. Varietas padi yang belum bernama ini telah lolos uji lapangan dan analisis mengenai dampak lingkungan.

Ketua LIPI Umar Anggara Jenie mengatakan, padi tahan hama penggerek batang dan wereng ini sebenarnya telah siap diaplikasikan. Namun, padi ini masih harus melalui tahap uji keamanan pangan (biosafety) sebelum didistribusikan kepada petani. Tahap terakhir ini diperkirakan memakan waktu setahun.

”Setelah itu baru varietas padi baru ini akan memperoleh sertifikat dan bisa dilepas,” katanya seusai Seminar Nasional Perkembangan Bioteknologi Indonesia di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (30/1).

Menurut dia, padi hasil rekayasa genetika ini telah melalui uji lapangan selama empat tahun. Varietas ini juga telah dinyatakan aman terhadap lingkungan melalui uji amdal. Mengingat tanaman transgenik masih jadi kontroversi, LIPI akan mengadakan sosialisasi ke masyarakat.
Umar menerangkan, varietas padi ini dikembangkan dengan menggunakan padi varietas asli Indonesia, antara lain Rojolele dan Cisadane. Dengan memanfaatkan bakteri tanah jenis Bacillus thuringiensis, penelitian bertujuan merekayasa sifat gen padi sehingga tahan hama.

Pengembangan padi tahan hama dipilih karena hama merupakan ancaman besar bagi keberhasilan pertanian padi di Indonesia. ”Kondisi alam dan iklim di Indonesia sangat memungkinkan hama berkembang biak cepat dan banyak,” ujar Umar.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI juga berupaya mengembangkan padi tahan kekeringan, banjir, dan gulma. ”Pertanian padi di Indonesia menghadapi empat ancaman terbesar, yaitu kekeringan, banjir, hama, dan gulma. Karena itu, padi yang bisa mengatasi empat ancaman itu menjadi prioritas penelitian di LIPI,” kata Umar.

Ketergantungan

Pemerhati pertanian dari UGM, Mochammad Maksum, mengatakan, guna menjaga ketahanan pangan di Indonesia, peluncuran padi transgenik jangan sampai menjadi ketergantungan baru pada petani. Pasalnya, ketergantungan petani akan mengancam ketahanan pangan.
”Varietas ini harus bisa ditangkarkan sendiri oleh petani, seperti varietas lokal,” katanya. Menurut Maksum, selama ini petani Indonesia sudah terlalu bergantung pada industri pertanian sehingga kehilangan kemandirian. Selain bergantung pada pupuk kimia, petani juga bergantung pada bibit unggul yang tak bisa mereka bibitkan sendiri sehingga harus membeli dengan harga relatif mahal. ”Padahal, dulu petani Indonesia bisa bertahan karena mampu memelihara dan mengembangkan sendiri padi lokal,” katanya. (IRE)

{[['']]}
 
Support : Produksi Pertanian | Produksi Pertanian | Produksi Pertanian
Copyright © 2011. Produksi Pertanian - All Rights Reserved
Template Created by Produksi Pertanian Published by Produksi Pertanian
Proudly powered by Produksi Pertanian