Info Terbaru :
Terbaru

5.000 Hektar Lebih Lahan Padi Puso


Banyumas, Kompas - Petani lahan padi tadah hujan di tujuh kecamatan di wilayah Kabupaten Cilacap bagian barat terpaksa harus tanam ulang karena kekurangan air. Diperkirakan ada lebih dari 5.000 hektar lahan yang harus tanam ulang. Di Cilacap timur, ratusan hektar lahan padi beririgasi teknis juga harus tanam ulang akibat terendam banjir.

Koordinator Serikat Tani Merdeka Cilacap, Petrus Sugeng, Senin (28/12), mengungkapkan, tujuh kecamatan di Cilacap bagian barat tersebut adalah Kecamatan Cimanggu, Cipari, Wanareja, Dayeuhluhur, Gandrungmangu, Karangpucung, dan Majenang. "Luas lahan tadah hujan yang kekeringan dan harus tanam ulang ada 5.000 hektar lebih," ujar Sugeng.

Akhir November, petani sawah tadah hujan di tujuh kecamatan itu mulai menanam. Saat itu curah hujan tinggi, namun itu hanya terjadi sampai awal Desember. Setelah itu, hujan jarang turun sehingga padi yang dibenihkan layu dan tak dapat lagi ditanam.

Sama dengan di Cilacap bagian barat, di Cilacap timur, petani padi harus menanam ulang. Namun, penanaman ulang bukan karena kekeringan melainkan akibat genangan banjir dan serangan hama keong emas. "Kalau sudah terendam, padi pasti mati. Mau tak mau harus tanam ulang. Tapi, celakanya setelah banjir banyak hama keong emas," ujar Johari (40), petani di Desa Pasuruhan, Binangun.

Di Magelang, alokasi tiga jenis pupuk bersubsidi tahun 2010 melebihi permintaan yang diusulkan. Menurut Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Magelang Priyantoro, Senin (28/12), jika tidak ada permainan di tingkat distributor atau pengecer, dipastikan jatah pupuk tahun 2010 akan melebihi kebutuhan petani.

Ketiga jenis pupuk bersubsidi tersebut adalah urea, ZA, dan SP-18. Sebaliknya, terdapat dua pupuk bersubsidi lainnya yang mendapatkan alokasi kurang dari permintaan, yaitu pupuk organik dan phonska. (han/egi)

{[['']]}

Harga Gula Pasir Rp 12.000


Selasa, 29 Desember 2009 | 02:39 WIB

PALEMBANG, KOMPAS - Harga sejumlah bahan kebutuhan pokok di Palembang naik menjelang Tahun Baru 2010, khususnya harga gula pasir lokal dan beras yang terus meningkat sejak dua pekan lalu. Sementara harga minyak goreng curah naik hingga Rp 500 per kilogram sejak tiga hari terakhir.

Harga gula pasir lokal yang sepekan lalu masih Rp 10.000 hingga Rp 10.500 per kilogram (kg) sekarang sudah mencapai Rp 11.500 hingga Rp 12.000 per kg di Pasar Kilometer 5, Jalan Jenderal Sudirman, Palembang, Senin (28/12). Kenaikan ini melampaui harga jual gula kemasan, seperti Gulaku, yang dijual seharga Rp 11.000 per kg.

Menurut M Deny, pedagang di Pasar Kilometer 5, harga gula kemasan relatif stabil sejak bulan lalu. Namun, pedagang sulit memenuhi lonjakan permintaan karena persediaannya dibatasi hanya satu dos per pedagang per minggu. Satu dos yang berisi 24 bungkus gula kemasan bisa habis dalam waktu tiga hari. Kebijakan ini juga patut diwaspadai karena biasanya pembatasan stok merupakan tanda-tanda harga akan naik dalam waktu dekat.

Sebaliknya, permintaan terhadap gula pasir lokal menurun seiring kenaikan harga. Lily, salah seorang warga, mengaku terpukul dengan kenaikan harga gula pasir lokal. ”Saya tidak bisa beralih ke gula kemasan karena berpengaruh terhadap rasa minuman yang saya jual,” tutur perempuan yang memiliki usaha warung kopi di daerah Simpang Polda, Palembang.

Dia pun menyiasati kenaikan harga yang cukup drastis ini dengan mengurangi banyaknya gula pada minuman konsumen. ”Kalau biasanya saya kasih dua sendok kini saya kurangi menjadi satu sendok gula pada setiap kopi atau teh. Jika pelanggan merasa kurang, baru ditambah. (RIZ)
{[['']]}

Pendapatan Per Kapita Petani China Naik


Selasa, 29 Desember 2009 | 03:10 WIB

Beijing, Senin - Rata-rata pendapatan tahunan dari petani di China mencapai rekor tertinggi menjadi 5.000 yuan atau sekitar Rp 6,9 juta per tahun. Kenaikan itu terjadi karena lebih banyak lagi pekerja migran yang mengirimkan uang ke desa tempat tinggal mereka.

Demikian laporan dari media-media lokal, Senin (28/12).

Pendapatan per kapita keluarga petani di China naik lebih dari 6 persen dibandingkan tahun lalu, demikian menurut Xinhua, mengutip pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam konferensi tahunan mengenai kebijakan di pedesaan.

Kenaikan itu sebagian besar didukung oleh pemulihan perekonomian. Para pekerja migran sudah kembali bekerja. Perusahaan-perusahaan konstruksi mulai mempekerjakan lagi para buruh karena perekonomian mulai membaik dan permintaan akan barang juga mulai berdatangan.

Awal tahun ini, hampir 20 juta pekerja migran kehilangan pekerjaan. Banyak pabrik ditutup, mengurangi pekerjanya, atau memendekkan jam kerja. Produksi juga dipangkas karena permintaan menurun. China mengekspor banyak barang ke Amerika Serikat dan Eropa. Sementara karena krisis global, permintaan dari AS dan Eropa menurun seiring dengan penurunan daya beli masyarakat di kedua pasar utama China itu.

Akan tetapi, pemerintah menyatakan bahwa 96 persen dari orang-orang yang kehilangan pekerjaannya awal tahun ini telah mendapatkan pekerjaan baru di kota-kota besar, September lalu. Catatan resmi pemerintah menyatakan, China memiliki sekitar 225 juta pekerja migran.

Konsumsi

Semakin tingginya pendapatan di daerah pedesaan juga menciptakan ”kondisi penting” menurut pemerintah. Kenaikan pendapatan itu juga menaikkan konsumsi domestik.

Peningkatan permintaan domestik ini sangat penting bagi Beijing karena mereka hendak mengurangi ketergantungan pasar ekspornya untuk menggerakkan perekonomian. Tidak seperti AS yang sangat menggantungkan pertumbuhan dari permintaan domestik, pertumbuhan China sebagai eksportir sangat bergantung pada permintaan di luar negeri. Wacana agar China semakin banyak membelanjakan uangnya untuk konsumsi dan AS semakin sedikit mengonsumsi dan lebih rajin menabung disebut-sebut sebagai salah satu persyaratan terjadinya keseimbangan global.

Pertanda semakin pentingnya konsumsi di pedesaan terhadap pertumbuhan ekonomi China tecermin dari pernyataan pemerintah, awal bulan ini, yang akan terus memberikan subsidi bagi para petani yang akan membeli barang-barang peralatan rumah tangga. (AFP/joe)
{[['']]}

Sawah di Tengah Rumah


Oleh Moh Jauhar Al-Hakimi

Secara fisiografis, Kota Yogyakarta dikelilingi wilayah yang tidak menguntungkan. Sejumlah 18,44 persen luas wilayah daerah resapan air dan hutan lindung yang terletak di lereng dan kaki Gunung Merapi, 6,82 persen luas wilayah pertanian yang subur di Kabupaten Bantul belum memenuhi 30 persen minimal wilayah resapan air dalam satu daerah aliran sungai.

Selebihnya, 52,40 persen, merupakan wilayah perbukitan batu gamping (limestone) yang kritis, tandus, dan selalu kekurangan air, dan 22,34 persen lahan struktural dengan topografi berbukit yang mempunyai kendala lereng curam dan potensi air tanahnya kecil. Inilah masalah serius yang harus dihadapi Yogyakarta: masalah lingkungan sosial dan lingkungan fisik.

Hingga 1998, rata-rata penyusutan areal persawahan di Yogyakarta bagian utara terutama sekitar lereng Merapi sebesar 126 hektar per tahun. Angka ini meningkat dalam tiga tahun terakhir menjadi 185 hektar per tahun. Konversi lahan dari areal persawahan lebih banyak bagi peruntukan permukiman dan tempat usaha. Secara kasatmata, adanya konversi lahan itu akan berdampak pada menurunnya produksi beras mengingat selama ini areal yang ada lebih banyak berupa persawahan produktif untuk penanaman padi. Memang tidak terhindarkan, bertambahnya jumlah penduduk memerlukan ruang setidaknya untuk tempat tinggal maupun berusaha. Namun, hal yang mengkhawatirkan dari konversi lahan tersebut justru dampaknya terhadap daerah resapan air bagi Yogyakarta serta perubahan iklim mikro-makro kawasan.

Tingginya nilai jual tanah terutama di kota dan bagian utara Yogyakarta menjadi salah satu faktor yang mempercepat beralih fungsinya lahan di Yogyakarta. Meskipun pemangku kebijakan telah menerapkan tata ruang wilayah yang melindungi areal persawahan sebagai salah satu daerah resapan air diikuti dengan kebijakan penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi, namun ketika harus berhadapan dengan hukum ekonomi pasar dalam realitasnya kebijakan yang ada sering seolah tunduk pada mekanisme pasar yang ada. Ini bisa dilihat dari betapa berjenjangnya proses perizinan pengeringan lahan persawahan untuk penggunaan lainnya, namun dari hari ke hari bisa kita jumpai di berbagai tempat di Yogyakarta terjadi pengeringan areal persawahan yang akan dikonversi bagi peruntukan lainnya.

Kenaikan harga tanah di pinggir jalan di Yogyakarta mencapai di atas 30 persen per tahun. Kondisi ini ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi merupakan sumber pendapatan dari pajak bumi bagi pemerintah setempat, namun di sisi lain peningkatan pajak tersebut akan memberatkan petani untuk terus mengolah maupun mempertahankan keberadaan areal sawah tersebut yang itu artinya juga menjadi ancaman keberadaan salah satu daerah resapan yang ada. Tingginya harga tanah serta terus meningkatnya pajak bumi sebagai akibat dari naiknya NJOP menjadi salah satu alasan petani pemilik persawahan terutama di pinggir jalan untuk menjual persawahannya. Dalam waktu yang bersamaan, daya tarik yang dimiliki Yogyakarta sebagai salah satu daerah yang aman-nyaman, potensi pertumbuhan ekonomi, serta kecenderungan naiknya harga tanah di masa datang turut mendorong orang-orang luar Yogyakarta berlomba menanam investasi dalam bentuk tanah di Yogyakarta.

Masalah sosial-lingkungan

Pertambahan penduduk membawa konsekuensi dalam penyediaan ruang tinggal. Dengan luasan wilayah yang tetap dan terbatas, pola yang terjadi adalah adanya migrasi masyarakat ke arah luar kota yang itu artinya memerlukan ruang serta terjadinya konversi peruntukan areal persawahan. Di Yogyakarta dalam tahun-tahun terakhir marak dibangun permukiman serta perumahan dalam jumlah kecil di atas areal persawahan produktif. Di masa-masa awal, ini merupakan pemandangan yang indah di mana sebuah permukiman berada di tengah-tengah areal persawahan.

Dalam perspektif hubungan masyarakat agraris, petani tidak bisa terlepas dari sawahnya. Areal persawahan adalah rumah kedua setelah pekarangan di mana petani berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Ada keterikatan secara sosiologis-psikologis antara petani dan areal persawahannya di mana ada denyut yang terus berdetak sebagai sebuah mata pencaharian dan saling menghidupi. Di sawah, petani menghabiskan waktunya hampir sepanjang hari sehingga interaksi sosial yang terjadi antarpetani di areal persawahan cukup intens berikut konfliks yang ada sebagai bentuk dinamika masyarakat yang justru menghidupkan. Bahwa kemudian tumbuhnya permukiman di atas areal persawahan di Yogyakarta bak jamur di musim hujan, secara pasti, peralihan fungsi sawah menjadi permukiman perlahan mengepung areal persawahan dari berbagai arah. Peralihan fungsi lahan itu turut mendorong petani tercerabut dari akar dunia pertanian dan lingkungan sosialnya.

Dari sisi ekologis, tumbuhnya permukiman di atas areal persawahan secara langsung menjadi sekat baru sebuah ekosistem berdampak pada siklus yang terjadi pada areal persawahan tersebut sebagai sebuah ekosistem yang utuh. Gangguan yang terjadi akan berdampak lanjutan pada siklus yang lebih luas semisal tata air, siklus hara, resapan air, maupun penyediaan udara yang bersih. Permasalahan lingkungan yang muncul akan bertambah ketika pertumbuhan permukiman di atas areal persawahan terus meningkat tanpa adanya pengaturan dan pengendalian dengan adanya pencemaran air, tanah, udara, maupun dalam penyediaan air bersih bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta. Fenomena sawah di tengah rumah sebagai sebuah akibat selain tidak indah dipandang juga tidak sehat dalam secara sosial lingkungan.

Permasalahan lingkungan sosial-fisik yang tak tertangani secara menyeluruh akan mendorong Yogyakarta menjadi kota yang anonim dan terkepung masalah sosial-lingkungan di masa datang tanpa ruang untuk membebaskan diri. Semakin menurunnya daya dukung lingkungan bagi penghuninya, semakin terbatas pula ruang untuk berkegiatan dalam interaksi sosial.

Moh Jauhar Al-Hakimi Peneliti pada Humanisma Yogyakarta
{[['']]}

Petani Diimbau Menjaga Kualitas Karet


Palembang, Kompas - Pengelola pabrik karet di Kota Palembang mengimbau para petani untuk menghilangkan kebiasaan membiarkan produk karetnya bercampur dengan kotoran sebab dapat menurunkan kepercayaan pembeli di luar negeri dan harga menjadi rendah karena kualitasnya buruk.

Menurut Alex Kurniawan Eddy, Direktur Pabrik Karet PT Muara Kelingi, Senin (21/12), di Palembang, sejak dulu sampai sekarang mayoritas petani karet di Sumatera Selatan terbiasa merendam getah karet dengan air dan material lainnya. Dia menduga hal ini dilakukan agar volume getah menjadi semakin berat.

Mereka berpikir harga jual ke pabrik menjadi semakin tinggi. Akan tetapi, harganya sebenarnya akan turun dan, bahkan, dapat kehilangan pasar.

Kondisi ini, lanjut Alex, sebenarnya sudah dikeluhkan sejumlah importir, salah satunya dari Jepang. Mereka mengeluh karena kebersihan produk karet olahan dari Sumsel kurang baik.

Menurut Alex, hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan petani karet di Sumsel soal teknik pengolahan karet yang sesuai standar. Faktanya, petani sampai sekarang masih menerapkan praktik itu sehingga membuat sebagian karet mentah bercampur dengan pasir, air, dan kayu.

Langkah antisipasi

Melihat kondisi ini, pemerintah dan pengusaha sebenarnya telah mencanangkan program Gerakan Karet Bersih sejak 2008. Program bersama ini dilakukan untuk mengantisipasi tindakan pengotoran getah karet. Alasannya, pengotoran getah karet menimbulkan bau.

Untuk menghilangkan bau getah karet tersebut dibutuhkan proses panjang dan biaya yang tidak murah.

”Intinya, kontrol kualitas dan mutu karet ke pasar dunia perlu diperketat. Apalagi di saat seperti ini, mayoritas pelaku usaha ataupun petani karet di Sumsel baru pulih dari dampak krisis global,” katanya. (ONI)
{[['']]}

Petani Terlambat Tanam Padi


Banyumas, Kompas - Hujan yang tidak juga turun dua minggu terakhir sebagai dampak Badai Laurence di sekitar Benua Australia menyebabkan petani di Banyumas, Jawa Tengah, terlambat tanam padi. Petani kesulitan memperoleh air karena pasokan air irigasi tidak memadai sehingga tidak dapat menjangkau beberapa areal sawah yang berada di hilir saluran irigasi.

Petani di Desa Sokawera, Kecamatan Patikraja, mulai menggunakan pompa untuk menyalurkan air dari sungai ke areal sawah mereka. Persemaian benih padi yang ditanam sejak awal bulan Desember pun tumbuh tidak sehat. Menurut Natsir (50), salah seorang petani, benih- benih yang tidak sehat tersebut nanti akan kurang baik untuk ditanam meskipun rata-rata sudah memasuki usia 18 sampai 20 hari.

”Karena sekarang hujan belum turun, benih itu belum kami tanam karena tak ada air,” katanya, Senin (21/12).

Seharusnya, menurut Wartam (52), petani lainnya, masa tanam sudah dilakukan sejak dua minggu lalu. Namun, karena hujan tidak juga turun, petani baru melaksanakan pengolahan tanah dan penyemaian benih.

Bahkan, sampai sepekan ke depan pun, Wartam mengaku tak memiliki keyakinan kondisi cuaca akan membaik. ”Melihat cuaca sekarang sepertinya sampai seminggu lagi masih belum ada hujan,” katanya.

Petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, juga melakukan hal yang sama. Mereka berupaya mengairi penyemaian benih dengan air dari sungai. Mereka menyedot air sungai menggunakan mesin disel. Hal ini seperti dilakukan Muntakho, petani asal Desa Tanjungsari, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, yang menyedot air dari Sungai Sileng dengan menggunakan mesin disel.

”Benih padi jenis IR 64 idealnya ditanam saat berusia 21 hari. Namun, karena tidak ada hujan, saya terpaksa menunda menanam benih yang sekarang berusia 34 hari,” katanya.

Badai Laurence

Menurut pengamat cuaca Stasiun Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Cilacap, Mas Pujiono, kondisi cuaca panas di sekitar wilayah pesisir selatan Jawa Tengah yang terjadi sejak 11 hari belakangan ini masih dipengaruhi oleh Badai Laurence yang muncul di sekitar barat daya Australia. Badai itu diperkirakan akan mereda sekitar tiga sampai lima hari mendatang.

”Badai Laurence ini menyebabkan pembentukan awan hujan tersedot ke arah pusat badai sehingga kawasan sekitar Jateng selatan tidak hujan dan cenderung panas,” katanya.

”Petani sebaiknya menahan diri dulu tidak menanam padi sampai kondisi cuaca membaik,” katanya. (MDN/EGI)
{[['']]}

Bahan Baku Pupuk Organik Jadi Rebutan


Senin, 14 Desember 2009 | 04:47 WIB

Yogyakarta, Kompas - Bahan baku pupuk organik jenis pupuk kompos semakin diperebutkan seiring kenaikan permintaan kebutuhan pupuk organik. Dalam lima tahun ke depan, pemerintah menargetkan penggunaan pupuk organik meningkat dari 2 persen menjadi 10 persen dengan total luas areal pemupukan 1,12 juta hektar.

Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Departemen Pertanian Hilman Manan, Jumat (11/12) di Yogyakarta, mengungkapkan, saat ini bahan baku pupuk organik dalam bentuk jerami dan kotoran hewan menjadi rebutan.

Pabrik pupuk organik mencari bahan baku hingga ke daerah- daerah lain. Karena itu, dia mengingatkan kepada petani agar benar-benar memanfaatkan kotoran hewan, jerami, ataupun sampah organik lain untuk menyuburkan tanah mereka sendiri. ”Pupuk kompos tidak hanya berbahan baku kotoran hewan, tetapi juga jerami dan sampah organik. Karena itu, jangan menjual jerami atau kotoran hewan, manfaatkan itu untuk keperluan sendiri,” katanya.

Kotoran hewan dimanfaatkan untuk protein sel tunggal, sedangkan jerami untuk memenuhi kebutuhan unsur K atau kalium.

Hilman menceritakan, di Kuningan, Jawa Barat, pencurian jerami bahkan sampai terjadi. Jerami yang dibiarkan teronggok di sawah bisa hilang keesokan harinya. Di satu sisi, petani mengeluhkan kurangnya bahan baku pupuk organik. Di sisi lain pabrik pupuk organik bisa terus berproduksi.

Direktur Pengelolaan Lahan pada Direktorat PLA Deptan Amier Hartono menyatakan, saat ini penggunaan pupuk organik baru sekitar 2 persen dari total lahan pertanian tanaman padi.

Pada tahun 2014, Deptan menargetkan penggunaan pupuk organik hingga 10 persen.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, luas areal panen padi tahun 2009 mencapai 12,8 juta hektar. Mengacu luas tanam padi tersebut, secara bertahap permintaan pupuk organik hingga 2014 akan meningkat dari 1,7 juta ton menjadi 9,05 juta ton.

Setiap hektar lahan memerlukan pupuk organik hingga 7 ton, tetapi ada yang lebih rendah, bahkan hanya 2 ton. (MAS)
{[['']]}

RI Kembali Impor Gula

Senin, 7 Desember 2009 | 04:09 WIB

Jakarta, Kompas - Hanya setahun menikmati swasembada, Indonesia harus kembali mengimpor gula untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Produksi gula putih tahun 2009 turun 70.000 ton dibanding 2008, yaitu dari 2,74 juta ton menjadi 2,67 juta ton.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Arum Sabil, Minggu (6/12) di Surabaya, turunnya produksi gula merupakan dampak dari harga gula tahun 2008 yang tidak menguntungkan petani tebu, yaitu Rp 4.800-Rp 4.900 per kilogram, padahal harga gula talangan yang ditetapkan pemerintah Rp 5.000 per kg. Petani jadi tidak bersemangat menanam tebu.

Apabila pemerintah saat itu mau menetapkan dana talangan gula petani Rp 5.500 per kg, seperti perhitungan Tim Independen Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, dan Institut Pertanian Bogor, penurunan produksi gula tahun ini kecil kemungkinan terjadi.

Pendapat senada disampaikan Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Ahmad Mangga Barani. Rendahnya pendapatan petani tebu tahun 2008, kata dia, selain karena harga gula rendah, kadar rendemen gula dalam tebu juga rendah karena revitalisasi pabrik gula 2008 tidak berjalan.

Rendahnya harga jual gula putih, kata Magga Barani, menyebabkan luas areal panen tebu menyusut 20.000 hektar, yakni 440.000 hektar pada tahun 2008.

Menurut Deputi Direktur Agro PT Rajawali Nusantara Indonesia Agung P Murdanoto, dalam pertemuan di Kadin Indonesia, petani tebu perlu mendapat jaminan. Ini untuk menjaga produksi gula nasional.

Tahun 2009, misalnya, kata Agung, harga gula menembus Rp 9.000 per kg, tetapi dana talangan gula hanya Rp 5.000 per kg. ”Lalu, apa yang mau ditalangi,” ujar dia.

Tidak mudah

Rencana impor gula pada tahun 2010 sebanyak 500.000 ton dinyatakan Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar. Namun, tidak dijelaskan dari negara mana impor itu dilakukan.

Menurut Mangga Barani, saat ini tidak mudah mengimpor gula. Masing-masing negara di dunia kini membutuhkan gula. ”Impor tidak mudah dilakukan. Di pasar dunia tidak ada gula,” kata dia.

India, lanjut Mangga Barani, semula eksportir, tahun ini justru impor sekitar 6 juta ton gula.

Adapun impor dari Thailand belum ada jaminan. Thailand

baru memasuki musim giling pada Januari atau Februari 2010.

Guna menjaga stok gula nasional dalam posisi aman, kata Mangga Barani, diperlukan persediaan 800.000 ton gula. Ini untuk memenuhi kebutuhan Januari-April 2010, saat berhenti musim giling.

Di sejumlah wilayah, seperti Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, pada Januari-Februari 2010 sudah musim giling tebu. Namun, produksinya terbatas.

Kebutuhan gula konsumsi per tahun rata-rata 2,7 juta ton, atau 225.000 ton per bulan sehingga untuk memenuhi kebutuhan pada Januari-April 2010 diperlukan ketersediaan 900.000 ton gula. ”Kebutuhan bulanan bervariasi sehingga stok yang aman sekitar 800.000 ton,” kata dia. (MAS)
{[['']]}
 
Support : Produksi Pertanian | Produksi Pertanian | Produksi Pertanian
Copyright © 2011. Produksi Pertanian - All Rights Reserved
Template Created by Produksi Pertanian Published by Produksi Pertanian
Proudly powered by Produksi Pertanian