Info Terbaru :
Terbaru

Kementerian Pertanian Ingin Merubah 500.000 Hektar Pekarangan Menjadi Areal Lahan Tanaman Pangan

Pemerintah menyiapkan langkah memanfaatkan 500.000 hektar lahan pekarangan masyarakat guna memperkuat ketahanan pangan nasional dan mempercepat diversifikasi pangan. Pemanfaatan pekarangan itu juga dapat mendorong terciptanya ekonomi produktif dan menekan belanja pangan masyarakat.

Menteri Pertanian Suswono menyampaikan itu, Sabtu (9/4), seusai mengunjungi kawasan percontohan pemanfaatan lahan pekarangan di Dusun Jelok, Desa Kayen, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Model pemanfaatan lahan pekarangan di Dusun Jelok melibatkan 65 rumah tangga. Namanya kawasan rumah pangan lestari. Kawasan ini juga merupakan arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membangun benteng terakhir ketahanan pangan.

Berbagai macam jenis sayuran, tanaman obat, dan ternak, dibudidayakan di lahan pekarangan. Di antaranya terong, tomat, cabai, kangkung, ayam, dan ikan. Ada pula jahe, serai, kencur, dan berbagai jenis tanaman obat lain.

Suswono mengatakan, selama ini Kemtan mempunyai program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan di bawah koordinasi Badan Ketahanan Pangan. Program ini bertujuan mengatasi masalah kerawanan pangan daerah dengan mengembangkan ekonomi produktif.

Selain itu ada program Gerakan Percepatan Optimalisasi Pekarangan. Gerakan ini merupakan program Direktorat Jenderal Hortikultura Kemtan yang pada awalnya merupakan gerakan penanaman cabai, sebagai respons krisis cabai beberapa waktu lalu.

”Kedua program ini akan kita padukan, supaya lebih fokus dan langsung terasa manfaatnya,” ujar Suswono.

Kawasan Rumah Pangan Lestari diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan masyarakat pada tingkat rumah tangga. Selain itu mempercepat diversifikasi pangan dari semula bertumpu pada beras ke sumber pangan lain berbasis lokal, seperti sayuran, buah, dan pangan asal hewan.

Peneliti senior terkait iklim dan lingkungan Badan Ketahanan Pangan, Irsal Las, mengatakan, luas lahan pekarangan secara nasional mencapai 5,5 juta hektar.

Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Mulyono Machmur mengatakan, tahun 2010 badannya memulai program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan untuk 2.000 kelompok
{[['']]}

TNI Ternyata Ikut Peduli Soal Ketahanan Pangan Nasional

Apa hubungan militer dengan ketahanan pangan? Secara langsung memang tidak ada. Namun, seseorang bisa membela negerinya jika perutnya terisi. Karena itu, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat merasa perlu untuk terlibat dalam urusan ketahanan pangan itu.

Dan, TNI AD menggandeng Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) untuk mendorong swasembada pangan sebagai bagian dari strategi membangun ketahanan nasional. Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI George Toisutta di Jakarta hari Jumat (8/4) menjelaskan, TNI AD bersinergi dengan HKTI untuk mendampingi petani serta memanfaatkan lahan milik TNI AD yang belum dimanfaatkan.

”Ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional dan menjalankan fungsi pembinaan teritorial. Prajurit akan diberi pelatihan pertanian dan peternakan oleh HKTI. Pada gilirannya, mereka akan membantu masyarakat,” ujar Toisutta.

Dia mengatakan, Indonesia kaya potensi pertanian dan kelautan, tetapi tidak dikelola dengan baik. Bahkan, bidang pertanian tidak dianggap sebagai pekerjaan bergengsi. Jumlah personel TNI AD yang lebih dari 300.000 orang dapat menjadi potensi strategis membangun ketahanan pangan.

Ketua Umum HKTI Oesman Sapta Odang menjelaskan, Indonesia masih mengimpor bahan pangan pertanian, hasil laut, dan produk olahan sebesar Rp 110 triliun per tahun. ”Bahan pangan seperti kedelai, susu, dan buah masih diimpor dalam jumlah besar. Kalau sepertiga dana impor itu digunakan untuk membangun pertanian, perkebunan, dan perikanan, kita dapat menciptakan kemandirian pangan dalam waktu lima tahun,” ujar Oesman Sapta.

Oesman Sapta menerangkan, kerja sama HKTI dan TNI AD sudah dijalankan di sejumlah wilayah. Membangun swasembada pangan adalah tugas penting di masa damai bagi HKTI dan TNI. Apalagi, 70 persen masyarakat Indonesia masih hidup di sektor pertanian. Toisutta pun mendukungnya.

Sumber: Kompas
Oesman Sapta menerangkan, kerja sama HKTI dan TNI AD sudah dijalankan di sejumlah wilayah. Membangun swasembada pangan adalah tugas penting di masa damai bagi HKTI dan TNI. Apalagi, 70 persen masyarakat Indonesia masih hidup di sektor pertanian. Toisutta pun mendukungnya.
{[['']]}

Sulawesi Tenggara Menambah Pasokan 12.700 Ton Beras

Akibat menipisnya stok, Bulog Sulawesi Tenggara harus mendatangkan pasokan beras sebanyak 12.700 ton dari sejumlah daerah pada bulan ini. Stok itu diperlukan untuk memenuhi program beras buat rakyat miskin atau raskin, serta kebutuhan cadangan daerah.

”Saat ini stok beras di Bulog mencapai 4.150 ton. Padahal, kebutuhan untuk distribusi raskin saja 3.900 ton per bulan. Karena itu, kami harus mendatangkan beras tambahan,” kata Kepala Divisi Regional Perum Bulog Sulawesi Tenggara (Sultra) Bambang Napitupulu, Jumat (8/4).

Ia mengatakan, beras harus didatangkan dari daerah lain di Indonesia, terutama Makassar, dikarenakan kebanyakan petani Sultra saat ini masih dalam proses tanam. Panen raya di Sultra diperkirakan Mei dan Juni.

Diharapkan, tambahan 12.700 ton beras akan mencukupi kebutuhan hingga lima bulan ke depan, khusunya untuk program raskin dan cadangan beras daerah.

Kepala Dinas Pertanian Sultra Mansur mengatakan, tahun ini pihaknya menargetkan produksi gabah kering giling (GKG) 580.000 ton, atau meningkat dari hasil produksi tahun 2010 yang mencapai 455.000 ton GKG.

Di Kabupaten Madiun, Jawa Timur (Jatim) dan sekitarnya, serangan sundep dan keong mas semakin meningkat akibat perubahan cuaca ekstrem yang tidak menentu. Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Madiun, Suharno, mengatakan, kedua jenis hama ini menyerang tanaman padi yang berumur kurang dari satu bulan. Tanaman rusak bahkan mati.
{[['']]}

Harga Kopi Lampung Merosot

Produktivitas tanaman kopi di Lampung Barat menjelang musim panen raya pada Mei mendatang merosot hingga 40 persen. Kelembaban tinggi yang dipicu tingginya curah hujan mengakibatkan tanaman sulit berbuah, dan munculnya penyakit tanaman.

Teguh Setioso, Wakil Manajer Pusat Penyuluhan dan Pengembangan Kopi Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Lampung Barat (Lambar), Sabtu (9/4), mengatakan, turunnya produktivitas kopi saat ini tidak terlepas dari buruknya cuaca sepanjang akhir tahun lalu.

”Di saat tanaman kopi mulai berbunga, hujan terus-menerus datang sehingga bunga-bunga rontok, gagal berbuah. Akibatnya, saat ini rata-rata sedikit buah yang yang muncul di tanaman kopi. Produktivitas turun bisa mencapai 30-40 persen,” tuturnya.

Ia menggambarkan, tiap hektar tanaman kopi dengan pola intensif kini rata-rata ditaksir hanya menghasilkan 1,2 ton biji kopi. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, hasilnya bisa mencapai 2 ton. Kopi adalah tanaman musiman setahun sekali. Di Lambar, musim panen kopi biasanya terjadi pada kurun Mei – Juli.

Selain rendahnya produktivitas kopi, Teguh juga menyayangkan banyaknya petani di Lambar yang masih belum memahami cara memproduksi yang baik. ”Beberapa petani masih ada yang asal menjemurnya di tanah dan di pinggir jalan. Akibatnya, kualitasnya kurang,” tutur dia.

Akibatnya, dalam setahun terakhir volume dan nilai ekspor kopi Lampung turun drastis. Nilai ekspor kopi per Januari 2011 di Lampung berdasar data AEKI, turun 32 persen dibanding bulan sebelumnya. Volume ekspor kopi di Januari 2011 adalah 17.957 ton, sementara di Desember 2010 sebanyak 26.385 ton.

Bahkan, sepanjang 2010, volume kopi asal Lampung yang diekspor hanya 261.969 ton. Sementara, total volume ekspor 2009 mencapai 342.313 ton. Lambar adalah salah satu sentra penghasil kopi di Lampung. Kopi asal Lampung telah diekspor ke sejumlah negara, antara lain Jerman, Italia, Inggris, Mesir, Denmark, dan Jepang.

Curah hujan

Tingginya curah hujan, seperti dikeluhkan sejumlah petani kopi, juga memunculkan penyakit pada tanaman kopi.

Menurut Nazori (30), petani kopi di Pekon Kembahang, Kecamatan Batubrak, Lambar, jamur mengakibatkan buah kopi hampa dan mudah membusuk, sehingga produktivitas kopi yang ditanamnya anjlok 25 persen beberapa bulan terakhir ini.

Untuk mencegah kerugian lebih besar, buah-buah kopi selang (di luar panen raya) di daerahnya dijual ke produsen kopi luwak. Kopi macam ini dihargai dua kali lipat dari harga biasa, yaitu Rp 15.000 per kg.

Sumber: Kompas
{[['']]}

Nasib Para Petani Kubis di Kota Batu Malang Jawa Timur

Malapetala kini menimpa para petani kubis yang ada di Kota Batu, Jawa Timur. Hampir semua petani mengeluhkan harga kubis anjlok. Tragisnya lagi, anjloknya harga tepat terjadi saat masa panen raya.

Tekanan jiwa akibat masalah itu salah satunya diungkapkan Supeno (45), seorang petani kubis asal Desa Sumberbrantas, Kota Batu. Ia memilih untuk "membunuh" tanaman yang telah dirawatnya sekian lama. "Kami tak bisa berbuat apa-apa melihat harga kubis yang anjlok. Semua panen kubis milik saya, saya beri obat herbisida (zat pembunuh tanaman)," kata Supeno, Minggu (10/4/2011), saat ditemui di lahannya.

Supeno nekat memberi obat herbisida karena kesal, usaha yang sudah dilakukannya dengan merawat dan memberi obat agar kubis tumbuh subur terasa sia-sia. "Tak lama lagi setelah diberi obat herbisida, kubis itu akan kuning dan langsung mati. Satu hektar saya beri obat semua," kata petani yang memiliki lahan kubis seluas 1 hektar ini.

"Hal ini bukan hanya dialami saya, tetapi semua petani kubis juga melakukan yang sama. Stres semua petani di sini," keluhnya.

Kalau dalam kondisi normal, harga kubis Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram. Namun, saat ini harga kubis terjun bebas, menjadi Rp 200 hingga Rp 300 per kilogram. "Kalau harganya demikian, bagaimana kami bisa mengeruk keuntungan," katanya.

Jika harga masih Rp 1.500 hingga Rp 2.000 per kilogram, kata Supeno, petani masih bisa mendapatkan penghasilan, senilai Rp 50 juta hingga Rp 60 juta per hektar. "Kalau harga kubis menjadi Rp 300 per kilogram, dalam 1 hektar lahan kubis hanya mampu mendapatkan Rp 2 juta. Bahkan, ada yang malah rugi," ujarnya.

Dalam 1 hektar lahan, biaya yang harus dikeluarkan oleh petani kubis Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Biaya tersebut dikeluarkan untuk membeli bibit kubis. Selain itu, juga ada biaya perawatan dan upah para buruh tani.

Ditanya apa yang menyebabkan harga kubis di kota wisata itu anjlok? Supeno menduga karena panen raya yang serentak terjadi se-Indonesia. Hasilnya, suplai berlebih untuk komoditas tersebut. "Kubis di sini dibuang seperti sampah. Tak ada artinya," cetus Supeno berdana kesal.

Keluhan yang sama juga dialami Abdullah, petani Kubis asal Wajak, Kabupaten Malang. "Semua petani kubis sekarang stres akibat harga kubis anjlok. Harganya sangat tidak menguntungkan petani. Modalnya puluhan juga, setelah panen harganya turun drastis. Katanya akibat panen raya se-Indonesia," katanya.

Sementara itu, menurut pengakuan Sukarman (46), salah satu pedagang Kubis asal Kota Batu, harga sayur kubis memang masih rendah, terutama sayur yang berasal dari Kota Batu. "Bukan hanya petani yang dirugikan dan mengalami stres. Pedagang juga stres dan harus gigit jari. Bukan hasil yang di dapat, tetapi rugi yang menimpa," katanya saat dihubungi via telepon, sore ini.

Sukarman mengaku hanya bisa meratapi nasibnya. "Terpaksa harus sabar menerima nasib ini. Tak ada jalan lain. Saya puluhan juta modal yang tak jelas akan kembali apa tidak," akunya.

Di tempat berbeda, Kepala Dinas Pertanian Kota Batu Himpun mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Karena kondisi tersebut merupakan bagian dari mekanisme pasar. "Kami tak bisa intervensi harga pasar. Begitulah harga pasar. Kadang untung kadang juga harus rugi," jawabnya singkat.
{[['']]}

Hama Ulat Bulu Akan Sampai ke Malang Dalam Waktu Dekat

Walaupun Kabupaten Malang, Jawa Timur, belum terserang ulat bulu seperti yang terjadi di Kabupaten Probolinggo dan daerah lainnya di Jawa Timur, pihak Dinas Pertanian Kabupaten Malang sejak dini sudah melakukan antisipasi agar jika ada serangan ulat bulu, bisa langsung teratasi.

Bentuk antisipasi yang dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). "Apa yang kami lakukan itu atas instruski Gubernur Jawa Timur Soekarwo," kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Malang Purwanto, dihubungi melalui telepon, Minggu (10/4/2011).

Menurut Purwanto, penerapan sistem PHT akan lebih aman dibandingkan dengan penggunaan insektisida. Kalau menggunakan insektisida, dikhawatirkan berdampak buruk bagi lingkungan yang ada. "Secara tertulis kami memang belum menerima surat edaran dari Gubernur Jawa Timur. Namun, kami sudah mendapat informasi dari Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur via telepon agar menerapkan sistem PHT itu," katanya.

PHT dilaksanakan dengan menggunakan predator alami untuk ulat bulu. "Sampai sekarang, pihak Dinas Pertanian Kabupaten Malang masih terus melakukan penelitian. Sebab, informasi yang diterima pihak kami, ulat bulu yang menyerang Kabupaten Probolinggo itu adalah spesies baru," katanya.

Penelitian dilakukan dengan mengambil ulat bulu yang terserang penyakit. Sampel itu dibawa ke laboratorium hama untuk dikembangkan virusnya. Dalam melakukan pemantauan, Dinas Pertanian Kabupaten Malang mengerahkan 33 petugas yang disebar di setiap kecamatan di Kabupetan Malang.

Mereka bertugas mengamati jangkauan penyebaran serangan ulat bulu. "Sejak hari ini, 33 petugas itu sudah menyebar di lapangan. Namun, sampai detik ini belum juga ada laporan kalau di kabupaten ada ulat bulu seperti di Probolinggo itu," tuturnya.

Sementara itu, Sirojudin (43), seorang petani di Dusun Tulusayu, Desa Tulusbesar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, mengaku sudah khawatir terhadap ancaman serangan ulat bulu itu. "Saya sudah khawatir serangan ulat bulu itu akan merusak lahan pertanian kami. Kabarnya, ulat bulu itu juga menyerang lahan pertanian," ujarnya.
{[['']]}

Untuk Menanggulangi Hama Ulat Bulu, Sampel Ulat Dikirim ke LIPI Untuk Diteliti

Sejumlah akademisi Jurusan Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jember (Unej) mengirim sampel ulat bulu ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta.

Dosen Fakultas Pertanian Unej, Hari Purnomo, Minggu (10/4/2011), mengatakan, tim ahli dari Faperta Unej menemukan dua spesies ulat bulu di sejumlah kebun mangga di Probolinggo.

"Dugaan kami bahwa ulat bulu di Probolinggo berasal dari genus Arctonis sp (ngengat bersayap dengan warna pucat) dan Lymantria sp (ngengat bersayap dengan warna coklat bergaris)," tutur ahli serangga di bidang pertanian itu.

Sebanyak lima dosen Jurusan Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Unej, yakni Hari Purnomo, Nanang Tri Hariadi, Saifudin Hasyim, Wagino MP, dan Suharto, melakukan observasi terhadap wabah ulat bulu di Probolinggo, Kamis.

"Kami membawa sejumlah sampel kepompong ulat bulu yang terparasit, ngengat dewasa, dan sejumlah predator yang memakan ulat bulu. Selanjutnya sebagian sampel akan dikirim ke LIPI," ujarnya.

Pengajar Entomologi Pengendalian Hayati Fakultas Pertanian Unej itu mengatakan, ulat bulu yang menyerang sejumlah kecamatan di Probolinggo adalah keluarga dari ngengat (Lymantriidae), sejenis kupu-kupu yang umumnya aktif dan bertelur pada malam hari.

"Sampel ngengat dewasa (imago) dikirim ke Dr Hari Sutrisno, ahli ngengat dari LIPI, untuk memastikan spesies ulat bulu yang menyerang Probolinggo," katanya.

Sementara itu, untuk mengidentifikasi parasit yang menyerang kepompong ulat bulu, kata dia, sampel kepompong/pupa terparasit juga dikirim ke peneliti LIPI ahli biologi, Rosichon Ubaidillah. "Saya hanya menduga parasit yang menyerang kepompong ulat bulu adalah parasitoid atau sejenis tabuhan kecil ordo Hymnoptera Brachymeria karena kepompong ulat bulu menjadi berwarna agak hitam," ucapnya.

Hari menegaskan, sebanyak lebi dari 50 persen kepompong ulat bulu yang berada di Probolinggo sudah mati karena diserang musuh alami berupa parasit, patogen, dan sejumlah predator. "Musuh alami, seperti predator, parasit, dan patogen, sudah bekerja secara alami. Ulat bulu yang terserang virus NPV terlihat mati menggantung di daun, sedangkan ulat bulu yang terserang jamur berwarna putih," ujarnya.

Sumber: Kompas
{[['']]}

Penyebab Populasi Hama Ulat Bulu Terus Meningkat , Serta Cara Penanggulangannya

Perubahan iklim terutama temperatur lingkungan ikut mempengaruhi populasi ulat bulu, karena temperatur yang meningkat dapat mempercepat siklus hidup ulat itu, kata pakar hama dan penyakit tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Suputa. "Meningkatnya populasi ulat bulu juga disebabkan semakin berkurangnya musuh alami, seperti burung, parasitoid, dan predator lain," katanya dalam diskusi Fenomena Wabah Hama Ulat Bulu di Jawa Timur, di Yogyakarta, Kamis.

Menurut dia, akibat tingginya populasi, serangan ulat bulu di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, semakin memprihatinkan. Ulat bulu tidak hanya menyerang daun mangga di Kecamatan Bantaran, Leces, Sumberasih, dan Tegalsiwalan, tetapi juga memasuki rumah penduduk. "Daun mangga varietas Manalagi di daerah itu habis dimakan ulat bulu. Pohon mangga tinggal ranting dan batangnya," katanya.

Ia mengatakan, ulat bulu tersebut lebih memilih menyerang daun mangga Manalagi dibanding varietas pohon mangga lain. Pemilihan inang itu dilakukan ulat bulu dewasa saat meletakkan telur. "Ulat bulu bukan termasuk kupu-kupu, tetapi sebangsa ngengat. Diduga ngengat ulat bulu itu yang meletakkan telur pada celah kulit pohon mangga atau di bawah daun," katanya.

Menurut dia, serangan ulat bulu tersebut bukan fenomena baru, karena sebelumnya pernah terjadi serangan serupa. Bahkan, pernah terjadi tanaman lombok se-Jawa yang layu menguning akibat serangan hama tanaman. "Terdapat dua spesies ulat bulu yang menyerang daun mangga di Probolinggo, yakni arctornis sp dan Lymantria atemeles Collenette. Ulat bulu itu bersifat nokturnal, yakni ulat yang aktif pada malam," katanya.

Ia mengatakan tidak mengherankan jika pada malam sering terdengar seperti suara hujan, padahal saat itu sesungguhnya ulat bulu sedang memakan daun-daun mangga. "Jika serangan ulat ini dibiarkan, maka akan banyak pihak mengalami kerugian. Selain ketakutan juga kerugian secara ekonomi," katanya.

Oleh karena itu, pengendalian terhadap populasi ulat menjadi langkah yang harus segera dilakukan. Terlebih kemampuan produksi telur ulat betina mencapai 70-300 butir per ulat. "Pengendalian hama terpadu dengan pendayagunaan musuh alami, burung, parasitoid, perangkap lampu UV, dan penggunaan perangkap feromon seks perlu dilakukan," katanya.

Sumber: Republika


{[['']]}

Cara Baru Membudidayakan Jamur dengan Media Kapas




Empat pekerja sibuk membolak-balik limbah kapas di lahan kosong di samping kantor Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Senin (28/3). Lahan itu berada di Desa Bulakamba, Kecamatan Bulakamba. Satu di antara mereka menaburkan bekatul, di atas tumpukan limbah kapas.
{[['']]}

Hama Ulat Bulu Meluas, Bagaimana Cara Mengatasinya?

PROBOLINGGO – Pertumbuhan ulat bulu yang sangat cepat diperkirakan bakal menjalar ke sejumlah daerah lain di sekitar Kabupaten Probolinggo. Ini disebabkan fase perubahan cuaca yang masih akan berlangsung dalam satu atau dua bulan mendatang. Saat ini,

Dinas Pertanian Probolinggo mencatat ulat bulu telah menyebar di 60 desa pada delapan kecamatan.Kedelapan kecamatan itu Leces, Tegalsiwalan, Bantaran, Sumberasih, Wonomerto, Dringu, Banyuanyar,dan Tongas.

Menurut Arif Kurniadi,Kasi Penanggulangan Hama Disperta Kabupaten Probolinggo, untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran ulat bulu, Disperta terus menggiatkan penyemprotan disinfektan ke daerah-daerah yang terserang ulat bulu.”Hari ini petugas menyemprotkan disinfektan ke 14 titik.

Cuaca yang cerah sangat membantu mengatasi perkembangan ulat bulu,” tandas Arif Kurniadi. Tak hanya mengganggu aktivitas warga, ulat bulu juga menyebabkan produksi pertanian terancam menurun.Mangga, produk unggulan Probolinggo yang saat ini sedang berbunga, diperkirakan tidak akan berbuah lantaran menjadi kering.

Berdasar catatan Dinas Pertanian, sebanyak 8.877 pohon mangga milik warga dan yang tersebar dibeberapa perkebunan terserang ulat bulu dan terancam gagal panen. Setiap panenan satu pohon mangga setara dengan Rp500.000. Dengan demikian, potensi kerugian dari ancaman gagal panen tersebut mencapai lebih dari Rp4,4 miliar.

Didukung Cuaca

Kepala Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Dr Ir Totok Himawan menjelaskan, fenomena ”serangan” ulat bulu ini tak lepas dari pengaruh cuaca.Tingginya curah hujan di penghujung musim menyebabkan predator ulat bernama Braconid dan ‘Apateles’ tak mampu bertahan hidup.

Akibatnya, ulat bulu berkembang sangat cepat. Selain pengaruh cuaca, ulat bulu berkembang karena residu pestisida yang membunuh predatornya. ”Dugaan kita petani di Kabupaten Probolinggo terlalu banyak menyemprotkan pestisida.Nahresidunya itubisa menghambat pertumbuhan dan membunuh predator alami ulat. Lantas predator alami itu tidak bisa mengontrol perkembangbiakan ulat,”jelas Totok.

Meski begitu, dia menjelaskan warga tak perlu panik. Sebab jenis ulat bulu di Probolinggo itu tidak membahayakan. ”Ulat bulu yang ada di Kabupaten Probolinggi itu dari spesies Dasychira Inclusa atau sejenis ulat bulu yang tidak gatal dan tidak menimbulkan iritasi pada kulit,”ujar Totok. Sobari, dosen di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menerangkan, ada tiga cara membasmi ulat bulu,yaitu cara fisik, kimia dan biologi.

”Cara fisik dengan cara memukuli seluruh ulat sampai mati atau bisa juga dengan menggunakan api untuk membakar ulatnya. Kalau cara kimia dengan menyemprotkan insektisida tertentu. Kemudian cara biologi,berarti harus memasukkan salah satu hewan yang bertugas memangsa seluruh ulat itu,”terang dia.

Sumber: Koran Sindo
{[['']]}

Desakan Menolak "Golden Rice"

Kontroversi soal produk pertanian transgenik terus berlanjut, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menolak rencana pemerintah memasukkan produk tanaman pangan transgenik karena dapat mengesampingkan biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Termasuk di antaranya jenis padi golden rice dengan kandungan selain karbohidrat, juga beta karoten, yang mengesampingkan penyediaan beta karoten dari tanaman sayur dan buah-buahan.

”Padi transgenik golden rice itu problem orang yang mencari pasar,” kata Direktur Eksekutif Institute of Global Justice Indah Suksmaningsih di Jakarta, Jumat (1/4). Jenis padi golden rice masih dalam pengembangan International Rice Research Institute (IRRI), belum diluncurkan.

Indah bersama Koordinator Aliansi Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, dalam konferensi pers menyampaikan tema ”Pangan Transgenik Bukan Solusi Pangan Indonesia: Kasus Golden Rice”.

Dukung petani

Menurut Indah, rencana pemerintah memasukkan produk tanaman pangan transgenik sekaligus menunjukkan lemahnya perhatian di bidang penelitian. Para petani bahkan diarahkan bergantung pada perusahaan produsen benih.

”Pemerintah sebaiknya mendukung para petani pemulia yang selama ini menyilangkan tanaman pangan sendiri untuk mendapatkan kesesuaian varietas yang diinginkan,” kata Indah.

Tejo menambahkan, kasus golden rice adalah persoalan perusahaan asing yang mencari pasar di negara berkembang dengan makanan pokok beras. Pemerintah tidak perlu terpengaruh.

”Saat ini konsumsi beras Indonesia terbesar di dunia, mencapai 139 kilogram per kapita per tahun,” kata Tejo.

Menurut dia, tak ada sedikit pun upaya pemerintah menekan jumlah konsumsi beras tersebut, meski saat ini masih memiliki 77 jenis komoditas yang bisa menjadi pengganti beras.

”Masih punya sukun atau umbi-umbian. Namun, ini tak pernah diperhatikan untuk substitusi beras atau mengurangi jumlah konsumsi beras,” kata Tejo.

Menurut Indah, pemerintah tidak mampu melihat persoalan yang sesungguhnya dihadapi petani. Ancaman kekurangan pangan selalu dikaitkan dampak perubahan iklim.

Padahal, ada beberapa tanggung jawab yang tidak dikerjakan pemerintah. ”Pemerintah selama ini mengabaikan perbaikan sistem irigasi, tetapi justru menanggapi gangguan-gangguan global terhadap mekanisme pertanian Indonesia,” kata Indah.

Sumber: Kompas
{[['']]}

Mekanisasi Pertanian Saat Ini Masih Terganjal Masalah Sosial

Mekanisasi pertanian mulai dari pengolahan lahan, penanaman, pemanenan, hingga pengolahan hasil pertanian belum bisa dijalankan secara optimal karena ada hambatan sosial. Padahal, mekanisasi dapat menekan biaya produksi petani hingga 25 persen.

Menurut Kepala Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Astu Unadi, Jumat (1/4) di Jakarta, hingga saat ini mekanisasi pertanian baru bisa berjalan setengahnya, terutama mekanisasi dalam hal pengolahan lahan dan pengolahan hasil pertanian.

Pemrosesan padi dari gabah menjadi beras juga sudah menggunakan mesin, tidak lagi ditumbuk karena bila ditumbuk tingkat kehilangan hasilnya tinggi, kualitas beras jelek, dan biaya tenaga kerja besar serta lamban.

”Meskipun butuh puluhan tahun untuk mengubah budaya, traktor dan mesin penggilingan padi akhirnya diterima petani dan masyarakat,” katanya. Petani sekarang tidak mau lagi mencangkul karena itu pekerjaan berat, begitu pula dengan menumbuk gabah.

Pada tingkatan lain, mekanisasi pertanian sulit berkembang, terutama pada tahap penanaman dan panen.

”Kalau mekanisasi sudah masuk, biaya produksi bisa ditekan lebih rendah sampai 12,5 persen lagi,” katanya.

Sulitnya mekanisasi masuk karena terbentur masalah sosial. Astu mencontohkan, bila menggunakan tenaga manusia untuk penanaman dan panen butuh tenaga kerja 30 orang per hektar per hari dengan upah Rp 40.000 per hari.

Bila menggunakan mesin, selain lebih cepat biaya tanam dan panen bisa ditekan lebih dari separuhnya. Akan tetapi, tenaga kerja akan berkurang banyak.

Investasi mesin pertanian juga sekarang tidak begitu mahal karena sebagian besar sudah diproduksi di dalam negeri.

Mekanisasi penanaman dan pemanenan sulit diterapkan. Bahkan, di beberapa lokasi seperti di wilayah pantai utara Jawa, pernah ada kasus mesin pemanen padi dibakar massa.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir menegaskan, mekanisasi pertanian bisa dijalankan di luar Pulau Jawa karena di sana kekurangan tenaga kerja

Sumber: Kompas
{[['']]}
 
Support : Produksi Pertanian | Produksi Pertanian | Produksi Pertanian
Copyright © 2011. Produksi Pertanian - All Rights Reserved
Template Created by Produksi Pertanian Published by Produksi Pertanian
Proudly powered by Produksi Pertanian