{[['']]}
Pada dasarnya, transformasi genetika yang diterapkan Enny Sudarmonowati, periset pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tidak hanya melulu pada sengon yang bisa dipercepat pertumbuhannya sampai hampir dua kali lipat.
Bioteknologi, dalam hal ini transformasi genetika (transgenik), memungkinkan upaya mempercepat pertumbuhan semua jenis tanaman produksi kehutanan yang biasanya mencapai puluhan tahun,” kata Enny, Kamis (19/8) di Jakarta.Enny yang dikukuhkan sebagai profesor riset LIPI pada 21 Mei 2010 mengatakan, di dunia setidaknya ada 25 negara yang sudah getol mengaplikasikan bioteknologi untuk mempercepat pertumbuhan tanaman produksi kehutanannya. Diperkirakan luas hutan produksi di dunia yang sudah bersentuhan dengan bioteknologi ini mencapai 800 juta hektar.
Negara tetangga, Filipina, menurut Enny, contoh salah satu negara yang aktif menggiatkan riset dan aplikasi bioteknologi ini. ”Negara China apa lagi. Negara ini sangat maju dalam mengembangkan bioteknologi transformasi genetika untuk mempercepat produksi tanaman kayunya,” ujar Enny.
Di dalam risetnya, Enny memilih jenis tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) karena sengon tergolong sebagai tanaman kayu kehutanan paling cepat tumbuh dan pangsa pasarnya tergolong paling besar. Untuk keperluan konstruksi, kayu sengon biasanya dipetik dalam usia 15 tahun. Kayu sengon untuk industri bubur kertas biasa dipanen dalam usia enam tahun.
Berdasarkan riset Enny yang dimulai sejak 1992, dengan transformasi genetika pada sengon itu diperoleh percepatan 1,8 kali atau hampir dua kali lipat pertumbuhannya. Ini jika dibandingkan dengan sengon nontransgenik.
”Kayu sengon transgenik untuk konstruksi bisa dipetik pada usia sekitar 7 tahun, yang seharusnya jika tanpa rekayasa bioteknologi ini masih menunggu sampai 15 tahun,” kata Enny.
Dua gen
Transformasi genetika untuk mempercepat pertumbuhan sengon, menurut Enny, hanya membutuhkan transfer dua gen, yaitu gen Xyloglucanase dan Cellulase.
”Kedua jenis gen itu berfungsi meningkatkan pertumbuhan dan kandungan selulosa,” kata Enny. Sengon transgenik pada awal semai hingga tiga bulan mulai menunjukkan perbedaan. Daun-daun sengon transgenik mengembang lebih luas. Batang utama mulai menjulur lebih tinggi jika dibandingkan sengon nontransgenik.
”Kebetulan, cara untuk mendapatkan kedua gen itu dari jenis pohon poplar, yaitu tumbuhan kayu cepat tumbuh dari Jepang,” kata Enny.
Kegiatan riset sengon transgenik ini merupakan hasil kerja sama dengan Jepang, yaitu Universitas Kyoto. Namun, menurut Enny, kedua gen itu juga bisa diambil dari pohon kayu cepat tumbuh di Indonesia.
”Selain sengon, memang belum ditemukan jenis lainnya yang bisa lebih cepat tumbuh. Kedua gen itu bisa diambil dari sengon yang tumbuh abnormal lebih cepat hingga melampaui yang lainnya,” kata Enny.
Metode insersi
Metode insersi atau mentransfer kedua gen Xyloglucanase dan Cellulase ke jenis tanaman sengon dimulai dengan penentuan cara mendapatkan kedua gen tersebut. Jika ingin mendapatkannya dari sengon abnormal, langkah yang harus ditempuh berupa membentuk pustaka Ribonucleic acid (RNA) yang mencakup komposisi molekul biologinya.
Dilanjutkan dengan memancing gen yang diinginkan, yaitu Xyloglucanase dan Cellulase. Caranya, dengan mencocokkan urutan basa gen.
Setelah diperoleh, kedua gen itu diisolasi dan dibiakkan. Lalu, dipadukan dengan promotor serta gen penyeleksi atau gen penanda sehingga siap diinsersikan ke individu tanaman.
”Proses insersi ini menggunakan bakteri Agrobacterium tumefaciens yang diperoleh dari bakteri gall,” kata Enny. Bakteri gall banyak ditemui pada pembengkakan batang pohon yang dengan sengaja dilukai. Pembengkakan batang pohon yang dilukai itu kerap disebut kena kanker batang.
Proses insersi kedua gen, menurut Enny, dijalankan satu per satu. Caranya dengan mencelupkan individu tanaman sengon hasil kultur jaringan ke larutan yang mengandung salah satu gen tersebut secara bergantian.
Kalus embriogenik
Ada satu hal yang harus dilampaui untuk proses insersi dua gen dalam upaya memperoleh sengon transgenik ini, yaitu mendapatkan individu baru secara cepat dan massal.
”Caranya dengan membentuk reaksi kalus embriogenik untuk menghasilkan individu baru secara massal dalam waktu relatif cepat. Kalus embriogenik ini metode kloning,” kata Enny.
Kalus embriogenik menggunakan metode pengembangbiakan secara vegetatif. Jaringan vegetatif seperti daun bisa digunakan untuk menghasilkan ribuan individu baru hasil kloning itu.
Riset yang mulai dikembangkan sejak 1992 itu kini menghasilkan sejumlah jenis sengon transgenik yang ditanam di Fasilitas Uji Terbatas (FUT), yakni FUT milik LIPI di Pusat Sains Cibinong. ”Di Indonesia hanya ada dua FUT. Yang lainnya di Bogor, yaitu milik Kementerian Pertanian,” kata Enny.
Hasil pengembangan bioteknologi melalui transformasi genetika pada tanaman kayu cepat tumbuh seperti sengon, menurut Enny, tidak bisa langsung diaplikasikan di lapangan. Lebih tepatnya, tidak mudah.
Selain harus mengikuti regulasi keamanan hayati, masyarakat masih alergi terhadap isu tanaman transgenik. Uji lapang tanaman transgenik secara teknis juga tidak murah karena butuh gugusan tanaman pelindung setebal minimal tiga meter. ”Tanaman transgenik kehutanan ini tidak untuk dimakan atau tidak untuk dikenakan di tubuh kita. Semestinya ini bisa diterima,” ujar Enny.
Posting Komentar