Info Terbaru :
Terbaru

HET Pupuk Akan Naik


Jakarta, Kompas - Harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi diperkirakan naik 10-15 persen pada tahun 2011. Dengan demikian, pemerintah dapat menghemat anggaran subsidi Rp 2 triliun karena ada penurunan dari Rp 18,4 triliun tahun 2010 menjadi Rp 16,4 triliun tahun 2011.

”Kalau anggaran subsidi diturunkan Rp 2 triliun, akan ada kenaikan HET 10-15 persen,” ujar Ketua Kelompok Kerja Pupuk Nasional sekaligus Deputi Bidang Perdagangan dan Perindustrian, Kementerian Koordinator Perekonomian, Edy Putra Irawady di Jakarta, Kamis (19/8).Menurut dia, kenaikan ini adalah jalan tengah karena industri pupuk tidak mungkin menurunkan harga pokok produksi (HPP) akibat kenaikan harga gas. Gas sendiri berkontribusi 96 persen dari biaya produksi.

”Sementara di tingkat petani, kontribusi biaya pupuk pada biaya pertanian hanya sekitar 10 persen. Kami harap ini tidak memberatkan,” ungkapnya.

Dengan kenaikan harga itu, HET urea bersubsidi akan naik dari Rp 1,6 juta menjadi Rp 1,8 juta per ton. Adapun harga pupuk SP-36/superphose naik dari Rp 2 juta menjadi Rp 2,2 juta per ton, harga pupuk ZA naik dari Rp 1,4 juta menjadi Rp 1,65 juta per ton, dan harga pupuk NPK naik dari Rp 2,3 juta menjadi Rp 2,45 juta per ton, sedangkan HET pupuk organik tetap Rp 700.000 per ton.

Secara terpisah, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, penurunan subsidi pupuk juga terjadi karena efisiensi pada level petani. ”Subsidi pupuk diturunkan karena sekarang petani tahu bagaimana menggunakan pupuk yang efisien. Pupuk semakin sedikit digunakan pada setiap hektar lahan,” ungkapnya.

Dalam dokumen Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2011 disebutkan, faktor-faktor yang memengaruhi perubahan anggaran subsidi pupuk itu adalah volume, HPP, dan HET. Semua faktor itu naik, kecuali HPP urea yang turun dari Rp 3,2 juta per ton tahun 2010 menjadi Rp 3,132 juta per ton tahun 2011.

Adapun volume pupuk bersubsidi akan naik dari 9,316 juta ton tahun 2010 menjadi 11,282 juta ton tahun 2011. Volume pupuk bersubsidi terbesar adalah urea, yakni naik dari 4,816 juta ton menjadi 5,82 juta ton.

Adapun pupuk jenis SP-36/superphose naik dari 849.000 ton menjadi 1 juta ton, begitu juga pupuk ZA naik dari 842.000 ton menjadi 950.000 ton, lalu pupuk NPK naik dari 2,095 juta ton menjadi 2,42 juta ton, dan pupuk organik meningkat dari 715.000 ton menjadi 1,092 juta ton.

Terbebani

Pengamat ekonomi pertanian Bustanul Arifin mengatakan, petani memang akan terbebani dengan kenaikan harga pupuk bersubsidi ini. Sebab, harga pupuk di lapangan biasanya bisa lebih tinggi 20 persen daripada HET.

Ekonom Fadhil Hasan mengatakan, kenaikan pupuk memang layak dilakukan untuk mendorong efisiensi pemakaian pupuk di tingkat petani. Kenaikan HET juga perlu untuk menekan disparitas harga domestik dan internasional sehingga penyelundupan dan kebocoran ke sektor lain dapat dikurangi. Kenaikan ini juga memberikan insentif bagi industri pupuk dalam negeri.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir mengatakan, saat ini petani belum mampu menata arus pengeluaran dan pemasukan pasca-kenaikan HET pupuk tahun ini. ”Kalau HET harus naik lagi, kita belum bernapas dan belum mampu menata situasi pasca-kenaikan HET,” katanya.

Pada panen padi lalu, kualitas gabah petani jatuh karena iklim tidak bersahabat. Produktivitas tanaman padi juga turun drastis, ada yang turun 50 persen.

”Memang ada kenaikan harga beras yang berdampak pada kenaikan harga gabah, tetapi kenaikan itu tidak mampu menutup kerugian petani akibat gagal panen,” katanya. (OIN/MAS)
{[['']]}

Pertanian Organik Sumbar Ditantang


Padang, Kompas - Program pertanian di Provinsi Sumatera Barat, yang selama ini tengah diupayakan untuk kembali menggunakan konsep pertanian organik, ditantang untuk lebih berorientasi pada agrobisnis dan agroindustri.

Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Kamis (19/8), mengatakan, nota kesepahaman dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) telah ditandatangani untuk memastikan transfer ilmu dan pengetahuan demi tercapainya tujuan tersebut. Irwan mengatakan, nota kesepahaman itu salah satunya dimaksudkan untuk memenuhi kemandirian petani dalam mempraktikkan pertanian organik.”Organik itu tetap jalan, orientasi kami petani mandiri. Jangan sampai organik terus-terusan, suatu ketika pupuk organik tidak terpenuhi lantas tidak berproduksi,” kata Irwan.

Menurut Irwan, IPB akan memastikan terjadinya peralihan ilmu dan pengetahuan kepada petani dan sejumlah akademisi di Universitas Andalas (Unand), Padang, terkait hal tersebut. ”Jika IPB sudah pergi, kawan-kawan dari Unand bisa meneruskan,” kata Irwan sembari menambahkan jangka waktu kerja sama yang tertuang dalam nota kesepahaman itu selama lima tahun ke depan.

Untuk bidang pertanian organik, sejauh ini IPB diketetahui juga memiliki badan sertifikasi produk dan sistem organik yang disebut Integrated Laboratory Organic and Nature Product Assurance.

Sementara itu, Sumbar sejauh ini sudah memiliki lembaga sertifikasi organik yang berdiri sejak tahun 2007. Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumbar Djoni menyebutkan, sejauh ini tidak ada biaya yang dipungut dari petani untuk mendapatkan sertifikat organik. (INK)
{[['']]}

Mempercepat Sengon Tumbuh 2 Kali Lipat


Pada dasarnya, transformasi genetika yang diterapkan Enny Sudarmonowati, periset pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tidak hanya melulu pada sengon yang bisa dipercepat pertumbuhannya sampai hampir dua kali lipat.

Bioteknologi, dalam hal ini transformasi genetika (transgenik), memungkinkan upaya mempercepat pertumbuhan semua jenis tanaman produksi kehutanan yang biasanya mencapai puluhan tahun,” kata Enny, Kamis (19/8) di Jakarta.Enny yang dikukuhkan sebagai profesor riset LIPI pada 21 Mei 2010 mengatakan, di dunia setidaknya ada 25 negara yang sudah getol mengaplikasikan bioteknologi untuk mempercepat pertumbuhan tanaman produksi kehutanannya. Diperkirakan luas hutan produksi di dunia yang sudah bersentuhan dengan bioteknologi ini mencapai 800 juta hektar.

Negara tetangga, Filipina, menurut Enny, contoh salah satu negara yang aktif menggiatkan riset dan aplikasi bioteknologi ini. ”Negara China apa lagi. Negara ini sangat maju dalam mengembangkan bioteknologi transformasi genetika untuk mempercepat produksi tanaman kayunya,” ujar Enny.

Di dalam risetnya, Enny memilih jenis tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) karena sengon tergolong sebagai tanaman kayu kehutanan paling cepat tumbuh dan pangsa pasarnya tergolong paling besar. Untuk keperluan konstruksi, kayu sengon biasanya dipetik dalam usia 15 tahun. Kayu sengon untuk industri bubur kertas biasa dipanen dalam usia enam tahun.

Berdasarkan riset Enny yang dimulai sejak 1992, dengan transformasi genetika pada sengon itu diperoleh percepatan 1,8 kali atau hampir dua kali lipat pertumbuhannya. Ini jika dibandingkan dengan sengon nontransgenik.

”Kayu sengon transgenik untuk konstruksi bisa dipetik pada usia sekitar 7 tahun, yang seharusnya jika tanpa rekayasa bioteknologi ini masih menunggu sampai 15 tahun,” kata Enny.

Dua gen

Transformasi genetika untuk mempercepat pertumbuhan sengon, menurut Enny, hanya membutuhkan transfer dua gen, yaitu gen Xyloglucanase dan Cellulase.

”Kedua jenis gen itu berfungsi meningkatkan pertumbuhan dan kandungan selulosa,” kata Enny. Sengon transgenik pada awal semai hingga tiga bulan mulai menunjukkan perbedaan. Daun-daun sengon transgenik mengembang lebih luas. Batang utama mulai menjulur lebih tinggi jika dibandingkan sengon nontransgenik.

”Kebetulan, cara untuk mendapatkan kedua gen itu dari jenis pohon poplar, yaitu tumbuhan kayu cepat tumbuh dari Jepang,” kata Enny.

Kegiatan riset sengon transgenik ini merupakan hasil kerja sama dengan Jepang, yaitu Universitas Kyoto. Namun, menurut Enny, kedua gen itu juga bisa diambil dari pohon kayu cepat tumbuh di Indonesia.

”Selain sengon, memang belum ditemukan jenis lainnya yang bisa lebih cepat tumbuh. Kedua gen itu bisa diambil dari sengon yang tumbuh abnormal lebih cepat hingga melampaui yang lainnya,” kata Enny.

Metode insersi

Metode insersi atau mentransfer kedua gen Xyloglucanase dan Cellulase ke jenis tanaman sengon dimulai dengan penentuan cara mendapatkan kedua gen tersebut. Jika ingin mendapatkannya dari sengon abnormal, langkah yang harus ditempuh berupa membentuk pustaka Ribonucleic acid (RNA) yang mencakup komposisi molekul biologinya.

Dilanjutkan dengan memancing gen yang diinginkan, yaitu Xyloglucanase dan Cellulase. Caranya, dengan mencocokkan urutan basa gen.

Setelah diperoleh, kedua gen itu diisolasi dan dibiakkan. Lalu, dipadukan dengan promotor serta gen penyeleksi atau gen penanda sehingga siap diinsersikan ke individu tanaman.

”Proses insersi ini menggunakan bakteri Agrobacterium tumefaciens yang diperoleh dari bakteri gall,” kata Enny. Bakteri gall banyak ditemui pada pembengkakan batang pohon yang dengan sengaja dilukai. Pembengkakan batang pohon yang dilukai itu kerap disebut kena kanker batang.

Proses insersi kedua gen, menurut Enny, dijalankan satu per satu. Caranya dengan mencelupkan individu tanaman sengon hasil kultur jaringan ke larutan yang mengandung salah satu gen tersebut secara bergantian.

Kalus embriogenik

Ada satu hal yang harus dilampaui untuk proses insersi dua gen dalam upaya memperoleh sengon transgenik ini, yaitu mendapatkan individu baru secara cepat dan massal.

”Caranya dengan membentuk reaksi kalus embriogenik untuk menghasilkan individu baru secara massal dalam waktu relatif cepat. Kalus embriogenik ini metode kloning,” kata Enny.

Kalus embriogenik menggunakan metode pengembangbiakan secara vegetatif. Jaringan vegetatif seperti daun bisa digunakan untuk menghasilkan ribuan individu baru hasil kloning itu.

Riset yang mulai dikembangkan sejak 1992 itu kini menghasilkan sejumlah jenis sengon transgenik yang ditanam di Fasilitas Uji Terbatas (FUT), yakni FUT milik LIPI di Pusat Sains Cibinong. ”Di Indonesia hanya ada dua FUT. Yang lainnya di Bogor, yaitu milik Kementerian Pertanian,” kata Enny.

Hasil pengembangan bioteknologi melalui transformasi genetika pada tanaman kayu cepat tumbuh seperti sengon, menurut Enny, tidak bisa langsung diaplikasikan di lapangan. Lebih tepatnya, tidak mudah.

Selain harus mengikuti regulasi keamanan hayati, masyarakat masih alergi terhadap isu tanaman transgenik. Uji lapang tanaman transgenik secara teknis juga tidak murah karena butuh gugusan tanaman pelindung setebal minimal tiga meter. ”Tanaman transgenik kehutanan ini tidak untuk dimakan atau tidak untuk dikenakan di tubuh kita. Semestinya ini bisa diterima,” ujar Enny.
{[['']]}

Mewujudkan Ambisi Swasembada Gula


Dalam pertemuan di sebuah rumah makan di Jombang, Jawa Timur, Minggu awal Juli lalu, perwakilan dari 11 Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Petani Tebu Rakyat se-PTPN X membahas rencana menunda pengiriman tebu ke pabrik gula. Mereka meminta jaminan rendemen tebu minimal 7 atau lebih. Apabila tak dipenuhi sampai Senin, tebu berhenti dikirim.

Tak semua perwakilan bersuara sama karena ada yang sudah puas dengan rendemennya. Kesepakatan akhirnya dicapai, penghentian pengiriman dilakukan dua hari. Menurut peserta rapat dari wilayah kerja Pabrik Gula (PG) Watoe Toelis, Suwandi, penghentian tak bisa lebih lama karena petani akan rugi.”Kami kirim ke mana lagi kalau tidak ke PG,” kata Suwandi saat dihubungi kembali, Kamis (19/8). Upaya itu tak membawa banyak perubahan, hitungan rendemen tak berubah.

Rendemen hanyalah salah satu permasalahan industri gula Indonesia setelah merosot dari masa keemasan tahun 1930-an. Ambisi mencapai swasembada gula pada 2014 diupayakan melalui intensifikasi industri tebu yang sudah ada, ditambah penambahan lahan dan PG baru.

Intensifikasi berhubungan dengan rendemen yang diakui Menteri Pertanian Suswono masih jadi perdebatan karena ditentukan kualitas tanaman tebu, kemampuan PG mengambil kristal gula dari tebu, dan faktor manusia penghitung rendemen.

”Kenekatan” petani mengultimatum PG mencerminkan juga belum terbangunnya kemitraan setara. Padahal, keduanya saling butuh karena petani tebu tak mudah berganti ke tanaman lain. Upaya petani itu, terutama yang rendemennya di bawah 6, didesak turunnya pendapatan yang, menurut Suwandi, besarnya Rp 1 juta-Rp 2 juta daripada tahun lalu.

Anomali cuaca berupa curah hujan tinggi hingga musim kemarau diduga menurunkan rendemen. Biaya tahun ini juga meningkat, antara lain tebang-angkut, karena tanah basah akibat hujan sehingga truk tak dapat masuk jauh ke kebun. Kinerja sebagian besar PG di Jawa juga tak memuaskan. Menurut peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Ali Susmiadji, efisiensi PG mengambil sukrosa hanya 77-81 persen, sementara standar dunia 85 persen.

Deputi Menteri BUMN Agus Pakpahan mengatakan, saat ditugasi menilai PG di Jawa sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dia menemukan hanya 20 persen PG yang efisien secara ekonomis dan teknis. Usia PG yang tua—beberapa dibangun tahun 1830-an—menjadi penyebab. Saat itu diusulkan tidak memindahkan agroindustri gula Jawa ke luar Jawa seperti kesepakatan letter of intent dengan IMF tahun 1998, tetapi merestrukturisasi, merekayasa ulang, dan merevitalisasi PG.

Mengejar ambisi

Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian sudah menyusun peta revitalisasi industri gula, berisi mulai dari masalah, cara mengatasi, hingga ukuran keberhasilannya. Peta itu mengenali kendala dalam kualitas tebu yang ditentukan oleh bibit, efisiensi PG, dan tata niaga. Sayangnya, peta tidak menghitung ketidakadilan perdagangan internasional.

Seperti laporan para duta besar dan kuasa usaha ad interim dalam Ekonomi Gula 11 Negara Pemain Utama Dunia, Kajian Komparasi dari Perspektif Indonesia (Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2004), 10 negara yang dikaji memberlakukan kebijakan promosi dan proteksi. Mulai dari peran negara dalam penelitian dan pemberian bunga rendah pembiayaan industri hingga proteksi melalui pembatasan impor melalui kuota, bea masuk tambahan dan tarif, serta pengaturan pasokan domestik.

Dalam upaya menuju swasembada gula dengan sasaran 5,7 juta ton gula kristal putih (GKP), hampir dua kali target produksi 2010 (2,9 juta ton), kesan yang muncul adalah kurangnya koordinasi. Pernyataan Wakil Menteri Pertanian dan Kepala Bulog, pekan lalu, tentang rencana impor gula dilakukan sebelum penghitungan produksi selesai karena Agustus ini masih puncak giling.

Dari sisi tanaman, Ali Susmiadji menghitung, bila tahun ini pembibitan mulai dilakukan, tahun 2011 bibit mulai ditanam di 30 persen lahan petani sambil membangun pabrik baru. Artinya, pabrik baru beroperasi penuh tahun 2014. Nyatanya, usaha pembibitan belum tampak dan meningkatkan efisiensi industri yang ada butuh waktu lama.

Staf Ahli Asosiasi Gula Indonesia Colosewoko mengatakan, peraturan sudah memadai, hanya tinggal pelaksanaan. Contohnya, SK Menperindag No 527/2004 bahwa gula rafinasi hanya boleh dijual ke industri menimbulkan tafsir ganda, apakah industri rumah tangga yang secara tradisional konsumen GKP juga termasuk industri seperti pada SK. Kenyataannya, sulit mengawasi gula kristal rafinasi (GKR) tak dikonsumsi langsung jika industri rumah tangga dimasukkan sebagai pemakai GKR. Alhasil, keluhan GKR masuk ke eceran dan menekan harga GKP akan terus terjadi.

Maka, seperti dikatakan Komisaris Utama PTPN X HS Dillon, yang pernah memimpin restrukturisasi PTPN, diperlukan keberpihakan kepada petani dan rakyat banyak, bukan ego sektoral. (Ninuk M Pambudy)
{[['']]}
 
Support : Produksi Pertanian | Produksi Pertanian | Produksi Pertanian
Copyright © 2011. Produksi Pertanian - All Rights Reserved
Template Created by Produksi Pertanian Published by Produksi Pertanian
Proudly powered by Produksi Pertanian