Info Terbaru :
Terbaru

Petani Minta Harga Jagung Dikawal


Jakarta, Kompas - Para pemangku kepentingan yang terhimpun dalam Dewan Jagung Nasional tengah menyusun strategi baru pengembangan komoditas jagung nasional.

Caranya, mengajak pemerintah daerah bersama-sama mengembangkan komoditas jagung melalui pendampingan ”keroyokan” atau intensif mulai dari input sampai output.

Menurut Ketua Pelaksana Harian Dewan Jagung Nasional Anton J Supit di Jakarta, awal pekan ini, Dewan Jagung Nasional (DJN) akan mendatangi kepala daerah, baik bupati/wali kota maupun gubernur, yang berminat menjadikan jagung sebagai komoditas unggulan di daerahnya untuk peningkatan pendapatan masyarakat.

Saat ini harga jagung pipilan kering sekitar Rp 2.500 per kilogram. Harga jagung ini tergolong bagus.

”Dewan Jagung Nasional bisa menjadi perekat antarpemangku kepentingan untuk bersama-sama meningkatkan produksi jagung nasional dengan peningkatan produktivitas dan pendapatan petani melalui efisiensi produksi,” ujar Anton.

Daerah potensial untuk pengembangan jagung antara lain Kediri, Majalengka, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir menyatakan, yang diperlukan petani saat ini adalah perbaikan tata niaga jagung. Caranya, dengan menjamin komoditas jagung petani bisa dibeli dalam harga yang wajar dan menguntungkan.

”Yang diperlukan petani bagaimana agar harga jagung bisa dikawal meski tidak ada harga pembelian pemerintah. Dengan adanya jaminan harga dan pasar, tanpa disuruh, petani akan memperluas area penanaman jagung sendiri,” katanya.

Selama ini para petani yang menanam jagung dengan produksi 1 ton-5 ton kesulitan dalam menjual jagung. (MAS)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/18/03125323/petani.minta.harga.jagung.dikawal
{[['']]}

Pilih Menanam Selain Padi


Jakarta, Kompas - Untuk menekan dampak kerugian petani akibat musim kemarau 2010 yang bakal datang lebih awal, petani diminta menanam komoditas pangan yang lebih efisien menyerap air. Menanam jagung, singkong, dan umbi-umbian lain merupakan pilihan terbaik bagi petani.

Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia (Wamti) Agusdin Pulungan, Rabu (10/3) di Jakarta, menyarankan agar petani lahan kering menanam umbi-umbian dan singkong, bukan padi. ”Tanaman umbi-umbian atau singkong lebih sedikit memerlukan air sehingga dapat menekan risiko kegagalan panen,” katanya.

Menurut pengamat perberasan Husein Sawit, menanam jagung relatif lebih hemat air ketimbang menanam padi. ”Apalagi jagung sat ini harganya bagus, Rp 2.500 per kilogram,” ujarnya.

Direktur Irigasi Kementerian Pekerjaan Umum Imam Agus mengatakan, volume beberapa bendungan selama musim hujan tidak terlalu penuh. ”Untuk bendungan yang airnya hanya untuk irigasi, kami dapat tampung air lebih lama. Tetapi, bila air bendungan itu juga untuk pembangkit listrik, mau tak mau kami gelontorkan airnya,” katanya.

Bila petani memaksakan diri menanam padi, sementara pasokan air kurang, dikhawatirkan petani akan merugi akibat gagal panen. Selain itu, biaya produksi padi akan relatif tinggi.

Karena itu, Agusdin dan Husein meminta pemerintah secepatnya melakukan sosialisasi kepada petani terkait kondisi iklim yang bakal terjadi. ”Saya yakin banyak petani yang tidak tahu dan menganggap iklim seperti biasa. Kalau ketidaktahuan ini dibiarkan, petani akan menderita kerugian,” kata Agusdin.

Mengacu ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, musim kemarau tahun ini akan datang lebih awal. Luas lahan pertanian beririgasi yang bakal terkena kemarau lebih awal mulai Maret-Mei 2010 sekitar 209.051 hektar, adapun lahan nonirigasi 2.902.920 hektar.

Husein berpendapat, musim kemarau yang maju akan berdampak serius pada produksi beras nasional. Apalagi, produksi beras musim tanam gadu mencapai 35 persen dari rata-rata produksi setahun. Tahun 2009 produksi padi 63,8 juta ton gabah kering giling (GKG).

Majunya musim kemarau di lahan beririgasi akan berdampak buruk terhadap tanaman padi di ujung pengairan sehingga bisa menyebabkan gagal panen. Adapun di lahan nonirigasi sebaiknya dilakukan pengalihan jenis komoditas yang ditanam.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rata-rata produktivitas tanaman padi nasional 4,97 ton per hektar. Data Kementerian Pertanian menunjukkan, produktivitas padi di lahan nonirigasi tahun 2007 sebanyak 2,6 ton per hektar.

Ancaman kekurangan pasokan air di lahan nonirigasi berdampak pada potensi kehilangan produksi padi hingga 7,54 juta ton GKG, adapun di lahan irigasi 1,02 juta ton GKG. Hasil perhitungan itu terjadi dengan catatan bila pengalihan jenis tanaman dilakukan dan terjadi gagal panen.

Gencar beli beras

Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar menyatakan akan ada ancaman berkurangnya produksi komoditas tanaman pangan akibat ketersediaan air di daerah. Ini terutama di lahan yang belum beririgasi teknis, atau prateknis, atau tadah hujan.

Datangnya musim kemarau yang lebih awal berdampak pada meningkatnya biaya produksi untuk pembelian input produksi. Hal ini terjadi karena belum semua barang kebutuhan produksi tersedia lebih awal. ”Ketidakpastian produksi menimbulkan biaya. Bagi konsumen, itu akan berdampak pada kenaikan harga barang produksi,” kata Hermanto.

Menurut pedagang beras di Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta, Billy Haryanto, pedagang mulai gencar membeli gabah petani untuk disimpan. Diperkirakan kenaikan harga beras akan lebih awal terjadi. ”Bisa jadi pertengahan tahun harga mulai naik,” katanya. (MAS/RYO)
{[['']]}

Menjamin Pasar Buah dan Sayur


Hermas E Prabowo

Apa yang sesungguhnya paling dibutuhkan petani buah dan sayur dari dulu hingga saat ini? Bila pertanyaan itu diajukan langsung kepada petani tanpa tendensi apa pun, mereka pasti menyebutkan, yang paling mereka butuhkan adalah adanya jaminan pasar dalam bentuk jaminan barang dan harga.

Jaminan pasar inilah yang selama ini terasa mahal bagi petani buah dan sayur di negeri ini. Saat mereka panen cabai, misalnya, harga cabai bisa jatuh hanya Rp 3.000 per kilogram. Akan tetapi, ketika musim panen berakhir, harga cabai melambung hingga enam kali lipat, bahkan lebih.

Ketika para petani minta jaminan pasar, yang diberikan pemerintah melalui berbagai bantuan dana APBN ataupun APBD justru permodalan, benih, pupuk, dan bantuan teknis lain. ”Bukannya tidak perlu, tapi kalau boleh milih, lebih baik harganya yang dijamin,” kata Anwar, petani sayur dari Malang, Jawa Timur.

Tidak seiramanya keinginan petani dan pemerintah salah satunya mendorong komoditas hortikultura Indonesia tidak berkembang dan kalah dengan Thailand ataupun China. Ini terjadi karena tidak ada insentif bagi petani untuk menggenjot produksi dan kualitas buah-buahan dan sayur-sayuran.

Asep Tasrip Hidayat, pemasok manggis ekspor dari Segalaherang, Subang, Jawa Barat, menyebutkan, ”Lebih baik saya menunda pengiriman manggis ke Singapura saat manggis Thailand sedang panen. Pasti manggis saya enggak laku.”

Bagaimana produk mereka bisa berdaya saing jika insentif yang diberikan pemerintah tidak sesuai kehendak petani?

Melihat tak adanya kesesuaian tujuan antara petani dan pemerintah, PT Mitratani Agro Unggul (MAU) mencoba meringankan beban petani. Caranya dengan menjalin kemitraan dengan petani buah dan sayur untuk memberikan jaminan pasar.

Risiko usaha tani

Manajer Umum PT MAU Bagyo Joko Setyanto mengungkapkan, risiko usaha tani buah dan sayur petani besar. Di tingkat budidaya, mereka dihadapkan pada ketidakpastian iklim, benih, modal, pasokan air, dan serangan hama penyakit.

Di tingkat pascapanen, mereka kembali dihadapkan pada minimnya infrastruktur jalan, listrik, ataupun sarana penyimpanan dan pengangkutan yang baik dalam bentuk rantai dingin. Begitu pula saat memasarkan produk pertanian, posisi tawar mereka lemah sehingga mudah dipermainkan.

Memasok komoditas langsung ke pasar juga tidak bisa karena dihadapkan pada buruknya struktur pasar yang menolerir pungutan liar dan premanisme di mana-mana, baik di jalan maupun di lingkungan pasar. Ekspor langsung tak punya modal dan pengalaman.

Mau memasok ke pasar modern, sistem pembayarannya tidak menguntungkan. Kondisi hidup segan mati tak mau ini dialami petani buah dan sayuran dari dulu hingga sekarang.

Melihat kenyataan itu, PT MAU menawarkan kerja sama produksi buah dan sayur. Petani menyediakan lahan, tenaga kerja, dan sebagian modal usaha.

Adapun PT MAU memberikan dukungan permodalan, pendampingan tenaga teknis, benih unggul, dan yang penting jaminan pasar. Khusus pupuk, kerja sama dengan koperasi atau kelompok tani.

Melalui kerja sama ini, petani berkomitmen menanam komoditas sesuai kesepakatan bersama. Komoditas itu lalu dijual kepada mitra kerjanya sesuai kesepakatan harga di muka.

Karena ada pendampingan teknis, risiko budidaya karena serangan hama penyakit juga relatif kecil. Petani pun bersemangat. Terbukti sejak dirintis tahun 1998, luas area pertanian dalam bentuk kemitraan terus meningkat.

Jika semula PT MAU hanya memiliki lahan garapan sendiri 5 hektar, sekarang sudah ada kerja sama penanaman cabai 150 ha, kentang 45 ha, dan jagung 3.000 hektar.

Jangkauan kerja samanya menyebar, mulai dari Cipanas dan Garut (Jawa Barat). Juga di Jawa Timur, yakni di Malang, Pasuruan, Pacitan, Blitar, hingga Nganjuk.

Komoditas yang dikembangkan pun bervariasi, mulai dari cabai, wortel, bawang daun, tomat, kentang, brokoli, kol, dan seledri. Juga ubi jepang dan jagung.

Komoditas itu untuk memenuhi pasar dalam negeri dan ekspor, antara lain ke Singapura, Taiwan, China, dan negara-negara Timur Tengah.

”Kebutuhan industri besar, tetapi petani dalam negeri belum bisa memenuhinya. Di sisi lain, produk sayuran dalam negeri kerap ’terbuang’ sia-sia atau bahkan tak bernilai karena harganya jatuh akibat tak terserap pasar. Kemitraan diperlukan untuk menjembatani dua kepentingan, yakni petani dan industri,” katanya.

Ketua Umum Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini menyatakan, meski kemitraan sangat membantu meningkatkan pendapatan petani, dukungan pemerintah pusat dan daerah terhadap pola itu masih lemah.

Misalnya, pasokan listrik untuk petani kerap terganggu. Kemudian minimnya dukungan sarana pengairan untuk lahan-lahan petani.

Permodalan dan transportasi juga masih menjadi kendala. Selain itu, akibat distribusi terhambat di jalan, kualitas buah dan sayur jadi menurun.

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/05/04015846/menjamin.pasar.buah.dan.sayur
{[['']]}

Perluasan Area Tebu Terganjal Tata Ruang


Jakarta, Kompas - Peningkatan produksi gula kristal putih melalui perluasan area tanam tebu di kawasan pangan (food estate) terganjal rencana tata ruang dan wilayah.

Sampai sekarang belum ada kesepakatan soal pemanfaatan lahan untuk perluasan area tanam tebu, baik antara pemerintah pusat maupun daerah.

Menurut Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo di Jakarta, Kamis (4/3), masalah RTRW provinsi harus segera diselesaikan agar ada kejelasan pemanfaatan lahan.

”Memang tidak semua RTRW bermasalah, hanya di beberapa tempat, seperti di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, tetapi akan segera diselesaikan,” kata Siswono, yang juga anggota Komisi IV DPR.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Ahmad Mangga Barani menyatakan, jika rencana pemanfaatan lahan tebu tidak selesai di tingkat eselon I, akan dibawa ke tingkat menteri.

Pemerintah menyiapkan 500.000 hektar untuk perluasan tanaman tebu. Lahan itu diperlukan untuk menambah area tanam tebu dari yang saat ini 422.935 hektar menjadi 766.613 hektar pada tahun 2014.

Sementara itu, Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko mengkritik kebijakan pemerintah soal food estate. ”Pengembangan food estate oleh swasta hanya akan mengejar untung. Terlalu riskan bila menyerahkan urusan pangan ke swasta,” katanya. (MAS)

sumber: www.cetak/kompas.com
{[['']]}
 
Support : Produksi Pertanian | Produksi Pertanian | Produksi Pertanian
Copyright © 2011. Produksi Pertanian - All Rights Reserved
Template Created by Produksi Pertanian Published by Produksi Pertanian
Proudly powered by Produksi Pertanian