Sabtu, 11 April 2009 | 03:26 WIB
Jakarta, Kompas - Pemerintah dinilai tidak sungguh-sungguh mengembangkan pertanian hortikultura. Ini yang membuat banyak pengusaha besar tidak berminat di bidang hortikultura. Padahal, sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Ketua Harian Dewan Hortikultura Nasional (DHN) Benny Koesbini, Jumat (10/4) di Cianjur, Jawa Barat, menegaskan, para pengusaha besar tidak tertarik menekuni hortikultura karena masalahnya kompleks. Selain risiko yang relatif besar, sektor usaha ini juga tidak banyak menjanjikan keuntungan.
Apalagi, infrastruktur, mulai dari jalan hingga pasokan air, untuk pertanian hortikultura relatif buruk. ”Pemerintah melempar tanggung jawab dengan mengatakan, kalau swasta mau membangun infrastruktur jalan dan air, silakan. Padahal, infrastruktur dasar tanggung jawab pemerintah,” ujarnya.
Padahal, di negara lain, seperti Belanda, Jepang, Israel, dan Polandia, sektor hortikultura dikembangkan sungguh-sungguh. Infrastruktur tersedia dengan baik. ”Bahkan di China, mobil mewah pun bisa parkir di tengah kebun,” tutur Benny.
Sementara itu, di Indonesia, infrastruktur di pusat-pusat pertanian hortikultura, seperti Dieng, Pangalengan, Brastagi, dan Jambi, relatif seadanya. ”Hanya mobil jenis jeep yang bisa masuk. Kalau kemarau, airnya susah,” kata Benny.
Buruknya infrastruktur juga menjadi kendala pengembangan hortikultura di Mamasa dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Menurut Sekretaris Jenderal DHN yang juga Ketua Asosiasi Tanaman Hias Indonesia, Karen Sjarief, selain infrastruktur, pengembangan kawasan hortikultura, seperti buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias, harus diikuti dengan peningkatan kemampuan petani memproduksi hortikultura dengan kualitas bagus. ”Banyak kebijakan pemerintah kerap kandas pada tataran implementasi karena belum ada kesungguhan mengembangkan hortikultura,” katanya.
Produk impor Kebutuhan produk hortikultura masyarakat Indonesia amat besar. Di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, tiap hari dibutuhkan pasokan sayur-sayuran sekitar 2.300 ton dan buah-buahan 1.200 ton.
”Itu baru satu pasar induk, belum supermarket, hypermarket, dan pasar tradisional lain di seluruh Indonesia,” katanya.
Sektor hortikultura juga menyerap tenaga kerja relatif tinggi. Untuk memenuhi 200 ton cabai, misalnya, perlu 13 hektar lahan, dengan interval panen tiap 115 hari. Tiap hektar butuh delapan tenaga kerja. ”Bayangkan, untuk 2.300 ton sayuran diperlukan 230 truk pengangkut dengan kapasitas 10 ton. Multiplier effect-nya besar untuk memutar roda perekonomian,” kata Benny.
Namun, sayang, lanjut Benny, pasar hortikultura dalam negeri yang besar dimanfaatkan negara lain. Berbagai produk hortikultura, terutama buah-buahan, justru diimpor dari negara lain. Padahal, buah-buahan itu bisa dikembangkan di dalam negeri.
”Mengapa pemerintah membiarkan buah-buahan impor masuk, sementara rakyat Indonesia perlu pekerjaan dan penghasilan dari produk hortikultura yang dihasilkan. Ada apa dengan pemerintah?” tanya Benny. (MAS)
Jakarta, Kompas - Pemerintah dinilai tidak sungguh-sungguh mengembangkan pertanian hortikultura. Ini yang membuat banyak pengusaha besar tidak berminat di bidang hortikultura. Padahal, sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Ketua Harian Dewan Hortikultura Nasional (DHN) Benny Koesbini, Jumat (10/4) di Cianjur, Jawa Barat, menegaskan, para pengusaha besar tidak tertarik menekuni hortikultura karena masalahnya kompleks. Selain risiko yang relatif besar, sektor usaha ini juga tidak banyak menjanjikan keuntungan.
Apalagi, infrastruktur, mulai dari jalan hingga pasokan air, untuk pertanian hortikultura relatif buruk. ”Pemerintah melempar tanggung jawab dengan mengatakan, kalau swasta mau membangun infrastruktur jalan dan air, silakan. Padahal, infrastruktur dasar tanggung jawab pemerintah,” ujarnya.
Padahal, di negara lain, seperti Belanda, Jepang, Israel, dan Polandia, sektor hortikultura dikembangkan sungguh-sungguh. Infrastruktur tersedia dengan baik. ”Bahkan di China, mobil mewah pun bisa parkir di tengah kebun,” tutur Benny.
Sementara itu, di Indonesia, infrastruktur di pusat-pusat pertanian hortikultura, seperti Dieng, Pangalengan, Brastagi, dan Jambi, relatif seadanya. ”Hanya mobil jenis jeep yang bisa masuk. Kalau kemarau, airnya susah,” kata Benny.
Buruknya infrastruktur juga menjadi kendala pengembangan hortikultura di Mamasa dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Menurut Sekretaris Jenderal DHN yang juga Ketua Asosiasi Tanaman Hias Indonesia, Karen Sjarief, selain infrastruktur, pengembangan kawasan hortikultura, seperti buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias, harus diikuti dengan peningkatan kemampuan petani memproduksi hortikultura dengan kualitas bagus. ”Banyak kebijakan pemerintah kerap kandas pada tataran implementasi karena belum ada kesungguhan mengembangkan hortikultura,” katanya.
Produk impor Kebutuhan produk hortikultura masyarakat Indonesia amat besar. Di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, tiap hari dibutuhkan pasokan sayur-sayuran sekitar 2.300 ton dan buah-buahan 1.200 ton.
”Itu baru satu pasar induk, belum supermarket, hypermarket, dan pasar tradisional lain di seluruh Indonesia,” katanya.
Sektor hortikultura juga menyerap tenaga kerja relatif tinggi. Untuk memenuhi 200 ton cabai, misalnya, perlu 13 hektar lahan, dengan interval panen tiap 115 hari. Tiap hektar butuh delapan tenaga kerja. ”Bayangkan, untuk 2.300 ton sayuran diperlukan 230 truk pengangkut dengan kapasitas 10 ton. Multiplier effect-nya besar untuk memutar roda perekonomian,” kata Benny.
Namun, sayang, lanjut Benny, pasar hortikultura dalam negeri yang besar dimanfaatkan negara lain. Berbagai produk hortikultura, terutama buah-buahan, justru diimpor dari negara lain. Padahal, buah-buahan itu bisa dikembangkan di dalam negeri.
”Mengapa pemerintah membiarkan buah-buahan impor masuk, sementara rakyat Indonesia perlu pekerjaan dan penghasilan dari produk hortikultura yang dihasilkan. Ada apa dengan pemerintah?” tanya Benny. (MAS)
{[['']]}