Info Terbaru :
Terbaru

126 Ha Padi Diserang Penggerek Batang

Klaten (KR)
20/02/2009 08:20:08

Hama penggerek batang mengganas di sejumlah wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten. Hal ini menyebabkan kerugian besar pada petani, karena tanaman padi mereka menjadi kering dan mati. Hingga Kamis (19/2) luas serangan diperkirakan mencapai 126 hektar.

Serangan hama penggerek batang atau yang oleh petani sering disebut sebagai hama ingser/beluk, antara lain telah menyerang hamparan tanaman padi di wilayah Kaligawe Kecamatan Juriwing. Tanaman padi yang baru berumur sekitar satu minggu hingga dua minggu tampak seperti terbakar, layu dan akhirnya mati. Beberapa patok di antaranya dibiarkan, tidak dirawat lagi, karena petani sudah kesulitan untuk memberantas hama tersebut.

Beberapa petani kepada KR, Kamis (19/2) kemarin mengemukakan, mereka dipusingkan oleh hama yang menyerang batang padi tersebut. Serangan sudah terjadi dalam sepekan terakhir dan cepat menyebar ke seluruh lahan dalam blok persawahan di pinggir jalan tersebut.

Semula mereka telah berupaya untuk menyelamatkan tanamannya dengan menyemprotkan insektisida, namun hal itu tidak memberikan hasil maksimal. Serangan cukup ganas, sehingga tanaman yang masih pendek itupun menjadi layu kering dan mati. “Wah sudah tidak kurang-kurang yang mengobati, tetapi ingser memang sulit diberantas,” kata Parto, salah seorang petani setempat.

Hal senada juga dikatakan oleh Tinoyo, petani di wilayah Karangdowo. Di wilayah ini hama ingser sudah menyerang beberapa waktu lalu. Serangan justru pada tanaman yang sudah mulai berbuah, dan ini lebih sulit diberantas, dan menimbulkan potensi padi yang terserang menjadi puso. “Kan batangnya yang diserang, kalau padi sudah mulai katak, batang patah, makanan tidak bisa sampai ke pucuk, akibatnya padinya gabug (puso), petani di sini menyebut hama beluk,” kata Tinoyo.

Kasubdin Pertanaman Pangan di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Klaten Ir Wayu Prasetyo didampingi Kasi Bina Rehabilitasi Lingkungan, Joko Siswanto mengemukakan, lahan pertanian yang terserang hama penggerek batang tersebut hingga kemarin mencapai 126 hektar, tersebar di lima wilayah kecamatan.

Hama penggerek batang sebenarnya mudah dikenali. Yakni dengan banyaknya kupu-kupu putih yang beterbangan di sekitar lahan.

Apabila melihat fenomena tersebut petani diharapkan waspada. Antisipasi perlu dilakukan sejak masih dalam persemaian. Yakni benih padi di persemaian perlu disemprot dengan insektisida. Namun, apabila kupu sudah bertelur, harus disemprot dengan trichoderma, agar telur tidak menetas.

Lebih lanjut dijelaskan, kondisi musim saat ini memang sangat mendukung berkembangbiaknya hama tanaman, baik penggerek batang, wereng maupun tikus. Menurut Joko Siswanto, kalau penggerek batang menyerang tanaman pada masa vegetatif (umur 1-2 minggu) masih bisa diberantas dan kemungkinan bisa panen. Namun, apabila menyerang tanaman pada masa generatif, akan menyebabkan padi tidak berbuah. (Sit)-g


{[['']]}

Empat Kabupaten Rawan Pangan Kronis

SEMARANG, KOMPAS
Jumat, 20 Februari 2009 | 10:40 WIB

Empat kabupaten di Jawa Tengah berdasarkan penilaian Badan Ketahanan Pangan setempat tergolong daerah rawan pangan kronis. Hal ini antara lain karena tingkat kemiskinan penduduk melebihi 30 persen sehingga akses pangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sangat lemah.

"Daerah yang tergolong rawan adalah Wonosobo, Brebes, Rembang, dan Purworejo. Hal itu berdasarkan hasil penilaian meliputi 14 indikator," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Jawa Tengah Gayatri Indah Cahyani pada Pertemuan Pemantapan Ketahanan Pangan Kabupaten atau Kota Se-Jawa Tengah, di Ungaran, Kabupaten Semarang, Kamis (19/2).

Menurut dia, indikator tersebut antara lain ketersediaan pangan, akses menuju pasar, atau penyerapan pangan jenis serealia oleh masyarakat. Selain daerah kronis itu, ada pula sejumlah daerah yang rawan pangan transient, yaitu terjadi jika terkena bencana.

Gayatri mengatakan, rawan pangan kronis di empat kabupaten tersebut tidak berlangsung menyeluruh, tetapi tersebar di sejumlah desa atau kecamatan. Upaya mengentaskan dari kerawanan pangan melalui program aksi desa mandiri pangan. Diharapkan masyarakat bergerak, memanfaatkan potensi di desa guna meningkatkan pendapatan sehingga akses pangan masyarakat juga meningkat.

"Perlu memperjelas sinyalemen itu, jangan keliru. Purworejo itu ijo royo-royo, Brebes juga. Wonosobo kentangnya besar-besar. Coba renungkan data itu. Kalau benar, berarti harus bekerja lebih keras lagi," ujar Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo.

Bibit mengakui, angka kemiskinan dan tingkat pengangguran di Jateng masih tinggi. Namun, dia ragu ada warga yang sampai tidak dapat makan sama sekali di Jateng.
Bibit justru balik bertanya kepada Kepala Badan Ketahanan Pangan yang melaporkan bahwa beras, jagung, dan ubi kayu di Jateng surplus 2,3 juta ton.

"Tadi mereka melaporkan surplus pangan. Mengapa katanya ada kerawanan pangan? Sing bener sing endi (yang benar yang mana)?" tanya Bibit.
Bibit menyesalkan kondisi irigasi dan waduk di Jateng yang semakin parah, tetapi kurang mendapat perhatian dari wali kota dan bupati. Menurut dia, dari sembilan waduk utama di Jateng, hanya satu waduk yang tetap berfungsi saat musim kemarau, yaitu Waduk Kedung Ombo.

"Kalau hujan air penuh sampai meluber, tetapi kalau kemarau hanya satu yang berfungsi, yang lain senen-kemis. Saya minta perhatian dari pemerintah pusat karena dana yang dibutuhkan bukan lagi miliaran, tetapi mungkin triliunan. Jateng adalah penyangga pangan nasional," katanya. (GAL)

{[['']]}

Meratapi Nasib sebagai Petani

Oleh: Munawir Aziz


DI TENGAH deru pembangunan daerah, petani menjadi komunitas yang terabaikan serta miskin perhatian. Petani menjalani kehidupan dalam lorong waktu sempit, dengan tikaman permusuhan dari berbagai pihak. Di era reformasi ini, dengan meluapnya krisis, hidup petani menjadi terlunta. Di zaman berlari kencang ini, petani hidup terseok dan tertatih untuk meraih kesejahteraan. Itulah sebentuk kekejaman hidup yang harus ditanggung petani.

Ketika musim tanam tiba, kekeringan membentang dan memusingkan petani. Penggarap sawah dan perkebunan sulit mendapatkan pasokan air untuk menyegarkan tanaman, karena cadangan air dalam tanah semakin menipis. Merebaknya usaha kemasan air minum di berbagai daerah, menjadikan cadangan air di dalam tanah semakin berkurang. Semakin menipisnya lahan hutang lindung untuk menjaga debit air, juga menjadi bagian kegelisahan petani. Bahkan, ketika tanaman membutuhkan pasokan nutrisi, petani kesulitan mencari pupuk. Padahal, pemerintah telah memberikan subsidi dan pengawasan distribusi pupuk bagi petani. Namun, pupuk tetap saja menjadi komoditas langka.

Itulah yang menjadikan petani di berbagai daerah melakukan demonstrasi. Mahalnya harga pupuk di pasaran, menikam kesejahteran petani miskin. Bahkan, di beberapa daerah, ditemukan pupuk yang disalurkan lewat jalur partai, bertuliskan nama dan gambar caleg. Pupuk menjadi komoditas politik untuk meraih massa, namun mengorbankan kegelisahan petani.

Apa yang dilakukan oleh petani di Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, menjadi tragedi pada masa krisis pupuk ini. Puluhan petani mencegat dan menurunkan paksa pupuk yang ada di atas truk, pada Km 9,5 Pati-Kayen, akhir bulan lalu. Mereka mengaku kesulitan mencari pupuk serta telah berusaha ke berbagai daerah. Adapun lahan pertanian yang digarap, membutuhkan pupuk untuk menambah kesuburan dan mempercepat perkembangan tanaman.

Luapan Emosi

Tentu, tindakan petani Pati bukan merupakan sebentuk anarkisme membabi-buta. Mereka hanya terjepit kegelisahan dan krisis. Tindakan yang dilakukan hanya luapan emosi atas tragedi dalam ruang hidup serbakrisis ini. Perlu tindakan cepat untuk menghentikan hal serupa di daerah lain. Pemerintah seharusnya bertindak cepat dan kerja keras untuk menghentikan tragedi yang menghantam eksistensi petani. Petani terlalu lama akrab dengan tragedi.

Tragedi petani tidak hanya terbatas pada menipisnya air dan pupuk; ketika musim panen dirayakan, harga gabah dan produk pertanian lainnya turun drastis. Akibatnya, penjualan produk pertanian tak mampu menutup modal petani selama menggarap lahan. Petani menjadi komunitas termajinalkan. Pemerintah seakan hanya merasakan setengah hati, tak mendengarkan keluhan petani. Isu impor beras pun masih senantiasa berdengung, walupun bangsa ini bangga sebagai negara agraris.

Kegelisahan petani semakin memuncak; ketika lahan pertanian tergusur oleh pembangunan rumah dan industri, masa depan petani semakin suram.

Utopia

Pada titik itu, pemerintah hendaknya sigap bertindak untuk menormalkan rantai distribusi pupuk, mengintensifkan kebijakan berkait dengan air, mengelola hutan lindung, dan menormalkan harga produksi pertanian. Kegelisahan petani yang memuncak akan memungkinkan terjadinya demonstrasi dan kerusuhan massal di berbagai daerah. Itulah tragedi di sekujur ruang kehidupan petani negeri ini.

Pemerintah perlu merancang ulang kebijakan pemberdayaan petani dan warga kecil. Subsidi yang diberikan kepada petani sering meleset ke komunitas lain yang lebih sejahtera. Hak bantuan petani miskin digagalkan oleh pemegang otoritas distribusi di berbagai strata. Bantuan pemerintah berupa uang dan barang, hanya akan menyisakan derita dan kericuhan bagi petani dan kaum marginal di ranah grassroot.

Berulang kali, pinjaman lunak diberikan untuk membantu petani dan warga miskin. Akan tetapi, yang menjaring untung hanyalah pejabat dan pengusaha kaya. Sebaliknya, petani dan rakyat miskin dengan usaha kecil tak tersentuh.
Hal itu relevan dengan yang diungkapkan William Easterly (2005); upaya mengakhiri kemiskinan lewat pemberian pinjaman adalah utopia. Masalah yang terjadi di negara-negara miskin acap kali berakar pada institusi di negara mereka sendiri, tempat pasar tidak bekerja, dan politikus maupun pelayan publik (governance) tidak bertanggung jawab.

Keberhasilan pengentasan kemiskinan bagi petani dan kaum marginal negeri ini bergantung kepada political will pemerintah sendiri. Apakah pemerintah mau bersikap jujur, berani, bersungguh-sungguh, dan disiplin?

Sikap aktif-progresif dalam membantu petani dan kaum marginal, harus menjadi kerangka kebijakan dan gerakan pemerintah. Sikap itulah, yang disebut Koentjaraningrat (1974) sebagai “mentalitas pembangunan”. Yakni, pola pemerintahan yang memungkinkan adanya hasrat orientasi masa depan, spirit mengeksplorasi dan inovasi, serta kesadaran penghargaan terhadap karya.

Menurut Kentjaraningrat, mentalitas pembangunan yang menjadi pola dasar politik pemerintahan akan menyingkirkan îmentalitas menerabasî, yang merupakan ciri khas pemerintah korup.

Kerja Keras

Pada titik itu, semua pihak hendaknya bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan semua elemen bangsa secara merata. Pembangunan berbasis pertanian seharusnya tak hanya menjadi cahaya di langit impian. Pemerintah dapat menciptakan sistem dan kebijakan, agar sektor agraris dapat berdampingan dengan industri serta sektor usaha lain.

Pembangunan berbasis usaha terpadu, akan menjadikan visi masa depan negeri ini lebih konkret. Petani hendaknya menjadi basis penting dalam merancang Indonesia masa depan. Kerja keras petani dan kaum marginal, seharusnya ditopang dengan kebijakan fungsional.

Di Jawa Tengah, visi “Bali Desa Mbangun Desa” yang dilontarkan Gubernur Bibit Waluyo seharusnya menjadikan petani sebagai bagian penting. Program yang diimplementasikan seharusnya mendukung peningkatan kesejahteraan petani. Krisis pupuk, menipisnya hutan lindung, sempitnya lahan pertanian, dan beberapa tragedi lain, menjadi ujian visi gubernur untuk membantu kaum marginal. Jangan sampai semakin banyak warga negeri ini yang meratapi diri menjadi petani.(68)

– Munawir Aziz, bergiat di Divisi Riset Sampak ’’Gus Uran’’, dan Wakil Direktur Lembaga Kajian al-Hikmah Pati.

SM. 29/01/09
http://c-tinemu.blogspot.com/


{[['']]}

Paradigma Baru Regulasi Pangan

Oleh: Hafidh Asrom

Fungsi pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah komoditas yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan merupakan pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Begitu juga, pangan dan lingkungan adalah kebutuhan penting sehingga membangun serta memperbaiki regulasi pangan sangatlah penting. Karena membangun sumber daya yang unggul akan menyentuh banyak dimensi dan banyak yang diperlukan termasuk lingkungan di dalamnya.

Namun demikian, fokus utama yang mutlak diletakkan adalah pada upaya meningkatkan kualitas dasar penduduk, baik dalam hal fisik mau pun intelgensia. Karena kualitas sumber daya manusia akan ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsi. Karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang hakiki sehingga harus tersedia. Selain itu, pangan dalam perspektif politik bisa berfungsi sebagai penjaga stabilitas keamanan. Melihat latar belakang dan fungsi pangan begitu penting, maka jika dicermati semangat regulasi yang berupa Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, — setidaknya yang sudah tersirat — dalam aspek pertimbangan tentang kelahiran Undang-Undang Pangan ini.

Ada tiga aspek penting yang menjadi pertimbangan undang-undang ini lahir, pertama, pengakuan terhadap pangan sebagai kebutuhan dasar manusia dan pemenuhannya menjadi hak asasi. Kedua, prasarat utama dalam sistem pangan adalah tersedianya bahan pangan yang aman, bermutu, beragam dan tersedia secara cukup, serta; Ketiga, perlunya sistem perdagangan yang baik dan bertanggung jawab. Karena dasar pertimbangan berupa Undang-Undang Pangan yang sudah ada, merupakan representasi semangat, maka di dalam Undang-Undang tersebut tidak satu pun adanya dasar dan pertimbangan yang menunjukkan “kesadaran” mengenai “kewajiban” negara dari implikasi “hak asasi” atas pangan tersebut. Instrumen Krisis Semangat kesadaran negara sebagai institusi untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan, merupakan bentuk dari sikap hukum pemerintah terhadap hak asasi masyarakat.

Dengan demikian ke depan tidak hanya bentuk-bentuk pelanggaran pidana dan sejenisnya saja yang bisa diajukan masyarakat ke pengadilan (hukum), melainkan juga sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang melalaikan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan tersebut. Lepasnya semangat inilah yang menyebabkan tidak adanya pasal yang mengatur tentang ketentuan masyarakat dalam melakukan model class action jika terjadi kejadian yang mempresentasikan kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya.

Ketentuan-ketentuan pidana hanya diterapkan bagi warga negara baik secara individu maupun kelembagaan atau organisasi pelaksana usaha pangan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan teknis pangan. Padahal, kecenderungan krisis pangan global akan dan selalu mendorong setiap negara untuk menyiapkan berbagai instrumen penanganan krisis pangan sebagai bentuk penjaminan pemenuhan hak atas pangan. Di Indonesia potensi ancaman kelaparan dan kekurangan gizi pada bayi dan balita telah menjadi persoalan yang sampai hari ini belum bisa diselesaikan oleh negara.

Meskipun ancaman kelaparan global belum begitu meluas, akan tetapi untuk kasus Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil, karena pada saat ini pun Indonesia merupakan salah satu negara yang ketergantungan pangannya sangat besar dari luar negeri. Pada saat ini Indonesia berada pada status rawan pangan, ini berarti bukan karena tidak adanya pangan akan tetapi lebih disebabkan pemenuhan akan kebutuhan pangannya tergantung pada pihak lain. Setidaknya ini dibuktikan dengan tiga indikator, pertama, angka dan nilai impor bahan pangan dan produk hasil pertanian dari tahun ke tahun selalu meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk. Kedua, semakin menurunnya produktivitas terhadap lahan pertanian juga menjadi persoalan. Sebagai ilustrasi tentang semakin menyempitnya tersebut, Propinsi DIY misalnya, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian terutama untuk perumahan dan perdagangan (niaga) relatif besar hingga mencapai 100 hektar lebih setiap tahunnya. Kondisi demikian ditambah lagi penurunan produksi pangan akibat bencana alam, serangan hama atau organisme pengganggu tanaman, dan lain-lain. Ketiga, menurunnya minat petani atau minat menjadi petani untuk berproduksi sebagai akibat tidak adanya kebijakan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani penghasil pangan.

Sekarang ini di kawasan/daerah penghasil produk pertanian pertanian khususnya petani padi, jarang dijumpai anak-anak muda yang menjadi petani, mereka lebih suka merantau sebagai tenaga kerja di luar negeri, atau menjadi kaum urban di kota-kota besar. Namun demikian, pertimbangan lain yang luput untuk “dibumikan” dalam permasalahan regulasi pangan khususnya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah “kedaulatan pangan” karena dalam jangka panjang semangat kedaulatan atas pangan ini sangatlah penting dalam rangka menghindarkan masyarakat kita dari jebakan pangan (food trap). Sayangya dalam Undang-Undang Pangan yang terus menerus disinggung adalah “aspek pemenuhan” dan “kecukupan bahan pangan” bagi masyarakat.

Selain itu undang-undang pangan lebih banyak menyinggung masalah “keamanan dan ketahanan pangan (food security)” yang lebih cenderung kepada aspek “pemenuhan” saja. Tetapi Undang-Undang Pangan tidak mempersoalkan tentang bagaimana proses bahan pangan itu tersedia, termasuk impor besar-besaran sekalipun. Perlu Paradigma Baru Sebagai sebuah produk undang-undang yang sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa dengan berbagai problematika pangan yang semakin kompleks saat ini, maka diperlukan paradigma yang baru dalam Undang-Undang Pangan.

Salah satu paradigma tersebut adalah kedaulatan terhadap pangan, yaitu sebuah konsepsi yang menjamin, memenuhi dan melindungi hak setiap warga negara untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri. Jika ini bisa dilakukan, setidaknya sudah didukung kekuatan sumber daya lokal yang memiliki potensi untuk menopang kemandirian Indonesia dalam sektor pangan. Dengan harapan undang-undang baru tersebut nantinya mampu menjawab permasalahan krisis dan kerawanan pangan serta sebagai langkah antisipasi terhadap krisis pangan global. Karena menurut penulis, penyusunan rancangan undang-undang baru tentang pangan ini merupakan sebuah proses untuk melahirkan peraturan yang lebih komprehensif dalam menangani masalah krisis dan rawan pangan serta ketahanan pangan di Indonesia.

Namun demikian, hal penting yang tetap menjadi perhatian penting adalah bagaimana strategi pengembangan pangan melalui pembangunan pertanian, sehingga menjadi wahana penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. Juga harus selaras dengan sumbu perputaran ekonomi di Indonesia di pasar domestik. Sementara bagi aparatur negara yang menangani masalah pangan memiliki sandaran hukum yang kuat sehingga dalam menangani berbagai kasus yang berkaitan dengan pangan, tidak mengalami kegamangan dan keraguan dalam mengambil tindakan hukum. Dengan adanya paradigma yang baru tentang regulasi pangan diharapkan mampu memberikan kontribusi akan tersedianya pangan secara berkesinambungan bagi rakyat . q - g. (226-2009).

KR.05/02/2009 08:08:46
*) Drs HA Hafidh Asrom MM, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dari Propinsi DIY.

http://c-tinemu.blogspot.com/

{[['']]}
 
Support : Produksi Pertanian | Produksi Pertanian | Produksi Pertanian
Copyright © 2011. Produksi Pertanian - All Rights Reserved
Template Created by Produksi Pertanian Published by Produksi Pertanian
Proudly powered by Produksi Pertanian