Info Terbaru :
Terbaru

Tinjau Ulang Kebijakan Budidaya Pangan oleh Swasta


Jakarta, Kompas - Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman harus ditinjau ulang. Sebab, menyerahkan usaha budidaya pangan sepenuhnya kepada swasta akan menimbulkan masalah serius dalam pengendalian pangan di kemudian hari.

Menurut Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, Selasa (27/4) di Jakarta, tanpa menyempurnakan PP tersebut, lahan pangan sekaligus usaha budidayanya bisa dikuasai swasta dan asing. Ini telah terjadi pada pengembangan kelapa sawit.Awalnya, pada tahun 1970-an pengembangan kelapa sawit dirancang melalui pola PIR-Trans. Perusahaan swasta sebagai inti mendapat penguasaan lahan usaha 30 persen, selebihnya dikuasai petani rakyat.

Namun, sejak muncul Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, industri kelapa sawit dikuasai sepenuhnya oleh swasta nasional dan asing. ”Saat ini 2,1 juta hektar perkebunan sawit dikuasai asing. Dari luasan itu ada yang 100 persen milik asing atau negara lain. Ini kecerobohan pemerintah. Hal yang sama bisa terjadi pada pangan bila tidak diatur,” kata Siswono.

Pola kerja sama yang paling baik dalam pengembangan pangan, menurut Siswono, dengan menyatukan program reforma agraria dengan kawasan pangan (food estate). Namun, itu hanya untuk daerah tertentu yang memang perlu dilakukan ekstensifikasi pertanian. Di Jawa tak mungkin dilaksanakan.

Kerja sama inti plasma untuk pengembangan kawasan pangan dilakukan dalam skala luas. Petani plasma minimal mengusahakan 5 hektar agar bisa menggarap lahan dengan menggunakan traktor. Adapun pola pengusahaan lahan, plasma, atau petani 60 persen dan inti, yakni swasta, 40 persen.

Desakan perlunya perubahan PP No 18/2010 juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Induk Koperasi Tani dan Nelayan Soeryo Bawono, Sekretaris Jenderal HKTI Rachmat Pambudy, Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional sekaligus Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini, serta Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia Teguh Boediyana.

Soeryo mengkhawatirkan kewenangan pemberian izin pengelolaan lahan oleh bupati/wali kota seperti tertuang dalam Pasal 11 Ayat (2). Hal ini akan memicu terjadinya jual beli surat izin.

Benny menegaskan, sulit bagi Indonesia untuk berdaulat jika yang menguasai pangan rakyat adalah negara lain. Menurut Benny, Pasal 2 huruf (b) PP No 18/2010, yang menyatakan usaha budidaya pangan food estate untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, kurang tepat. ”Seharusnya yang diutamakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat,” ujarnya.

Benny mengingatkan, penyertaan modal asing maksimal 49 persen akan sulit dikontrol. Alasannya, bisa saja terjadi kesepakatan di bawah meja antara asing dan pemilik mayoritas saham. Oleh karena itu, porsi asing dalam budidaya pangan harus diminimalkan.

Sampai saat ini, kata Teguh, tak ada politik pertanian yang jelas dalam budidaya pertanian. PP yang ada tak berpihak kepada petani kecil.

Rachmat Pambudy mempertanyakan tugas pokok dan fungsi pemerintah dalam pembangunan pertanian dan strategi pembangunannya. Seharusnya kebijakan yang sifatnya melayani harus diberikan kepada petani kecil, sementara kepada perusahaan yang bisa menjadi predator harus ada aturan yang membatasi.

Program Officer Agroekosistem Yayasan Kehati Puji Sumedi meminta ada aturan soal keterkaitan lahan kawasan pangan di Merauke dengan tanah adat. ”Jangan sampai investasi justru menimbulkan masalah baru dengan masyarakat adat,” katanya.

Tanpa swasta mustahil

Siswono, yang juga pemilik usaha PT Bangun Cipta Sarana, selaku investor kawasan pangan di Merauke, Papua, menyatakan, tanpa ada kerja sama yang baik antara petani, pemerintah, dan swasta, sulit untuk mengembangkan pangan di lahan pertanian potensial yang belum dikembangkan.

”Tak mungkin mengandalkan petani saja karena perlu investasi besar untuk pembangunan infrastruktur pertanian, seperti jalan, jaringan irigasi, dan pelabuhan. Sementara itu, menyerahkan sepenuhnya kepada swasta juga akan menuai masalah serius kelak,” tutur Siswono.

Pengembangan sawit dengan pola kerja sama, ujar Siswono, terbukti mampu membuat Indonesia menjadi produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia. Pola yang sama juga bisa untuk tanaman pangan,” katanya.

Siswono juga mengkhawatirkan arah pembangunan pertanian yang kini dilaksanakan pemerintah. Ia mencermati banyaknya program hibah dalam bentuk Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan dan Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat justru menjadikan petani tidak mandiri. (MAS)
{[['']]}

Bisnis Ayam Ras


Jakarta, Kompas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Finlandia Matti Vanhanen sepakat meningkatkan hubungan perdagangan dan investasi. Kedua negara juga berkomitmen meningkatkan kerja sama di bidang pengelolaan hutan dan pengembangan energi terbarukan.

Yudhoyono dan Vanhanen menyampaikan hal itu saat memberikan keterangan pers seusai pembicaraan bilateral di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/4).Vanhanen menegaskan, pemerintahnya mendorong komunitas bisnis di Finlandia untuk lebih banyak berinvestasi di negara-negara Asia. ”Bagian dari itu juga investasi langsung, termasuk ke Indonesia,” ujarnya.

Dalam kunjungannya, PM Vanhanen membawa delegasi bisnis. Perwakilan dunia usaha dalam delegasi ini, antara lain, bergerak di bidang pengolahan minyak sawit, biodiesel, telekomunikasi, dan permesinan. Setelah menemui Presiden Yudhoyono, PM Finlandia dan rombongan mengadakan pertemuan dengan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa. Pada kesempatan itu juga digelar forum bisnis bagi kedua negara.

Terkait kerja sama di sektor kehutanan, Presiden Yudhoyono mengemukakan, Indonesia tengah menyusun kerja sama dengan Finlandia yang memiliki pengalaman dan keahlian dalam pengelolaan hutan.

Lebih dari 70 persen daratan Finlandia berupa hutan. Dari pengelolaan hutan, Finlandia juga mengembangkan biomassa sebagai sumber energi. ”Kami mengatur kembali seperlima total produksi energi melalui peningkatan energi terbarukan dan pembangkit nuklir,” ujar PM Vanhanen.

Investasi Finlandia di Indonesia di urutan ke-8 dari kawasan Eropa Barat. Realisasi investasi periode 1990–2009 total 22,521 juta dollar AS. Sebagian besar di bidang industri kehutanan, kertas dan pulp, serta bahan kimia.

Volume perdagangan kedua negara pada 2008 468,14 juta dollar AS—tumbuh 4,04 persen dari tahun 2007. Tahun 2009 turun 38,43 persen (288,21 juta dollar AS) akibat krisis ekonomi dunia.

Komoditas ekspor utama Finlandia ke Indonesia: peralatan mesin untuk industri, kertas, dan alat telekomunikasi. Indonesia mengekspor lemak hewan dan minyak sayur, mebel, sepatu, serta kayu, dan produk kayu.

Tercatat 112 perusahaan Finlandia bermitra dengan pengusaha Indonesia, antara lain Nokia (telekomunikasi), Vaisala (navigasi dan meteorologi), Kemira (kimia), dan Wartsila (turbin pabrik dan kapal). (DAY)

{[['']]}

Ketahanan Pangan Butuh Totalitas


oleh Mukhamad Najib *

Jakarta - Pada World Summit on Food Security di Roma yang baru lalu Wakil Presiden Budiono menyatakan kesiapan Indonesia untuk menjadi salah satu supplier pangan dunia. Keberhasilan swasembada pangan yang terjadi saat ini menjadi alasan penting mengenai kesiapan ini.

Benarkah kita siap menjadi supplier penting kebutuhan pangan dunia? Apakah kita benar-benar telah mampu memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri? Sudah tidak ada lagikah warga Indonesia yang kesulitan dalam mengakses bahan pangan?Belum Swasembada Pangan
Jika kita mau jujur dengan keadaan sesungguhnya swasembada pangan yang saat ini terjadi masih terlalu premature untuk bisa dianggap sebagai keberhasilan dalam mengembangkan ketahanan pangan. Karena, memang apa yang disebut sebagai swasembada pangan saat itu tidak lain hanyalah sebatas kecukupan produksi beras namun bukan kecukupan pangan secara keseluruhan.

Jika kita cermati terjadinya kecukupan beras ini bukan saja disebabkan produksi beras yang berlebih. Melainkan juga didorong oleh beralihnya konsumsi beras ke produk pangan lain. Terutama gandum. Konsumsi gandum di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya industri pengolahan makanan berbasis gandum.

Pada tahun 1999 tingkat konsumsi gandum baru mencapai 17,9 gram per kapita per hari. Tahun 2003 mencapai 19,8 gram per kapita per hari. Lalu, tahun 2005 naik lagi menjadi 23,03 gram per kapita per hari. Tahun 2006 naik lagi menjadi 22,60 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2008 sudah menjadi 38 gram per kapita per hari.

Peningkatan konsumsi gandum berbanding terbalik dengan penurunan konsumsi beras. Tahun 1999 konsumsi beras di Indonesia mencapai 319,1 gram per kapita per hari. Tahun 2003 turun menjadi 300,56 gram per kapita per hari. Kemudian tahun 2005 turun lagi menjadi 288,30 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2006 turun lagi hingga hanya mencapai 285,04 gram per kapita per hari.

Tingkat konsumsi gandum pada saat ini telah mencapai 5 juta ton per tahun. Impor gandum diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 100% selama 10 tahun mendatang. Artinya akan ada potensi impor gandum hingga 10 juta ton.

Jika peningkatan konsumsi gandum ini terjadi secara terus menerus tentu kita tidak pernah mencapai swasembada pangan. Karena, sebagian besar bahan pangan kita harus kita penuhi dari petani-petani asing.

Sampai hari ini masih banyak kebutuhan pangan kita yang bergantung pada luar negeri. Kita membutuhkan gandum dan kedelai dari petani Amerika. Kita membutuhkan daging dan susu dari peternak Australia. Kita juga membutuhkan jagung dan kebutuhan pangan lainnya dari negara-negara asing.

Setiap tahun lebih dari 5 miliar Dolar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa habis untuk mengimpor pangan. Mulai dari gandum, kedelai, jagung, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, bahkan garam yang kebutuhannya masih dapat dipenuhi oleh produsen garam lokal juga dimpor dengan nilai Rp 900 miliar.

Petani Aktor Utama
Usaha-usaha membangun ketahanan pangan tidak bisa dilakukan kecuali melibatkan petani sebagai aktor utama. Selama ini petani selalu diharapkan untuk bisa meningkatkan produktivitas mereka agar tidak terjadi kelangkaan pangan.

Petani mendapat mandat yang tidak ringan karena mereka diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dasar dari seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi besarnya mandat yang diberikan kepada petani ini sama sekali tidak sebanding dengan insentif yang diperoleh petani. Khususnya insentif kesejahteraan.

Jika kita lihat kondisi petani kita saat ini, 56,5% dari 25,4 juta keluarga petani yang ada di Indonesia ternyata adalah petani gurem, yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha. Padahal, untuk sekedar survive petani minimal harus memiliki lahan 1 Ha. Maka tidak heran, bahwa hampir 60% dari petani Indonesia adalah masuk dalam kategori miskin (pendapatan di bawah $US 2 per hari).

Bagaimana mungkin petani yang miskin akan menjadi penyangga utama penyedia pangan untuk seluruh rakyat Indonesia?

Pertanian sesungguhnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia merupakan syarat dasar bagi keberlanjutan kehidupan rakyat Indonesia. Oleh karenanya tidak selayaknya petani berjuang sendiri melaksanakan mandat yang berat ini. Tidak selayaknya petani berjuang sendiri untuk menyelamatkan keberlangsungan manusia yang hidup di bumi pertiwi.

Aksi Total
Kita memerlukan keterlibatan semua kalangan untuk membantu petani melaksanakan mandatnya dalam memproduksi pangan yang cukup bagi kebutuhan rakyat Indonesia. Kita memerlukan aksi total untuk pertanian yang lebih produktif. Sehingga, apa yang dikatakan oleh wakil presiden di Roma mengenai kesiapan Indonesia menjadi supplier pangan dunia bukanlah sekedar wacana kosong yang tak bermakna.

Aksi total untuk pertanian diartikan sebagai adanya keterlibatan dan keberfihakan total dari segenap komponen masyarakat terhadap dunia pertanian. Seluruh kekuatan harus bisa dimobilisasi untuk membangun sektor yang mempengaruhi keberlajutan manusia ini.

Oleh karenanya semua perkembangan peradaban yang kita bangun. Semua ilmu pengetahuan yang kita kembangkan tidak boleh meninggalkan dunia pertanian dalam agendanya. Kita tidak mungkin mengkonversi semua lahan-lahan pertanian menjadi lahan-lahan industri karena itu artinya kita berkontribusi dalam mempercepat terjadinya krisis pangan. Dan, itu juga berarti kita membiarkan dunia berakhir lebih cepat.

Sedianya kita bisa fokus untuk mengembangkan Indonesia sebagai negara pertanian dan bahari. Jepang tidak memiliki lahan cukup. Namun, mereka serius mengembangkan pertaniannya.

Kemajuan pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan tidak pernah melupakan dunia pertanian. Pertanian berbasis pengetahuan dan teknologi menjadikan pertanian Jepang berada pada tingkat produktifitas dan efisiensi yang tinggi. Walau lahannya sangat sempit namun Jepang mampu menyediakan pangan masyarakatnya dengan baik.

Indonesia sebagai negara yang memiliki kelimpahan lahan, memiliki tanah-tanah yang subur, memiliki sumber daya air yang berlimpah seharusnya memiliki dan membangun kemampuan yang lebih besar di bidang pertanian ini. Bukankah penjajah datang silih berganti untuk menikmati benefit ekonomi dari kesuburan lahan-lahan pertanian kita?

Rasanya aneh kalau kemajuan yang ingin kita ciptakan kita lakukan dengan mengabaikan dunia pertanian. Aksi total untuk dunia pertanian sesungguhnya merupakan agenda dasar yang perlu kita lakukan segera jika kita ingin menyelamatkan negeri ini dari bahaya kebergantungan dan kelaparan di masa depan.

*Penulis adalah Dosen Institut Pertanian Bogor dan Sekretaris Indonesian Agriculture Sciences Association (IASA)
Sumber: http://suarapembaca.detik.com/read/2010/01/21/101047/1283088/471/ketahanan-pangan-butuh-totalitas?882205470

http://atanitokyo.blogspot.com/
{[['']]}

Semut Hitam untuk Pengendalian Hayati Hama Utama Tanaman Kakao


Serangga hama penggerek buah kakao (PBK, Conopomorpha cramerella) dan pengisap buah dan pucuk kakao (Helopeltis spp.) merupakan hama utama pada tanaman kakao. Kerugian akibat serangan kedua hama tersebut sangat dirasakan pada budi daya tanaman kakao. Hama PBK dapat menurunkan produksi lebih dari 80% apabila tidak dilakukan pengendalian sama sekali, sedangkan hama Helopeltis spp. mengakibatkan penurunan produksi lebih dari 60%. Serangga semut hitam (Dolichoderus thoracicus) telah lama dikenal sebagai agens hayati hama Helopeltis dan PBK. Berikut ini disampaikan potensi semut hitam untuk mengendalikan hama utama tanaman kakao dan cara pengembangbiakannya di kebun kakao.Mengenal Semut Hitam
Semut hitam, dikenal dengan nama ilmiah Dolichoderus thoracicus dahulu nama ilmiahnya adalah Dolichoderus bituberdulatus, termasuk dalam subfamili Dolichoderinae, famili Formicidae dan ordo Hymenoptera. Semut hitam dewasa pekerja berukuran 4-5 mm dan biasanya berasosiasi dengan kutu putih Cataenococcul hispidus (dulu dikenal sebagai Planococcus lilacinus).

Koloni semut hitam banyak dijumpai di pohon rambutan, sirsak, kelapa, dsb, dan ciri khas spesies ini adalah apabila istirahat seolah-olah seperti duduk dengan bagian perut (abdomen) berada menempel pada bagian batang. Semut ini tidak menggigit, hanya kadang-kadang mengeluarkan asam semut yang terasa pedas apabila mengenai mata. Oleh karena itu jenis semut ini kurang berbahaya bagi pekerja kebun.

Cara Pemapanan Semut Hitam di Kebun Kakao
Semut hitam adalah termasuk serangga yang hidup berkelompok atau disebut juga serangga sosial. Serangga demikian biasanya mendominasi lingkungan perkembangbiakannya, sehingga apabila ada kelompok serangga lain atau jenis semut lain yang mendiami tempat perkembangbiakannya pasti akan diusir atau akan saling menyerang sehingga yang bertahan hanya satu jenis semut saja. Hal ini perlu diperhatikan dalam memapankan semut hitam dalam suatu ekosistem. Apabila dijumpai jenis semut lain dalam ekosistem tersebut maka harus dihilangkan terlebih dahulu dengan cara dikendalikan menggunakan bahan kimia atau insektisida. Misalnya, yang sering dijumpai di pertanaman kakao adalah jenis semut angrang (Oesophylla smaragdina), semut gramang (Anoplolepis longipes) dan Crematogaster spp.

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam memapankan semut hitam pada pertanaman kakao adalah.
1. Apabila terdapat jenis semut lain maka semut tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu dengan cara disemprot dengan insektisida yang efektif.
2. Lakukan pemasangan sarang semut menggunakan daun kelapa kering yang telah diikat atau daun kakao kering yang ditempatkan di dalam kantong plastik. Juga dapat dibuat menggunakan daun kakao kering yang digulung. Setiap pohon kakao dipasang minimal 3 buah sarang.

http://www.sinartani.com/proteksi/semut-hitam-pengendalian-hayati-hama-utama-tanaman-kakao-1271753864.htm
{[['']]}

Windia: Pertanian Belum Berfungsi Sebagai "Bumper" Inflasi


Denpasar (ANTARA News) - Pembangunan sektor pertanian di Indonesia selama ini hanya diperlakukan sebagai pemasok bahan pangan murah untuk menyubsidi orang kota dan kaum pekerja sehingga belum berfungsi sebagai "bumper" atau membendung inflasi.

Dengan demikian sektor pertanian hanya memasok tenaga kerja murah, terutama anak-anak petani yang terpaksa harus melakukan urbanisasi, akibat terbatasnya kesempatan kerja di pedesaan, kata Gurubesar Fakultas Pertanian Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia, MS di Denpasar Senin.Ia mengatakan, sektor pertanian hanya berorientasi pada peningkatan produksi semata, sehingga tidak tanggap terhadap kondisi dan perubahan pasar.

"Pola pikir yang demikian itu cenderung menganggap bahwa, perekonomian makro maupun sektor riil lainnya, tidak terkait secara erat dengan keragaan sektor pertanian," katanya.

Kondisi itu, menurut Widia, menyebabkan semakin melemahnya kemampuan pertanian dalam mendukung pembangunan ekonomi, sertad dampak lebih jauh menyebabkan para pelaku di sektor pertanian menjadi tidak berdaya dan frustasi menghadapi politik pertanian yang diskrimintif.

Windia menambahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyadari kemunduran dalam bidang pertanian itu telah mencanangkan program revitalisasi pertanian, perikanan dan kelautan.

"Dokumen revitalisasi tersebut sebenarnya sangat strategis, namun belum jelas, bagaimana kebijakan revitalisasi itu dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah," ujar Windia.

Demikian pula dalam program pembangunan tahunan, sehingga bisa dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun APBD pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota.

"Tanpa sampai ke level kebijakan operasional dan anggaran, implementasi peletakan dasar revitalisasi sebagai proses keberlanjutan bidang pertanian sulit dilakukan," ujarnya.

Padahal revitalisasi seharusnya menjadikan sektor pertanian sebagai basis pembangunan ekonomi, yakni sektor-sektor non pertanian juga diarahkan untuk mendukung pertanian, terutama menyangkut pembiayaan oleh bank maupun lembaga keuangan non bank, tutur Windia.(I006/K004)
{[['']]}

Petani Tolak Korporatisasi Pertanian Dan Pangan


Ogan Ilir, Sumsel (ANTARA News) - Sejumlah petani yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia menolak korporatisasi sektor pertanian dan pangan di Indonesia.

Henry Saragih, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), saat memperingati Hari Petani Indonesia, di Ogan Ilir, Sumatra Selatan, Kamis, mengingatkan, jangan sampai rakyat Indonesia menjadi lapar di atas lahan yang subur hanya karena kesalahan dalam kebijakan yang diambil pemerintah.Menurut dia, apabila sistem pertanian dan pangan diserahkan kepada pemilik modal (investor), hasil yang diperoleh bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan kepentingan investor itu sendiri dan rakyat tetap dibelit penderitaan.

"Dominasi pemilik modal dalam industri pertanian dan pangan hanya akan membuat rakyat menderita dan menjadi miskin," kata dia.

Ia mencontohkan, sengketa lahan yang terjadi antara warga Desa Rengas dan Lubuk Bandung di Sumsel, merupakan bentuk dari korporatisasi pertanian, karena telah menggusur hak warga petani atas tanahnya sendiri.

Dia menyatakan, dengan sistem korporatisasi pertanian, maka pemerintah akan menyerahkan lahan kepada pihak perusahaan sebesar-besarnya, dan petani akan semakin tergusur.

Oleh karena itu, pria yang juga merupakan anggota dari Serikat Petani Internasional itu, akan mendesak pemerintah pusat agar tanah warga yang dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Rayon VI Unit Usaha Cinta Manis untuk segera dikembalikan.

Henry menegaskan, semestinya warga yang menggantungkan hidup sebagai seorang petani, ketika membutuhkan tanah, pihak PTPN VII harus meninggalkan daerah tersebut.

Gupriyadi, petani asal Desa Rengas mengaku, selama 27 tahun selalu berada dalam ketakutan, karena sering diintimidasi ketika menuntut tanah mereka yang dikuasai oleh PTPN VII.

"Setiap kali melakukan perlawanan untuk meminta kembali tanah kami, maka akan ditangkap dan diperlakukan yang tidak wajar," ujar dia.

Menurut dia, sengketa lahan yang berlangsung sejak tahun 1980-an itu, membuat warga hingga kini hanya menjadi buruh tani.

Ia menyebutkan, desa yang memiliki sekitar 700 kepala keluarga (KK) tersebut, 60 persen merupakan buruh tani yang tidak memiliki lahan perkebunan lagi.

"Untuk menopang keluarga, kami terpaksa bekerja di perkebunan milik orang lain yang berada di kabupaten Muaraenim," ujar dia.

H Misbahudin, tokoh masyarakat setempat mengimbau agar masyarakat terus berjuang untuk mendapatkan tanah mereka.

Menurut dia, tanah ulayat seluas 1.529 hektare yang dikuasai oleh PTPN VII Cinta Manis, seharusnya menjadi milik warga setempat yang benar-benar berhak memiliki dan mengelolanya.

"Sudah turun-temurun tanah tersebut menjadi sumber pencaharian masyarakat di sini sejak dulu, dan ini merupakan tanah milik kami," kata dia menegaskan.

Dia menyatakan, selama penguasaan lahan oleh PTPN VII, pihak perusahaan pernah berjanji akan mempekerjakan 60 persen tenaga kerja warga pribumi setempat.

Akan tetapi, kenyataannya hanya dua orang saja yang diangkat menjadi karyawan, dan selebihnya hanya buruh musiman dan buruh harian lepas.

Dalam peringatan Hari Hak Asasi Petani Indonesia tersebut, hadir beberapa aktivis LSM, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, dan organisasi massa lainnya.

Mereka sepakat untuk mendukung memperjuangkan hak warga Desa Rengas dan Lubuk Bandung atas tanah yang dikuasai oleh PTPN VII.

Bahkan dampak dari konflik tersebut, dua orang petani asal Desa Lubuk Bandung, Jamal (40) dan Busroh (60), ditahan oleh aparat Kepolisian Daerah (Polda) Sumsel.
(B014/K004)
{[['']]}

19.161 Hektar Terancam


BANDUNG, KOMPAS - Serangan hama wereng batang coklat di areal pertanian Jawa Barat diprediksi meluas. Sedikitnya, 19.161 hektar tanaman padi terancam serangan wereng jika penyebaran hama itu tak dihentikan. Dua pekan ini, hama wereng menyerang 7.210 hektar sawah, 395 hektar di antaranya dipastikan gagal panen.

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat, ancaman wereng tersebar di 13 kabupaten. Sebanyak 17.858 hektar (93 persen) di antaranya di wilayah sentra padi, seperti Kabupaten Subang (7.720 hektar), Indramayu (5.039 hektar), Karawang (3.917 hektar), dan Bekasi (1.182 hektar). Sisanya di daerah lain.Meluasnya ancaman serangan hama yang menjadi vektor virus kerdil rumput dan kerdil hampa ini, menurut Sekretaris Kontak Tani dan Nelayan Andalan Jawa Barat Rali Sukari, perlu diwaspadai. Terlebih lagi memasuki musim pancaroba, yakni peralihan iklim dari musim hujan ke musim kemarau.

”Kondisi ini menyebabkan suhu udara dan tingkat kelembaban sama-sama tinggi. Akibatnya, wereng cepat berkembang biak,” kata Rali.

Ia menambahkan, tingginya serangan organisme pengganggu tanaman (hama) pada awal musim tanam gadu (kedua) 2010 ini diperparah pola tanam yang tidak serempak dan penggunaan varietas padi yang tidak direkomendasikan pemerintah.

Menurut Rali, seharusnya tiap kabupaten/kota memiliki pola tanam masing-masing agar setidaknya masa tanam di satu kawasan itu bisa serentak. Ini bisa mencegah penyebaran hama dari satu sawah ke yang lain. Selain itu, usia tanaman yang seragam juga membuat program pemusnahan hama lebih tertata karena tidak perlu khawatir merusak petak yang lain.

Varietas tahan wereng

Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jawa Barat Entang Sastraatmadja menyebutkan pula, penggunaan varietas padi yang tidak direkomendasikan pemerintah lebih rentan terhadap wereng batang coklat.

Hal senada disampaikan Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Karawang Kadarisman. Ia mengimbau petani menanam padi varietas tahan wereng, mengatur jarak tanam agar tidak terlalu rapat, dan menyemprot insektisida secara massal.

Upaya itu telah ditempuh di beberapa persawahan di Karawang yang telah memasuki musim tanam gadu. Beberapa varietas yang dianjurkan ditanam, antara lain, Inpari 1-10, Mekonga, dan Ciherang. Ia mengimbau petani agar tidak menanam varietas ketan dan padi lokal yang rentan wereng.

Dari Kabupaten Indramayu dilaporkan, sedikitnya 2.571 hektar sawah di empat kecamatan juga telah terserang wereng batang coklat. Akibatnya, produktivitas lahan turun hingga 50 persen. Empat kecamatan itu adalah Cikedung, Terisi, Kroya, dan Losarang. Berbeda dengan data provinsi, lahan yang terancam wereng di Indramayu mencapai 10.984 hektar.

Beong (55), petani Desa Jatimulya, Kecamatan Cikedung, Indramayu, mengakui, sekitar 25 persen dari satu hektar sawahnya dimakan wereng. Wereng menyerang sawahnya ketika padi berusia 60 hari atau saat padi mulai berbuah. Akibatnya, banyak bulir padi hampa dan produksi berkurang.

Biasanya, produktivitas sawah di area hutan berkisar 3 ton per hektar, tetapi kini hanya panen 1,5 ton-2 ton.

”Biaya tanam juga naik, dari biasanya Rp 2 juta per hektar sekarang Rp 3 juta karena harus membeli pestisida lebih banyak,” ujar Beong.

Kepala Seksi Rehabilitasi Lahan dan Perlindungan Tanaman pada Dinas Pertanian dan Peternakan Indramayu Abdul Muin mengatakan, kebanyakan hama wereng menyerang tanaman padi usia dewasa. Kondisi itu mendorong petani segera memanen padi meski waktu panen masih 1-3 minggu lagi. Tujuannya adalah mengurangi kerugian sebab produktivitas lahan akan turun sampai 15 persen.

Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Kehutanan Kabupaten Cirebon meminta petani agar selalu mengamati secara rutin tanaman padi miliknya. Jika ada serangan, sekecil apa pun, petani diminta segera melapor supaya bisa dilakukan penyemprotan serempak pada satu hamparan sawah. (MKN/THT/GRE)
{[['']]}

1.000 Markisa Ditanam


BANTUL, KOMPAS - Bermitra dengan perusahaan sirop di Yogyakarta, warga Dusun Serut, Palbapang, Bantul, mencanangkan penanaman 1.000 pohon markisa. Setiap keluarga memperoleh dua bibit tanaman yang berasal dari perusahaan sirop tersebut.

Perusahaan sirop itu sebelumnya juga bekerja sama dengan petani di Sleman. "Selama ini tidak ada masalah sehingga kami pun mengikutinya," kata Kepala Dusun Serut Tubadiana, saat pencanangan penanaman 1.000 pohon markisa, Kamis (22/4).

Kerja sama warga-perusahaan berawal dari pertemuan Tubadiana dengan pihak perusahaan, Ventures. Pada pertemuan itu, pihak perusahaan mengaku membutuhkan mitra untuk menyediakan bahan baku.

Bibit-bibit yang diberikan akan ditanam di lahan sekitar rumah yang selama ini dibiarkan kosong tanpa tanaman. Karakteristik markisa yang tumbuh merambat juga menguntungkan karena membuat situasi rumah menjadi teduh.

"Sebagian besar warga kami menjadi petani. Jika panen raya seperti ini, harga gabah selalu anjlok. Tanpa usaha sampingan, nasib mereka bisa terombang ambing karena hasil panen tak cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari," katanya.

Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul Edy Suharyanto yakin, model kerja sama warga Serut dan perusahaan sirop tidak menimbulkan risiko. Dari sisi karakteristik daerah, Serut cocok untuk markisa karena termasuk dataran rendah.

"Pihak perusahaan menjamin akan membeli markisa sehingga petani tidak kesulitan menjualnya," katanya. Soal jaminan pembelian menjadi salah satu pertimbangan penting warga.

Buah markisa, sejauh ini, tergolong jenis buah yang tidak mudah dijual dalam bentuk segar. Penyebabnya rasanya yang masam. Buah-buah tersebut harus diolah terlebih dahulu agar lebih enak dikonsumsi.

Umumnya, buah markisa dipanen setelah delapan bulan ditanam. Satu pohon mampu menghasilkan sekitar 20 kilogram buah markisa sekali panen. Harga jualnya Rp 15.000-Rp 17.000 per kilogram.

Setelah usia delapan bulan, markisa bisa berbuah lagi selama empat periode dalam setahun. Bila satu periode hasilnya sekitar 20 kilogram, tambahan penghasilan warga diperkirakan berkisar Rp 300.000 setiap panen.

Hanya di Serut

Untuk menjamin kestabilan harga, Pemerintah Kabupaten Bantul membatasi penanaman markisa massal hanya di Dusun Serut. Di Yogyakarta, tanaman markisa sudah ditanam warga. Namun, penanaman lebih bersifat fungsional menjadi tanaman peneduh.

"Kebanyakan hanya mengambil manfaat teduhnya saja. Biasanya ditanam di atas garasi mobil menjadi pengganti kanopi. Mereka tidak serius menanam karena markisa tidak bisa dikonsumsi sebelum diolah. Paling-paling untuk campuran es buah saja," ujar Edy. (ENY)
{[['']]}

Cengkeraman Gurita Pangan Global


Oleh Subejo 1)

Berbagai kalangan di belahan dunia kian menyadari bahwa pangan merupakan komoditas yang sangat strategis. Dengan sifatnya yang berbeda dengan barang lain, dengan pangan secara langsung menentukan kehidupan umat manusia, peran pentingnya semakin nyata.

Krisis pangan dunia yang parah sepanjang 2007-2008 memberi pelajaran berharga bahwa produksi pangan yang mencukupi kebutuhan nasional sangat penting bagi stabilitas politik dan ekonomi. Dalam kondisi krisis, pihak yang menguasai pangan juga dapat meraup keuntungan sangat besar. Selain itu, ia memiliki kekuatan politik yang kuat. Tuntutan untuk mencukupi kebutuhan pangan domestik dan harapan memperoleh keuntungan yang besar telah mendorong para investor transnasional pemilik modal raksasa untuk melakukan investasi dan terlibat secara langsung dalam bisnis pangan dunia.

Industrialisasi pangan global

Ledakan penduduk dan kegagalan panen karena perubahan iklim global menyebabkan kebutuhan pangan dunia terus meroket. Harga pangan dunia secara otomatis juga membumbung. Investasi produksi dan penguasaan pangan akan menjadi pilihan yang tepat bagi korporasi transnasional. Tidak hanya keuntungan ekonomi yang diharapkan, tapi juga potensi kekuatan geopolitiknya yang besar.

Negara Teluk yang kaya minyak tapi miskin sumber daya pertanian dan sepenuhnya menggantungkan kebutuhan pangan dari impor sangat berkepentingan untuk terlibat dalam industrialisasi pangan melalui berbagai korporasi transnasionalnya. Kelompok itu antara lain diwakili Uni Emirat Arab, Qatar, dan Kuwait. Selain itu, negara yang berpenduduk sangat besar tapi kapasitas sumber daya pertaniannya terbatas memiliki ketertarikan yang sama. Negara yang masuk kelompok tersebut di antaranya China, India, Jepang, dan Korea Selatan.

Mereka menanamkan modal mereka untuk mengakuisisi lahan pertanian secara murah dalam skala yang sangat besar bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan hektare. Mereka akan membawa produk pangannya ke negara asal atau menjualnya di pasar internasional yang lebih menguntungkan. Akuisisi lahan itu banyak terjadi di negara-negara miskin dan berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin.

Skenario yang umum dipakai adalah kerja sama korporasi transnasional dengan negara dengan skema pemanfaatan lahan milik negara melalui hak guna usaha yang sangat longgar hingga 90 tahun atau model menyewa lahan petani dalam skala luas untuk jangka waktu yang panjang hingga 30 tahun.

Situasi memusatnya produksi dan distribusi pangan oleh korporasi transnasional ditengarai Friedmann (2005) sebagai green capitalism. Dengan penguasaan lahan yang sangat besar, korporasi dapat memproduksi dan mengatur distribusi pangan sehingga harga pun akan diaturnya. Ideologi itu yang cenderung menjadi lawan dari gagasan kedaulatan pangan (food sovereignty).

Model akuisisi lahan pertanian secara besar-besaran dalam jaringan internasional oleh Harvey (2006) dikenal sebagai land grabbing. Kadang-kadang model itu dikenal pula dengan land rush. Laporan Jesica Silver-Greenberg di Business Week (2009) menunjukkan bahwa keterlibatan investor global dalam industrialisasi pangan di belahan dunia dalam batas tertentu dapat bermakna sebagai kolonialisasi baru. Sebagai contoh, seperti dilaporkan Times India (2009) sebuah korporasi besar India di bawah kelompok Karuturi Global Limited (KGL) telah mengakuisisi lahan pertanian yang sangat besar di berbagai negara miskin Afrika hingga mencapai 33 juta hektare (setara dengan luas Jerman) untuk industrialisasi pangan.

Beberapa kalangan termasuk World Bank mendukung pengembangan model land grabbing dengan harapan dapat dicapai win-win solution, yaitu kecukupan produksi pangan dunia dan juga pertumbuhan ekonomi negara yang ditempati. Dalam praktiknya, dampak positif tidak sebesar yang diharapkan. Lapangan kerja baru yang tersedia juga tidak cukup nyata mengatasi persoalan pengangguran. Ide untuk mencukupi kebutuhan pangan negara setempat juga tidak terwujud karena produksi diekspor ke negara pemilik modal. Justru dampak negatif yang bermunculan. Kehancuran pertanian lokal, perebutan sumber air, pencemaran air karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, banjir akibat pembabatan hutan dan lain sebagainya.

Food estate dan gurita pangan

Peluncuran pengembangan pangan skala besar atau dikenal dengan food estate oleh Kabinet Indonesia Bersatu II baru-baru ini perlu direspons dengan sangat serius. Model food estate ini sejatinya tidak lain dan tidak bukan adalah wujud land grabbing. Keterlibatan transnasional dalam food estate nampak dengan tingginya minat korporasi dari Uni Emirat Arab, Kuwait, China, dan Korea. Kekhawatiran banyak pihak adalah potensi hancurnya pertanian rakyat yang selama ini menjadi tulang punggung pangan. Petani gurem tidak mungkin dapat bersaing dengan korporasi pemilik modal besar dan teknologi yang efisien.

Komitmen pemerintahan baru sebagaimana juga amanat konstitusi untuk membangun ekonomi tangguh berbasis kerakyatan justru dipertanyakan dengan peluncuran food estate yang sangat jelas memfasilitasi sepenuhnya green capitalism. Kondisi itu justru dikhawatirkan akan melemahkan kedaulatan pangan nasional.

Food estate ini sejatinya menunjukkan cengkeraman gurita pangan global di negeri ini. Mengapa justru kebijakan pemerintahan baru lebih memprioritaskan fasilitasi food estate ketimbang serius menggarap 42 juta petani gurem. Peluncuran program monumental mewujudkan pertanian rakyat yang lebih produktif, efisien, dan berdaya saing akan sangat diapresiasi. Tentu saja diperlukan kebijakan lain yang mampu meningkatkan skala usaha, menciptakan lapangan kerja baru di perdesaan yang mampu mengurangi tekanan pada sektor pertanian.

1) Dosen pertanian UGM, kandidat PhD dari The University of Tokyo

Sumber : Media Indonesia 18 Maret 2009
http://www.mediaindonesia.com/%20read/2010/%2003/18/129894/%2068/11/Cengkeraman-Gurita-%20Pangan-Global
cit.http://atanitokyo.blogspot.com/
{[['']]}

Petani Padi Dikorbankan


Jakarta, Kompas - Petani padi merasa dikorbankan pemerintah. Harga gabah petani tertekan pasar akibat pengusaha membeli dengan harga rendah, sedangkan Bulog berpegang teguh pada standar kualitas. Petani juga tidak berdaya saat hujan menghancurkan kualitas padi mereka.
Menurut Guru Besar Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum, petani seharusnya tidak menjadi korban dari hasil panennya yang jelek akibat bencana musiman.

”Dalam kondisi seperti ini, bukan petani yang harus rugi dan dirugikan. Karena itu, gabah mereka harus dibeli,” kata Maksum di Yogyakarta, Jumat (16/4).

Kesabaran petani ada batasnya. ”Batas inilah yang menentukan setia atau tidaknya petani menanam padi dan ini ancaman bagi ketahanan pangan,” ujar Maksum.

Senada dengan Maksum, Hartono, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, meminta pemerintah tidak menyalahkan petani kalau produksi gabahnya kurang bagus. ”Maunya petani, produktivitas padi tinggi dan kualitas bagus, tetapi iklim tak bisa dilawan. Seharusnya bencana musiman ini jangan ditimpakan pada petani,” katanya.

Kewajiban petani hanya menanam agar pangan bisa dihasilkan dan ketahanan pangan tercapai. Masalah buruknya penanganan pascapanen padi bukan kewenangan petani.

Ketua Umum KTNA Winarno Tohir menyatakan, jika manajemen pengelolaan beras di Bulog bagus dan berpegang pada prinsip first in first out atau first in last out, tak ada alasan gabah petani tidak dibeli Bulog.

Dengan manajemen pengelolaan beras yang bagus di Bulog, memungkinkan perputaran beras di gudang Bulog bisa diatur dengan baik sehingga beras tak sampai tersimpan lama.

Harga gabah petani di sejumlah daerah saat ini sangat rendah, bahkan di sejumlah tempat jatuh hingga Rp 2.000 per kilogram.

HKTI Jatim mengancam

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Pertanian Suswono berharap Bulog segera merespons permintaan petani untuk membeli gabah mereka kalau memang memenuhi standar kualitas.

”Tidak ada alasan bagi Bulog untuk tidak menerima gabah petani karena fungsi stabilisasi harga gabah dan beras memang adanya di Bulog,” katanya.

Winarno memperkirakan, jika tidak agresif membeli gabah atau beras sekarang, Bulog tidak akan kebagian beras. Indikasi tersebut mulai tampak nyata ketika pembelian beras Bulog hingga 12 April lalu hanya mencapai 337.871 ton atau baru 10,6 persen dari target pembelian 2010 sebanyak 3,2 juta ton.

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Timur mengancam akan melakukan unjuk rasa besar-besaran menyikapi jatuhnya harga gabah.

”Jika tak ada langkah dari pemerintah untuk menyelamatkan nasib petani, kami akan menggelar unjuk rasa besar-besaran. Kami akan angkut beras dan gabah dengan puluhan truk dan akan kami letakkan di Kantor Perum Bulog Jatim,” kata Ketua KHTI Jatim Herri Suginaryo.

Kepala Perum Bulog Divisi Regional Jatim Agusdin Fariedh menyatakan, dalam menyerap beras, Bulog tetap berpegangan pada Inpres Nomor 7/2009 agar kualitas beras untuk masyarakat miskin tidak buruk. Ia berharap petani meningkatkan kualitas produksi gabah mereka agar beras yang dihasilkan bernilai tinggi. (ABK/ACI/EGI/WIE/MAS)
{[['']]}
 
Support : Produksi Pertanian | Produksi Pertanian | Produksi Pertanian
Copyright © 2011. Produksi Pertanian - All Rights Reserved
Template Created by Produksi Pertanian Published by Produksi Pertanian
Proudly powered by Produksi Pertanian